Muhammad Nanda Putra : Memilih Mengembangkan Usaha yang Bisa Bantu Petani Jadi Sejahtera

Muhammad Nanda Putra, Co-founder & CEO Tanijoy (Foto: Dok. Pribadi/youngster.id)

youngster.id - Potensi investasi di sektor pertanian masih terbuka lebar. Hal ini bisa dilihat dari tingginya harga bahan pangan, dan pasar yang semakin besar. Namun petani sebagai penjaga kedaulatan pangan masih menghadapi berbagai masalah untuk bisa sejahtera. Toh, di sisi lain, banyaknya masalah di sektor pertanian ini justru menjadi peluang bagi startup baru.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Februari 2017, ada 39,68 juta penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian. Jumlah tersebut lebih besar dari sektor-sektor bisnis lainnya. Besarnya potensi di bidang pertanian mendorong kemunculan beberapa startup ataupun aplikasi yang fokus pada pengembangkan bisnis di bidang ini.

Ada sejumlah startup yang menghadirkan aplikasi bisa membantu para pihak terkait untuk mendapat informasi soal harga produk pertanian. Ada juga startup dengan aplikasi pertanian yang bisa menjadi sumber informasi bagi petani mengenai cara bercocok tanam, solusi masalah pertanian, dan sebagainya.

Ada juga yang konsern pada sektor hulu yang terkait hubungan petani dengan investor dan pasar. Seperti Tanijoy, startup yang fokus pada pemberdayaan petani dengan konsep agroforestry dan zero waste management.

“Tanijoy awalnya ingin menjadi sebuah platform, media untuk memberdayakan petani agar mereka profesional dan mandiri. Seiring berjalannya waktu, kami juga membuka platform investasi untuk petani mendapatkan modal. Tapi di sini kami tidak serta merta memberikan modal terlebih dahulu dalam bentuk uang, tetapi bentuk bantuan itu berupa barang. Dan, si petani ini akan mengelola dalam jangak waktu ditetapkan akan dikembalikan kepada investor. Jadi Tanijoy ini ada di tengah-tengahnya,” jelas Nanda Putra CEO dan Co-founder dari Tanijoy kepada youngster.id saat ditemui belum lama ini di Jakarta.

Tanijoy didirikan Muhamad Nanda Putra dan Kukuh Budi Santoso pada Februari 2017. Pada awalnya Tanijoy diposisikan sebagai marketplace produk pertanian. Namun kemudian pad Juli 2017 mereka memutuskan untuk melakukan pivot, sehingga Tanijoy pun menjadi platform yang menghubungkan petani dengan investor dan pemilik lahan. Sistem ini tak hanya membantu petani mendapat akses permodalan. Mereka juga bisa menjual hasil panennya dengan harga lebih tinggi ketimbang menjual ke tengkulak, karena Tanijoy membantu menyalurkannya ke pihak pemasok, hotel, restoran, hingga supermarket.

“Tanijoy bertujuan untuk menyelesaikan masalah itu sekaligus membantu petani kecil terlepas dari kemiskinan, khususnya petani di pedesaan yang belum melek teknologi. Kami coba kasih alternatif ke petani karena tujuannya ingin membangun komunitas petani yang melek teknologi,” ucap Nanda.

Nanda mengatakan pihaknya fokus menanam tanaman yang cepat panen dengan rentang waktu 3-6 bulan. Selain itu, Tanijoy juga menawarkan Farming Management System berupa laporan yang transparan bagi investor untuk mengecek proses proyek-proyek yang terdapat dana investasi mereka melalui dashboard yang terus diperbarui.

 

Hal Gaib

Sarjana Pertanian jebolan Universitas Brawijaya Malang ini terinspirasi mengembangkan aplikasi pertanian yang bisa membantu para petani, karena hobinya memang terkait dengan bidang itu, yaitu bercocok tanam. “Sejak 2009, saya sudah berkebun sendiri memulai bertanam di daerah Bogor. Di daerah Sukawangi itu saya mulai proyek pertama untuk memberdayakan petani kecil dengan bekerjasama menanam kopi dan sayur-sayuran,” kisahnya.

Dari kegiatan tersebut dia mendapati masalah yang dihadapi para petani. “Saya banyak menemukan masalah mulai dari permodalan, kurangnya modal, keterbatasan lahan sampai akses pasar yang sulit. Nah wijon (tengkulak) ini banyak, nggak hanya di daerah Bogor, tapi juga di daerah lain, dimana petani dipinjamkan uang sama mereka dan ketika panen harus dibayar ke tengkulak dan hutangnya harus juga dihitung. Persoalan ini yang saya lihat langsung. Dimana mereka menjual barang itu jauh di bawah harga tengkulak lain. Saya juga melihat keuangan petani yang merugi terus, akhirnya terjebak di dalam lingkaran setan. Sementara lembaga atau badan yang lain tak ada yang mau membantu petani, karena resikonya memang sangat tinggi,” lanjutnya.

Dari pengalaman itulah terbersit ide untuk membangun sebuah usaha yang dapat membantu petani menjadi lebih sejahtera. Ide itu kemudian diwujudkan pada Tanijoy dengan mengandeng rekannya. “Setelah melalui perjalanan panjang kami memutuskan untuk mendirikan usah rintisan berbasis social enterprise dengan harapan dapat menjadikan para petani lebih profesional dan mandiri,” ungkap Nanda.

Diklaim Nanda, modal awal yang dikeluarkan untuk mengembangkan startup ini hanya sekitar Rp 5 juta. Uang tersebut digunakan untuk membeli peralatan kantor dan web site. Namun langkah selanjutnya yang cukup berat karena harus melakukan pembinaan kepada para petani, mulai dari produk yang cocok untuk pasar hingga teknologi. Belum lagi berhadapan dengan para tengkulak yang tidak senang petani beralih ke sistem yang lebih menguntungkan, sekaligus merugikan mereka.

Nanda mengakui, meskipun niatnya baik untuk membantu meningkatkan kesejahterakan para petani, namun ada banyak rintangan dalam membangun Tanijoy ini. Bahkan, ia secara tidak langsung pernah berhadapan dengan hal gaib, yang bertujuan untuk menghentikan langkahnya dalam membantu para petani.

“Walupun tidak secara langsung berhadapan secara fisik namun ada berbagai hal terjadi untuk menghentikan langkah saya membantu para petani. Saya pernah dikirimi black magic, misalnya di depan rumah dikirimi jeroan ayam yang sudah terlihat berantakan, jeroan hewan lain. Terus ada juga salah satu tim kami yang kesurupan. Kalau kata orang sana, ini dikirimi. Cuma saya orangnya memang nggak terlalu percaya dengan hal semacam itu. Namanya usaha kami lebih banyak didaerah, biasanya hal-hal semacam itu masih banyak prakteknya,” ungkap Nanda sambil tersenyum.

 

Melalui Tanijoy, Nanda Putra berharap bisa membantu meningkatkan kesejahteraan petani (Foto: Dok. Pribadi/youngster.id)

 

Pivot

Kesulitan lain adalah masalah modal. Hal itu membuat Nanda dan kawan-kawan memutuskan untuk mengubah arah usaha mereka dari marketplace menjadi penghubung petani dengan investor dan pemilik lahan. Menurut Nanda, berkolaborasi dengan para distributor merupakan cara paling efektif membantu para petani yang ingin sebuah hasil dari apa yang ia tanam setelah panen tiba.

“Dulu kami juga pernah bermain untuk memenuhi kebutuhan supermaket, cuma dalam perjalanannya kami menemui perputaran uangnya lambat sementara petani ingin dapat uang cash dan langsung. Akhirnya kami memutuskan untuk pivot,” ujarnya.

Kini Tanijoy menjadi platform yang menghubungkan para petani dengan investor, serta membantu mereka menjual hasil tani langsung ke supplier, restoran, hingga perhotelan dengan harga yang lebih baik dibanding ke tengkulak.

Nanda menjelaskan, biasanya Tanijoy mencari calon pembeli terlebih dahulu sebelum memutuskan komoditi apa yang akan ditanam. Untuk monetisasinya, Tanijoy menerapkan sistem bagi hasil. Petani dan investor masing-masing mendapat 40% dari penjualan, sisa 20%-nya untuk Tanijoy.

Tak hanya itu, menurut Nanda dari 20% yang merupakan bagian keuntungan, Tanijoy masih menyisihkan 10% sebagai dana cadangan apabila terjadi gagal panen. Dana ini disimpan sebagai bentuk asuransi kepada investor.

“Karena harga kan naik turun. Contohnya komoditas cabai, saat bulan Oktober lalu harganya Rp 6.000 di tengkulak. Kami jual Rp11.000 juga masih rendah harganya. Sekarang harga cabai Rp 40.000 ke atas. Saat harga Rp 40.000, kami untung banyak,” ujar Nanda.

Dari keuntungan tersebut mereka menetapkan uang asuransi atau proyek gagal. “Memang asuransinya tidak full. Sementara ini kami masih menggunakan uang pribadi untuk asuransinya,” tambahnya.

Selain menyisihkan dana untuk keperluan asuransi, pihaknya juga masih mengalokasikan 25% dari keuntungannya untuk mitra lahan. Rata-rata, satu orang mitra lahan memiliki lahan seluas 30-40 hektar. “Pemilik lahan ini di luar sistem perjanjiannya. Ada yang sistemnya bagi hasil, ada yang sewa lahan,” terangnya.

Tanijoy juga mendorong petani mitranya menanam tanaman yang cepat panen dengan rentang waktu 3-6 bulan. Untuk itu dia tak henti-henti melakuan edukasi kepada para petani terutama dalam hal bercocok tanam yang benar.

“Kalau untuk di wilayah Bogor, kami masih menggunakan metode konvesional. Tetapi dalam upaya mengedukasi kami terus melakukannya. Karena ada beberapa yang banyak belum tahu ketika tanaman diberikan banyak pupuk malah mengakibatkan kerusakan. Selain itu, dalam pemakaian pestisida, mereka juga berlebihan memberikannya. Nah di sini peran kami juga turut mengedukasi dalam hal bercocok tanam, dan termasuk penggunaan pupuk hingga pemberian pestisida. Biar nggak rugi, di sini kami selalu mengedukasi para petani, dengan cara tepat guna,” jelasnya.

Menurut Nanda, sejak awal berdiri Tanijoy, ia dan timnya sudah melebarkan sayap wilayah usahanya ke daerah Sukabumi, Pangandaran, Garut Jawa Barat hingga Jawa Timur seperti Malang.

“Saat ini kami sedang melakukan wilayah perluasan usaha seperti ke Sukabumi, Pangandaran, Garut dan Malang. Intinya masih di pulau Jawa,” klaim Nanda.

Menurut Nanda, sudah ada 50 petani yang bergabung dalam daftar Tanijoy. “Angka itu di lapangan lebih banyak. Karena satu petani, dia megang lahan seluas 1 hektar, dia nggak mungkin bisa meng-handle 1 hektar itu, tapi diperbantukan ke tetangga atau sanak saudara mereka yang lain. Dengan begitu ada cost yang harus kami keluarkan untuk mereka. Dan, itu semua kami tangani dengan jumlah 8 tim yang kami miliki,” ucap Nanda menambahkan.

Yang membedakan Tanijoy dengan startup pertanian lain, adalah pada Farming Management System yang menyediakan laporan transparan melalui dashbor kepada para investor. Dengan begitu, proses proyek yang didanai dapat dilihat secara terus menerus.

“Di platform lain ada yang belum memakai model seperti ini. Ada yang sudah selesai panen baru bikin laporan. Kami ada dashboard yang laporannya update,” klaim Nanda.

Diakui Nanda, keputusannya untuk mengembangkan social enterprise Tanijoy ini merupakan inisiatif sendiri. Tujuannya agar bisa memaknai hidup, sehingga dapat dirasakan manfaatnya untuk orang lain.

“Orang bilang ngapain bangun bisnis karena bisa juga bekerja atau melamar kerja dimana saja bisa. Tapi saya tidak mau karena saya kepingin hidup saya lebih bermanfaat bagi orang lain. Artinya ketika diri bisa memberikan kebaikan untuk orang lain nantinya akan memberikan dampak seperti tabungan akhirat untu diri saya sendiri. Selain ada kepuasan tersendiri bagi kami bisa membantu orang lain. Saya bukan termasuk orang yang selalu berorientasi pada uang, kalau uang pasti butuh. Tapi di sini saya lebih senang berkolaborasi, berbagi sehingga bisa memberikan manfaat bagi yang lain,” pungkasnya.

 

=====================================

Muhammad Nanda Putra

===================================

 

FAHRUL ANWAR

Editor : Stevy Widia

Exit mobile version