youngster.id - Penampilannya bersahaja, dengan sedikit polesan rias di wajahnya. Toh, wanita berjilbab ini tetap terlihat cantik dan penuh semangat. Padahal, dia adalah pengusaha muda yang sedang moncer di bidang kecantikan.
Dia adalah Nadya Saib, pendiri sekaligus pemilik Wangsa Jelita—produk kecantikan berbahan alami. Berbeda dengan pengusaha produk kecantikan lain, gadis yang satu ini tak sekadar menawarkan produk untuk mempercantik diri tetapi juga mengajak kaum perempuan untuk memberi dampak positif bagi lingkungan sekitar.
“Saya memang sudah suka dengan produk kecantikan sejak masih remaja. Passion saya di bidang ini. Namun saya tidak pernah menyangka bisnis yang dijalani ini akan menjadi sosiopreneur,” ungkapnya saat ditemui Youngsters.id.
Lewat Wangsa Jelita, Nadia menghadirkan produk kecantikan berbahan alami khas Indonesia. Dari sabun mandi, lotion, bodybutter, bodysrub, hingga baby oil. Produk ini berhasil menembus pasar produk kecantikan yang sangat ketat. Meski Nadya tidak mau menyebutkan omzet dan profit Wangsa Jelita, namun dari produk skala rumahan kini produksinya sudah berskala besar dengan pabrik di Bandung.
Tak hanya itu, sejak tahun 2014 produk-produk Wangsa Jelita hadir di beberapa e–commerce ternama, seperti Bukalapak, Lazada, Blibli, dan Berrybenka. Padahal dia berawal dari pemasaran online yang mengandalkan media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram. Bahkan, kini Wangsa Jelita sudah memiliki toko offline di Jakarta, Bandung dan Bali.
“Pasar kami adalah untuk orang-orang yang peduli dengan produk alami, gaya hidup sehat, dan produk organik. Selain itu, bisnis kami adalah bisnis berdampak sosial,” ungkap Nadya.
Berawal dari Sabun
Gadis kelahiran Balikpapan ini memulai bisnisnya sejak tahun 2009. Kegemaran melakukan penelitian kimia dan ketertarikan pada dunia kecantikan membuat Nadya bersama Fitria Muftizal dan Amirah Alkaff berencana untuk membuat bisnis mandiri. Saat itu ketiga alumni ITB Jurusan Farmasi ini masing-masing menaruh modal sebesar Rp 500 ribu.
Dengan modal sebesar itu, mereka memutuskan untuk membuat produk sabun mandi. “Kami ingin mengawali produksi dengan sebuah produk yang dipakai orang lebih dari satu kali dalam sehari, yaitu sabun,” jelas Nadya.
Setelah melakukan berbagai percobaan mereka akhirnya memutuskan untuk memulai produksi sabun mandi pertamanya dengan label Wangsa Jelita di tahun 2009. Nama Wangsa Jelita diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti bangsa yang jelita sesuai dengan fokus bisnis mereka produk yang memberi perawatan kecantikan.
Nadya menuturkan sejak awal mereka sangat concern menciptakan produk yang benar-benar menggunakan bahan baku alami. “Walau tak bisa memungkiri penggunaan bahan kimia,” ujarnya.
Ia mencontohkan, produk pertama Wangsa Jelita, yaitu sabun, tetap menggunakan bahan kimia. Itu karena proses pengerasan sabun memang harus menggunakan bahan kimia. Namun, bahan kimia yang digunakan hanya sedikit dan benar-benar dipilih. “Dulu kami sempat pakai pewarna tetapi akhirnya tidak kami pakai lagi. Karena, setelah dipikir, pewarna tidak memberikan manfaat pada kulit, itu hanya mempercantik produk,” jelas Nadya.
Keseriusan untuk menghadirkan produk kecantikan yang alami membuat tiga serangkai ini tak henti memperbaiki formula. Bahkan, sebelum akhirnya melepas ke pasar, mereka melakukan tes pasar guna mendapatkan masukan. Mereka memberikan sampel sabun ke lingkaran terdekat seperti keluarga dan teman. “Cara ini kami tempuh untuk mendapatkan masukan yang jujur untuk meningkatkan kualitas produk Wangsa Jelita,” ucapnya.
Perbaikan formula dibarengi inovasi produk membuat Wangsa Jelita mulai diterima pasar. Mengatasi permintaan yang mulai berdatangan, Nadya lantas menggunakan laboratorium kampusnya untuk melakukan produksi lagi. “Bahkan, kami belum bisa membeli cetakan. Cetakan untuk formula sabun memerlukan bahan yang tidak reaktif terhadap komposisi yang ada di sabun, seperti stainless steel, kaca, atau silikon. Bila menggunakan kaca, sabun akan menempel dengan cetakannya. Sedangkan silikon cukup mahal. Alhasil kami menggunakan loyang kue yang kami berikan lapisan agar tidak bereaksi dengan sabunnya,” kenang Nadya.
Awalnya, produk dibuat dengan menggunakan cara tradisional skala rumahan. Namun pemasaran yang agresif lewat media sosial membuat brand ini cepat menerobos pasar. Apalagi mereka ikut beberapa kompetisi, termasuk Program Wirausaha Muda Mandiri dan Community Entrepreneur Challenge yang diinisiasi oleh The Arthur Guiness Fund Foundation dan British Council. Nama mereka pun mulai dikenal. Bahkan, mereka mendapat suntikan dana dari Global Entrepreneurship Program Indonesia lewat program Angel Investor Network Indonesia. Itu membuat Wangsa Jelia pada tahun 2011 resmi menjadi badan usaha.
Produk Wangsa Jelita pun berkembang tak lagi sekadar sabun tetapi aneka produk perawatan kecantikan alami. Produknya pun sudah dalam skala besar di sebuah pabrik di Bandung. Setiap bulan, Wangsa Jelita bisa memproduksi 2.000 batang sabun, 1.250 botol body lotion, 1.250 body scrub dan 1.000 body oil – jumlah yang berlipat ganda dari produksi awal saat masih rumahan.
Terketuk Hati
Meski terbilang sukses, bisnis Wangsa Jelita tak sekadar berorientasi profit. Sesuai dengan tagline “with social impact”, Wangsa Jelita tidak hanya mencari profit semata, tetapi mendukung perkembangan komunitas-komunitas usaha kecil lainnya. Terutama pada kelompok petani Mawar perempuan.
“Yang membuat saya dan tim menjadi sociopreneur adalah karena ketemu petani mawar itu sendiri,” ungkap Nadya.
Pertemuan dengan petani itu bermula ketika dia membuat sabun pertama dengan aroma kunyit, apel, zaitun, hingga teh hijau. “Saya mulai berpikir untuk membuat sebuah sabun dengan aroma khas dari daerah tertentu, misalnya sabun stroberi dari Bandung. Saat kami riset ke Bandung, kami malah bertemu dengan kelompok petani Mawar. Hingga akhirnya kami kini memiliki sabun mawar. Begitu pula dengan petani Sarongge di Cipanas, untuk produk sabun Sarongge Wangsa Jelita,” jelas Nadya.
Gadis yang lahir pada 16 Maret 1987 itu berkisah, hatinya begitu terketuk saat berinteraksi langsung dengan para petani mawar yang umumnya kaum perempuan. Nadya mendapati bahwa dia memiliki begitu banyak pilihan sebagai perempuan, bisa bersekolah setinggi mungkin bahkan punya bisnis sendiri. Sedangkan para perempuan petani yang ditemui itu kebanyakan berhenti bersekolah hingga di bangku SD.
“Kala itu saya terbuka mata. Secara finansial kami sangat baik. Namun ternyata ada satu kejanggalan, saya melupakan visi besar saya: untuk memperkenalkan produk-produk natural yang sesungguhnya,” ungkap Nadya.
Dari pertemuan itulah Nadya memutuskan untuk menjadikan Wangsa Jelita sebagai mitra kerja para petani. Saat itu, menurut Nadya, dia baru mengetahui bahwa tidak semua mawar bisa dibeli oleh para penadah mawar. Mawar kelas C yang batangnya pendek tak laku di pasar.
Kondisi itu justru memicu Nadya memutar otak membuat produk yang bisa memanfaatkan bunga mawar kelas C. Setelah berhasil menemukan formula yang tepat, ia pun melakukan pendekatan kepada petani mawar di Lembang yang akhirnya setuju menjual mawar mereka kepada Nadya. Sebagai imbalan, Nadya melakukan fair trade: mawar kelas C dibeli seharga mawar kelas A. “Mawar kelas C ini sebenarnya masih bagus kelopaknya, hanya masalah batangnya. Tetapi kan kami hanya pakai kelopaknya, jadi tidak masalah untuk kami,” ujarnya.
Tak hanya itu, ia juga memberikan 10% dari profit kepada petani mawar yang menjadi mitranya. Langkah itu justru menambah daya tarik Wangsa Jelita. Di saat perusahaan lain menggunakan sistem fair trade sebagai bentuk dari kegiatan corporate social responsibility (CSR), Nadya justru menginginkan fair trade sebagai kegiatan yang menyatu. “Bukan semata-mata CSR,” cetusnya.
Oleh karena itu, Wangsa Jelita juga ingin mendedikasikan diri sebagai 100% produksi lokal dan bisa memberdayakan usaha kecil-menengah (UKM). Untuk visi ini, mereka kemudian memilih pembuatan kotak kemasan di perajin ketimbang di pabrik besar. “Bekerjasama dengan berbagai orang membuat saya mendapat respon yang unik dengan perspektif yang berbeda-beda. Dan itu terasa menyenangkan,” ucap Nadya.
Langkah itu menambah daya tarik Wangsa Jelita dan menambah deretan apresiasi bagi Nadya. “Mimpi saya menjadikan Wangsa Jelita sebagai merek yang besar dan mendunia tetapi tidak melupakan ciri khas Indonesia,” ungkap Nadya.
======================================
Nadya Fadila Saib
- Tempat tanggal lahir : Balikpapan, 16 Maret 1987
- Pendikan : S1 Apoteka Farmasi ITB
- Perusahaan : CV Wangsa Jelita
- Berdiri usaha : 2009
- Modal Awal : Rp 1,5 juta
- Omzet : –
- Investor : Angel Investor Network Indonesia
- Produksi : setiap bulannya memproduksi: 2.000 batang sabun, 1.250 botol body lotion, 1.250 body scrub dan 1.000 body oil
Penghargaan :
- Top 1 Social Entreprenuer SWA 2015-2016,
- Indonesian Social Entrepreneur IWAY 2013,
- Social Entrepreneur of the Year 2012 (finalist)
- Ernst & Young (2012)
Award Lain :
Young Entrepreneur Winner – ITB Business Plan Competition (2009), Most Promising Community Entrepreneur – Community Entrepreneur Challenge by British Council and Arthur Guinness Fund (2010), Indonesia Delegate for G20 Youth Summit, Paris (2011), Top 10 Finalist – Project Inspire: 5 Minutes to Change the World by UNWomen and MasterCard (2011), Representative of Global Changemaker in Young Challengers Meeting for Global Social Business Summit, Vienna (2011), Inspirational Women Award – NOVA Tabloid (2011), Indonesia Inspirational Moslem Women – Annisa Magazine (2012), Young and Cool Entrepreneur – SWA Magazine (2012), Nominee of Kartini Awards, Indonesia Inspirational Women (2012), ASEAN Youth Award (2012).
=======================================
ANGGIE ADJIE SAPUTRA
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post