youngster.id - Kampanye Go Green telah menggerakan banyak orang untuk membuat produk ramah lingkungan. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh Ecodoe, yang menawarkan aneka produk souvenir berbahan daur ulang ramah lingkungan. Tak hanya itu, startup ini memberdayakan pengrajin lokal menggunakan konsep shared-economy.
Memberi souvenir kerap menjadi bagian dari industri pariwisata, kegiatan pernikahan atau acara perusahaan. Selain sebagai tanda terima kasih juga menjadi tanda mata dari tempat wisata atau kegiatan. Tak heran jika permintaan akan souvenir selalu ada di masyarakat dan menjadi peluang bisnis yang menjanjikan.
Salah satu startup yang bergerak di bidang souvenir adalah Ecodoe. Berbeda dengan pelaku bisnis souvenir lainnya, Ecodoe merupakan wirausaha sosial yang bergerak dalam sektor e-Commerce yang memberdayakan pengrajin lokal untuk menyediakan lini produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar dengan konsep shared-economy.
“Ecodoe adalah pusat B2B e-Procurement, kami menghubungkan klien yang membutuhkan aneka produk souvenir untuk bisnis, dengan jaringan kreator lokal yang ada di seluruh Indonesia. Selain itu, kami punya misi membantu pengrajin lokal. Dengan inovasi, kami ingin memberikan manfaat positif melalui service excellence baik untuk klien kami maupun untuk kreator sehingga pendapatan kreator dapat meningkat dan kebutuhan klien terpenuhi dengan baik dan awesome,” jelas Larasati Widyaputri, Co-founder & CEO PT Ecodoe Widya Candia (Ecodoe) dalam wawancara dengan youngster.id.
Diklaim Larasati, Ecodoe telah menjual lebih dari 178 ribu potong dengan pelanggan mulai dari instansi pemerintah, swasta, universitas, hingga hotel. Permintaan souvenir mencapai 50 juta pieces per tahun.
“Kami lebih dari sekadar e-commerce kado dan souvenir karena produk kami dibuat secara khusus oleh pengrajin di seluruh Indonesia,” ucap Larasati menegaskan.
Larasati memaparkan, di Ecodoe setiap produk dapat dikostumisasi sesuai kebutuhan klien. Mereka juga menerapkan social co-production, sebagai prinsip shared-economy di mana Ecodoe memiliki jaringan kreator yang luas dan solid, sehingga produk dapat dikerjakan secara bergotong royong secara cepat dengan model bisnis profit sharing. Selain itu, setiap produk yang dibutuhkan oleh klien akan dikembangkan oleh kreator berdasarkan arahan dari Ecodoe.
“Sehingga seluruh produk kreator dapat kami serap sebagai produk by-demand. Karena setiap klien didampingi oleh konsultan yang memastikan setiap produk diterima dengan baik,” jelas perempuan lulusan Ekonomi Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.
Larasati mengklaim, hal itu yang membedakan dan menjadi keunggulan Ecodoe dari platform sejenis. Apalagi pada dasarnya wirausaha sosial adalah suatu usaha yang dapat memberikan dampak bermanfaat bagi masyarakat atau menjadi solusi bagi permasalahan sosial yang ada.
Adaptif dan Variatif
Larasati mengungkapkan Ecodoe bermula pada tahun 2014, ketika ia dan rekannya Istiq Farila engikuti sebuah lomba program sosial yang diadakan kampusnya. Untuk itu, mereka berkesempatan mewawancarai para pengrajin di Kasongan Yogyakarta.
Mereka menemui seorang ibu yang menjadi pengrajin dengan penghasilan rata-rata Rp 500.000/bulan dari berjualan souvenir oleh-oleh. Mereka juga menemukan cerita yang sama dari pengrajin di Bali. Larasati dan Istiq pun merasa tertantang, apalagi berkaca pada kondisi di Dharavi, pusat Tempat Pembuangan Sampah (TPS) terbesar di Mumbai, India. Di sana, banyak warga yang tinggal dalam tempat yang sangat sempit namun berhasil memproduksi produk-produk handcraft secara gotong royong dan mengirimnya ke seluruh dunia melalui e-commerce.
Dari sanalah lahir ide untuk mendirikan bisnis e-commerce souvenir, yang secara resmi diluncurkan pada tahun 2016 dengan Larasati sebagai CEO dan Istiq sebagai VP Commerce. “Sebenarnya sejak sepulang dari Yogyakarta pada tahun 2014 kami sudah langsung menjual produk souvenir Ecodoe yang pertama yaitu berupa boneka dari limbah bulu domba. Produk terus berkembang secara adaptif dan variatif sesuai permintaan dari konsumen kami sehingga bermacam-macam produk lainnya dapat kami sediakan,” kata Larasati.
Larasati mengaku butuh waktu selama 6 bulan untuk melakukan riset dan pengembangan dari bisnis ini. Kemudian mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar Rp 12 juta untuk digunakan validasi produk pertama Ecodoe dan penjualan secara B2C.
“Proses R&D berlangsung secara berkala mulai dari kami melakukan uji coba produk ke market yang lebih sempit, hingga akhirnya menemukan product-market fit. Kalau di tahap awal hanya 6 bulan, namun kami percaya bahwa sekalipun sudah menemukan product-market fit, ada baiknya jangan terlena karena market berkembang sangat cepat,” tegas anak pertama dari empat bersaudara ini.
Nama Ecodoe sendiri diambil sesuai dengan filosofi perusahaan tersebut yang ramah lingkungan. “Eco artinya ramah lingkungan. Kemudian Doe artinya domba sesuai dengan produk perdana mereka,” ujarnya.
Dalam perjalanan usaha, Larasati mengaku menghadapi berbagai tantangan. Toh Larasati melihat permasalahan itu sebagai bagian dari dinamika berbisnis. Diakuinya, kendala terberat adalah saat terjadi perpecahan antara mitra. “Saat itu perpecahan bersifat terlalu personal dan malah berdampak besar bagi perusahaan,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Larasati, ketika itu terjadi di tahun 2017, mereka harus lay off sebanyak 70% dari tim, dan dirinya harus menangung utang yagn cukup besar.
“Dari peristiwa tersebut saya belajar untuk menyusun MoU Founder yang lebih baik serta mendelegasikan urusan corporate financial kepada ahlinya. Dengan tim yang tersisa dan loyal kami mengupayakan menemukan product-market fit. Saya juga terus mencoba belajar dari banyak mentor yang ahli dalam manajemen SDM, optimasi sales-force serta mengikuti program inkubasi. Dari kondisi hampir bangkrut, puji syukur kami bisa bertumbuh lebih dari 800% dalam setahun,” kenang Larasati.
Lebih jauh, ia memaparkan dalam menjalankan proses kerjanya. Ecodoe menghubungkan klien yang membutuhkan aneka produk untuk bisnisnya dengan jaringan kreator lokal yang ada di seluruh Indonesia. Setiap kebutuhan dari calon klien ditangani langsung oleh Ecodoe. Awalnya proses tersebut masih berjalan secara manual melalui WA Blast dan Group WA yang dikoordinasikan oleh masing-masing kepala kreator (vendor Ecodoe).
“Namun berkat adanya funding hibah dari DBSF x SIF Social Impact Prize 2019, kami berhasil mengembangkan platform lelang.ecodoe.id,” ucap perempuan kelahiran Bekasi, 22 Oktober 1992.
Monetisasi
Kini Ecodoe telah melayani 50 juta permintaan souvenir, dengan meraih omset lebih dari Rp 750 juta setiap bulannya.
Dalam memonetaise perusahaan rintisan ini, Larasati menyebut monetisasi utama bersumber dari variasi produk transaksi antara kreator dengan klien Ecodoe. Selain itu, Ecodoe juga menyediakan fitur project financing bernama ‘HasilBagi’ yang berkolaborasi dengan fintech (yang dipertemukan melalui jaringan Social Enterprise DBS). Dengan cara ini, alhasil Larasati dan timnya pun berkesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari fitur tersebut.
“Untuk layanan tersebut kami melakukan mark up atas harga yang diberikan oleh kreator sehingga kreator tidak dikenakan biaya sepeserpun. Monetisasi utama bersumber dari variasi produk transaksi antara kreator dengan klien kami. Kami juga menyediakan fitur project financing bernama HasilBagi berkolaborasi dengan fintech. Kami mendapatkan keuntungan dari fitur tersebut. Ke depan, ada banyak revenue stream yang sedang kami kembangkan,” ungkapnya.
Seperti di masa pandemi Covid-19, Larasati menyebutkan, menerapkan strategi survival mode dengan beberapa alternatif skenario dalam memproduksi masker kain dan baju alat pelindung diri (APD).
Larasati menegaskan, Ecodoe bukan sekadar mengejar keuntungan bisnis semata. Namun, memberi manfaat lain, yaitu turut membantu para pengrajin lokal memperbaiki taraf hidup.
“Kami telah melakukan jejak pendapat dari klien dan kreator secara berkala dan menyenangkan sekali mengetahui bahwa klien sangat terbantu oleh Ecodoe karena mereka dapat menerima produk secara cepat dibandingkan dengan platform lain. Tentunya kreator juga terbantu dengan meningkatnya pendapatan mereka hingga 600% setelah bergabung dengan Ecodoe,” klaim Larasati.
Bisnis tentu tidak terlepas dari adanya persaingan usaha. Menurut perempuan yang gemar bersepeda ini, persaingan itu penting bagi kelangsungan usaha Ecodoe sendiri. Terlebih, pentingnya product extinction dan service excellence dapat membantu kurva permintaan Ecodoe untuk terus stabil serta tidak melandai saat product-life cycle menemui titik waktu di mana market sudah red-ocean.
“Adanya kompetitor tentunya baik karena menunjukan bahwa ada market untuk produk kita,” tegas Larasati.
Toh, seiring berjalannya waktu, rupanya Ecodoe pun terus berkembang. Larasati menuturkan, rencana pengembangan lain juga telah dipersiapkan. Dia telah menemukan peluang dari aktivitas bisnis usaha selama ini yang dapat dimonetisasi lebih lanjut.
“Seiring berjalannya perusahaan, kami menemukan peluang dari aktivitas bisnis usaha kami yang dapat dimonetisasi lebih lanjut. Secara social, kami juga sedang mengembangkan program ‘Kreator NaiK Kelas’ yaitu sebuah kegiatan inkubasi bagi kreator agar dapat meningkatkan kapasitas produksi dan skill mereka dalam leading bisnisnya sendiri,” papar Larasati.
Hal itu menurut dia berkaca dari kesuksesan Amazon Group dan Alibaba Group yang memiliki banyak sekali revenue stream sehingga induk perusahaan dapat terus kokoh.
Survival Mode
Di sisi lain, dia juga terus mendorong agar masyarakat terutama kalangan milenial lebih mengenal produk Ecodoe. Salah satunya lewat “Hub” bagi Kreator Lokal Indonesia. “Kami juga memiliki tim khusus yang bertugas untuk melakukan sosialisasi dan registrasi calon-calon kreator baru untuk bergabung dengan Ecodoe,” ujarnya.
Larasati mengungkapkan per 2019 ada lebih dari 12.000 pengguna Ecodoe, dan bertambah terus setiap bulan. Sedangkan pengguna aktif yang menggunakan Ecodoe, saat ini masih 50%. “Kami lebih banyak berfokus untuk meningkatkan engagement dengan pengguna Ecodoe (seller maupun buyer),” ujarnya.
Larasati mengakui, kondisi pandemi Covid-19 ini turut mempengaruhi bisnis Ecodoe. Untuk itu mereka menerapkan survival mode dengan 3 revenue stream yang scalable.
“Mostly pendapatan kami bersumber dari souvenir acara, saat pandemic banyak acara yang postpone bahkan cancel. Tetapi kami tidak berdiam diri. Kami bersama dengan kreator mempelajari cara pembuatan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai standar dan mendalami aspek legalitas agar produk kami dapat aman digunakan oleh tenaga medis. Kami juga merangkul pabrik sepatu yang 50% karyawannya di-PHK. Baru 3 hari kami mempromosikan produk, sudah ada 200.000 pcs permintaan yang masuk. Itu menjadi strategi agar cashflow tetap aman, kami juga menyediakan hampers yang permintaannya melonjak sehingga pemasukan bagi kreator juga tetap ada,” ungkapnya.
Menurut Larasati, dalam jangka pendek, mereka akan launching fitur HasilBagi dan fitur Lelang Pengadaan serta adanya lini bisnis B2C baru. Fitur tersebut telah melalui validasi sehingga siap di upscale. “Survival mode bagi saya adalah dimana lebih baik kami investasi sejumlah biaya untuk kemudian dapat berkembang menghasilkan pendapatan yang signifikan, adaptif dan strategis sesuai rencana strategi kami 6 bulan ke depan,” jelasnya.
Larasati berharap nanti kreator lokal Indonesia dapat terus maju dan berkembang pesat serta harus siap dengan standar industri global sehingga Indonesia bisa menjadi salah satu pusat global supply chain.
“Saya berharap kreator lokal Indonesia dapat terus maju dan berkembang pesat serta harus siap dengan standar industri global sehingga Indonesia bisa menjadi salah satu pusat global supply chain. Saat ini orang banyak melihat Tiongkok, Vietnam dan Thailand. Nah, Indonesia harus siap menjadi pusat produksi terbesar di dunia karena kami ini padat karya. Tentu saja, dengan adanya dukungan teknologi advance dapat mengeskalasi pertumbuhan ekonomi kita secara eksponensial,” pungkasnya.
==========================
Larasati Widyaputri
- Tempat Tanggal Lahir : Bekasi, 22 Oktober 1992
- Pendidikan : Ekonomi Lingkungan – Institut Pertanian Bogor
- Usaha yang dikembangkan : Memproduksi berbagai souvenir berbasis sosial
- Nama Usaha : PT Ecodoe Widya Candia (Ecodoe)
- Mulai usaha : Tahun 2016
- Jabatan : Co-founder & CEO
- Modal awal : Rp 12 juta
- Omset : di atas Rp 750 juta per bulan
- Karyawan : 14 orang
Prestasi :
- Social Impact Prize by DBS Foundation & Singapore International Foundation (2019)
- USAID & SwissContact Business Support (2019 – 2020)
- Top Startup of She Loves Tech Indonesia x ANGIN 2019 Grantee of Tech-Based Startup Ministry of Research & Tech Indonesia (2018-2019)
- Winner of The Best Business Roadmap Ministry of Research & Tech Indonesia
===========================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post