youngster.id - Zaman keterbukaan ini telah membuat banyak orang kerap mencurahkan isi hati ke media sosial dengan terbuka. Sayang, curahan hati itu bukan mendapat solusi, tetapi kerap menjadi bumerang dan berakibat bullying. Beruntung, kini hadir aplikasi bagi mereka mencurahkan isi hati dan mencari solusi untuk mendapatkan pikiran tenang dan damai: Riliv.
Menurut sejumlah penelitian, curhat itu termasuk bagian dari pelepasan emosi. Pasalnya jika emosi tidak tersalurkan bisa mengakibatkan gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan jiwa berupa kecemasan dan depresi. Sayangnya karena tempat curhat kurang tepat, bukannya mendapatkan solusi malah tambah dibully.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, sedikitnya terdapat sekitar 11,6% atau 17,4 juta jiwa mengalami gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan jiwa berupa gangguan kecemasan dan depresi dari populasi orang dewasa di Indonesia yang mencapai 150 juta jiwa.
Sementara data dari World Health Organization (WHO) tahun 2014 menyebutkan, setiap 40 detik satu orang meninggal dunia karena bunuh diri akibat depresi. Pemicunya beragam, salah satunya adalah tidak ada tempat curhat untuk menceritakan permasalahannya.
Mengetahui bahwa hal sepele itu memiliki hubungan dengan kesehatan mental seseorang maka Audrey Maximillian Herli memutuskan untuk membuat Riliv. Ini adalah aplikasi “curhat” yang dibuat dengan konsep konsultasi one–on–one oleh psikolog profesional secara anonim.
“Suatu hari, ketika sedang membuka Twitter dan Facebook, saya menyadari bahwa banyak pengguna jejaring sosial yang suka menuliskan masalahnya atau ketika memiliki hari yang buruk ke dalam status Facebook atau tweet mereka. Dari sana saya terpikir untuk membuat wadah, dimana setiap orang bisa dengan nyaman menceritakan masalah mereka dan akan mendapatkan response positif dari orang-orang yang memiliki latar belakang psikolog. Dan setiap user di dalamnya, dapat saling memberikan dukungan positif dan belajar dari permasalahan satu sama lain,” ungkap pemuda yang akrab disapa Maxi itu kepada Youngsters.id.
Menurut Maxi dia membuat aplikasi ini juga karena terinspirasi setelah membaca buku Andrea Hirata. “Bahwa jika berpikir positif, dan mengenal seseorang secara emosional ternyata akan memberikan akses pada bank data kepribadian tempat kita belajar banyak hal baru,” ujarnya.
Sejatinya CEO-Business UX Designer Riliv.co ini bukan berlatar belakang psikolog. Namun dengan ilmu sistem informasi yang diperolehnya di Universitas Airlangga Surabaya dia ingin mengubah stigma masyarakat mengenai kesehatan mental dan psikolog. “Keinginan pribadi saya adalah bisa mengubah kehidupan sosial dan mental health masyarakat menjadi lebih baik melalui teknologi informasi,” tegas Maxi.
Bukan Psikolog
Pemuda kelahiran 13 Oktober 1992 ini mulai membangun Riliv sejak program Startup Surabaya pada Mei 2015. Menurut Maxi, untuk itu dia hanya bermodalkan laptop dan keahlian membangun dan merancang aplikasi. Maxi didukung dua temannya, Audy Christopher Herli dari Teknik Industri dan Fachrian Anugerah dari Sistem Informasi Unair.
Menariknya, meski aplikasi ini terkait psikologi, tak ada satupun dari mereka yang menguasai ilmu kejiwan. Tapi mereka tidak menyerah. “Saya melakukan riset singkat dan menemukan bahwa hal sepele seperti curhat memiliki hubungan yang saling berkaitan dengan mental health. Dan saya menemukan bahwa di Asia Tenggara kondisi kesehatan mental adalah sesuatu yang tidak diprioritaskan. Ada stigma dan definisi yang salah untuk mendeskripsikan mental health di kalangan masyarakat. Dan masalah ini yang ingin kami carikan solusinya,” ungkap Maxi.
Menurut dia, kesehatan mental adalah fondasi yang menentukan suatu kualitas sistem kehidupan baik untuk pribadi ataupun social. Karena hal tersebut berkaitan dengan cara pandang seseorang terhadap kehidupan. Termasuk cara mereka memandang permasalah dan menyelesaikannya.
“Menurut saya, tidak merasa buruk akan diri sendiri, bukan berarti seseorang merasa baik-baik saja. Seseorang bisa saja merasa baik-baik saja, tapi bukan berarti mereka merasakan energi yang positif. Dari situ saya merasa ini akan menjadi long-term purpose saya, untuk bisa membuat wadah dan setiap user didalamnya, dapat saling memberikan dukungan positif dan belajar dari permasalahan satu sama lain,” jelas pemuda yang pernah menjadi Google Student Ambassador South East Asia 2012 itu.
Oleh karena itu, setelah kompetisi dan mendapatkan mentorship ke Google Jepang maka pada 9 Agustus 2015 Riliv.co dirilis. “Awalnya, enggak ada psikolog profesional yang mau bergabung. Hanya lima orang mahasiswa psikologi sebagai regular reliever,” ujar Maxi.
Namun langkah berani membuat startup itu membuat Maxi dan kawan-kawan berhasil memenangkan sejumlah penghargaan bergengsi, termasuk Google Android One 2015 maka kepercayaan terhadap Riliv.co meningkat. Tak lama psikolog profesional mulai bergabung seiring dengan potensi bisnis berbasis teknologi.
Kini Riliv.co telah menggandeng Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Jawa Timur. Total ada 40 orang terdaftar sebagai reliever dari 120 orang yang tertarik bergabung. “Untuk mahasiswa, seleksinya makin ketat. Syaratnya, dia harus terdaftar resmi sebagai mahasiswa Psikologi dan minimal lulus mata kuliah konseling atau minimal semester 5. Sedangkan untuk expert reliever adalah psikolog profesional yang memiliki ijasah resmi. Sebelum mendaftar kami memverifikasi data mereka terlebih dahulu,” jelas Maxi.
Meski baru diluncurkan pada Appstore dan Google Playstore, aplikasi ini sudah menangani 12.846 curhatan dan 8.270 user, dengan jumlah 3.000 user aktif per bulan baik lewat teks, telepon dan video call. Tim Riliv juga telah bertumbuh menjadi 13 orang, termasuk kontributor dan internee.
Mengubah Stigma
Terdapat enam kategori yang disediakan Riliv.co, yakni curhat soal cinta, karier, pendidikan, keluarga, sosial, hingga gangguan psikologi. “Masalah paling banyak adalah percintaan, kemudian keluarga dan karir,” ucap Maxi.
Melalui aplikasi yang bisa diunduh gratis melalui Appstore dan Google Playstore, user bisa mengontak reliever atau psikolog. Aplikasi ini memasilitasi penggunanya untuk berkonsultasi langsung masalah pribadinya secara gratis, kepada mahasiswa psikolog hingga psikolog profesional. Menariknya lagi, pengguna bisa konsultasi masalahnya mulai dari percintaan, keluarga, sosial, pendidikan, karier, hingga depresi.
“Saat menggunakan aplikasi ini, kita bisa lho ‘curhat; dengan nama samaran supaya tidak malu bercerita. Kita juga bisa pilih psikolog siapa yang ingin dijadikan tempat berkonsultasi. Nanti feedback-nya akan didapatkan kurang dari 24 jam,” jelasnya.
Maxi juga menjamin kerahasiaan data dari para pengguna Riliv.co. “Setiap transaksi data selalu melalui proses verifikasi terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya pengambilan data dari orang yang tidak berwenang. Kemudian hanya orang-orang tertentu yang memiliki akses ke server. Selain itu, Riliv tidak menyimpan identitas pribadi pengguna selain email,” tegasnya.
Tak sekadar membuatkan wadah untuk curhat, dengan Riliv, Maxi dan kawan-kawannya ingin mengubah stigma orang terhadap psikolog. Bahwa pergi ke psikolog itu bukan hanya untuk orang gila saja. “Kami ingin membuat semua orang happy. Dengan dasar ilmu psikologi, we want to make a peace of mind all over the world,” tegas Maxi.
Startup ini terus mengembangkan diri. Baru-baru ini mereka terpilih masuk daftar 16 besar Young Social Enterprise (YSE) di Singapura tahun 2015. Selama proses seleksi di YSE, Riliv telah menyisihkan 150 startup dari berbagai negara untuk mendapatkan mentorship dari pakar profesional dengan berbagai latar belakang.
Ke depan, aplikasi curhat online ini akan dikembangkan lebih luas ke pangsa pasar Indonesia, tak hanya seputar Surabaya. Selain itu, potensi bisnisnya akan diperluas melalui mekanisme wisdom points. “Bagi yang ingin curhat lebih banyak, pengguna diminta membeli koin ekstra. Atau kami juga memasilitasi pertemuan dengan psikolog profesional secara langsung,” ujar Maxi
Maxi berharap dengan aplikasi yang dikembangkan ini sumber daya manusia di Indonesia akan mengalami peningkatan. “Melalui misi Riliv, kami berharap dapat membantu setiap orang dalam membangun kualitas pola pikir yang damai di dalam dirinya. Baru setelah itu, kami percaya kedamaian dunia akan tersebar dengan sendirinya. Sehingga dengan adanya kualitas emotional intelligence yang lebih baik yang dibangun sejak dini, dimasa depan masyarakat Indonesia tidak akan bekerja lebih keras, tetapi akan bekerja lebih pintar,” pungkas Maxi.
======================================
Audrey Maximillian Herli, S.Kom
- Tanggal Lahir : 13 Oktober 1992
- Pendidikan : Sarjana Sistem Informasi Universitas Airlangga Surabaya
- Usaha : Mengembangkan aplikasi Riliv.co, yang dirilis pada 9 Agustus 2015 (Google Playstore)
- Pengguna : 8.270 (3.000/bulan)
Prestasi :
- Best 16 Young Social Entrepreneurs (YSE) 2016
- Top 3 Startups of Startup Sprint StartSurabaya 2015
- 1st Winner Wempy Dyocta Koto Award 2015
- 1st Winner AndroidOne #SatuMulai Competition Google Indonesia 2015
- Semi finalist Datsun Rising Challenge 2014
- 1st Winner Djarum Black Apps Competition 2013
- 1st Winner Ideacanvas Aseanpreneur 2013
- Top 20 Finalist of Telkom Indigo Incubator 2013
- TOP 10 Finalist GEMASTIK 6 (Software Engineering Design & Development) 2013
- Top 50 Finalist of Apaidemu.com 2012
=====================================
STEVY WIDIA
Discussion about this post