Boris Sanjaya : Dukung Digitalisasi UKM Untuk Perluas Bisnis

Boris Sanjaya, Co-founder & CEO PT Advotics Teknologi Global (Advotics) (Foto: Indotelko.com)

youngster.id - Digitalisasi memainkan peran besar bagi para pelaku usaha kecil menengah (UKM) memperluas dan mengembangkan bisnis mereka. Upaya digitaliasi menjadi penting melihat perubahan lingkungan bisnis yang semakin mengandalkan teknologi. Startup berbasis Software-as-a-Service (SaaS) menjadi salah satu pendukung tranformasi digital UKM.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat pandemi Covid-19 dan penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berimbas pada menurunnya konsumsi rumah tangga, investasi maupun ekspor serta meningkatkan angka pengangguran. Dan sektor usaha yang selama ini menjadi safety net saat ini menjadi salah satu sektor ekonomi yang paling terdampak.

Namun, di sisi lain, UMKM merupakan sektor yang berpotensi untuk digerakan karena memiliki peluang pasar yang luas serta mampu menyerap banyak tenaga kerja. Menteri Koperasi dan UKM pernah mengatakan, di tengah tantangan wabah Covid-19 sektor UMKM merupakan sektor yang mampu menangkap peluang dari kondisi saat ini terutama yang sudah terhubung dengan digitalisasi. UMKM berbasis online memiliki ketahanan yang lebih baik dibandingkan dengan offline, sehingga digitalisasi UMKM menjadi urgensi untuk menghadapi kondisi ketidakpastian seperti saat ini.

Bentuk digitalisasi UKM yang diterapkan tidak hanya berfokus pada kegiatan pemasaran produk tetapi juga dalam manajemen karyawan, jaringan bisnis, aset, dan produk. Hal ini yang ditawarkan oleh Advotics, dengan menyediakan platform berbasis cloud untuk membantu para pelaku UKM.

“Sebagai perusahaan yang berdiri dengan misi untuk mengatasi tantangan sebagian besar perusahaan dalam mengelola dan melacak operasional penjualan dan distribusi produk secara manual, Advotics ingin menjadi mitra UKM Indonesia dalam melakukan transformasi digital,” kata Boris Sanjaya, Co-founder & CEO Advotics kepada youngster.id.

Startup yang awalnya menawarkan solusi manajemen dan analitis untuk kebutuhan rantai pasok barang berbasis Software-as-a-Service (SaaS) sekarang fokus ke pelaku UKM dengan menyediakan platform berbasis cloud untuk mendigitalkan tenaga kerja, jaringan bisnis, serta aset dan produk fisik milik perusahaan.

“Pemanfaatan teknologi yang tepat sangat memungkinkan UKM untuk meningkatkan produktivitas dan performa bisnis karena sistemnya yang online dan dapat dengan mudah diakses kapan saja,” tegasnya.

Boris memaparkan, Advotics menyediakan platform berbasis cloud untuk mendigitalkan tenaga kerja, jaringan bisnis, serta aset dan produk fisik milik perusahaan. Misi perusahaan yang dirintisnya ini adalah menghadirkan visibilitas terhadap aktivitas terkait supply chain untuk stakeholder terkait. Salah satu solusi yang ditawarkan, Workforce Management System, telah terbukti berhasil meningkatkan kunjungan tenaga pemasar atau salesman ke toko sebesar 40%, dan penjualan hingga 53%.

“Dengan hadirnya Advotics, kami ingin teknologi berbasis data dapat membantu UKM memahami pelanggan mereka lebih baik, mengelola, dan melacak operasional penjualan serta distribusi produk secara online. Dan tak kalah penting melihat potensi masing-masing kanal penjualan bisa terus dipantau dan dianalisis,” tegas Boris.

 

Produsen dan Distributor

Perusahaan rintisan milik anak negeri yang didirkan sejak tahun 2016 oleh Boris bersama ketiga rekannya dengan latar belakang beragam. Boris adalah lulusan Industrial Engineer yang pernah bekerja di Boston Consulting Group (BCG). Bersama rekannya Hendi Chandi (sekarang menjabat CTO), mantan Senior Software Developer di Amazon.com mereka mulai merintis Advotics. Pada tahun 2018, Jeffry Tani bergabung sebagai Chief Product Officer. Dia merupakan pemegang gelar PhD Teknik Mesin dari MIT dan berpengalaman kerja sebagai Researcher di Schlumberger.

Mereka punya misi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi sebagian besar perusahaan karena masih mengandalkan metode offline dalam mengelola dan melacak operasional penjualan dan distribusi produk. Apalagi mereka menilai banyaknya dokumen yang harus dikelola secara manual, para pebisnis tersebut menghabiskan banyak waktu untuk pekerjaan rutin, bukan untuk yang bersifat strategis.

“Kami ingin menhadirkan solusi untuk mengubah data dari aktivitas perdagangan dan pekerjaan offline di lapangan menjadi data berguna yang bisa membantu tim manajemen dalam membuat keputusan bisnis penting seperti penetrasi penjualan, produktivitas, serta strategi penjualan ritel,” papar Boris.

Nama Advotics terinspirasi dari advocacy dan analytics. “Misi kami adalah untuk mendigitalkan aktivitas perdagangan yang terjadi offline menjadi sebuah data yang bisa digunakan manajemen perusahaan dalam membuat keputusan bisnis seperti penetrasi penjualan, produktivitas, serta strategi penjualan ritel,” ujarnya lagi.

Pemuda lulusan Bachelor of Science in Industrial and System Engineering, University of Washington menjelaskan, dengan end-to-end integration produk Advotics, klien mereka dapat meningkatkan jumlah sales order hingga 53%. Selain itu, solusi Route Management System mereka juga telah teruji membantu produsen dan distributor untuk memperluas cakupan (coverage) toko hingga 50% di seluruh Indonesia. Bahkan produk mereka juga memperkuat hubungan antara pemilik merek dan toko dengan adanya self-service application dan loyalty program.

“Di samping itu, teknologi kami juga dapat membantu perusahaan mengeliminasi adanya data error, mempercepat operasional dan memberikan sistem tracking yang lebih akurat,” ujar Boris.

Diklaim Boris, setidaknya ada 2 keunggulan dari solusi yang ditawarkan Advotics. Pertama, 8 total solusi Advotics bisa digunakan secara mandiri maupun terintegrasi satu sama lain. Produk kami telah meng-cover rantai pasok secara end-to-end, mulai dari produksi, gudang, distribusi, penjualan, hingga pemasaran di pengecer. “Dengan business model SaaS, produk kami juga dapat diintegrasikan dengan solusi supply chain third-party yang lain,” ujarnya.

Keunggulan lain, semua solusi telah melewati standar wajib yang diundangkan dan mengikuti standar manajemen terakreditasi seperti ISO 27001 tentang keamanan data. “Kami mengambil best practice di industri, sehingga klien tidak mengalami waktu delay terlalu lama untuk development sistem dari nol,” tegas Boris.

Saat ini Advotics juga telah dipercaya oleh sejumlah brand dari segmen korporasi, yang meliputi ExxonMobil, HM Sampoerna (afiliasi dari Philip Morris International), Danone, Mulia Group, Saint Gobain, Nutrifood, dan Indosurya. Selain itu juga para pelaku UKM.

“Sebanyak 40% pelanggan Advotics saat ini merupakan mereka yang termasuk dalam usaha kecil dan menengah, meskipun dari segi jumlah pengguna solusi tentunya berbeda,” ujarnya.

 

Dengan dukungan 120 karyawan, Boris Sanjaya mampu mengembangkan Advotics hingga seperti sekarang. Saat ini Advotics juga telah dipercaya oleh sejumlah brand dari segmen korporasi, yang meliputi ExxonMobil, HM Sampoerna (afiliasi dari Philip Morris International), Danone, Mulia Group, Saint Gobain, Nutrifood, dan Indosurya. Selain itu juga para pelaku UKM (Foto: Dok. Pribadi)

 

Peluang Digital

Boris bersyukur sejak Advotics diluncurkan pertama kali ditahun 2016 hingga kini bisnis ini terus berkembang dan berkelanjutan. Bahkan mereka telah mendapatkan pendanaan dari investor yang dipimpin East Venture. Nilai pendanaan tersebut mencapai US$2,7 juta atau setara dengan Rp 39 miliar.

Boris menegaskan, pendanaan tersebut akan difokuskan untuk pengembangan teknologi dan mempercepat pertumbuhan pengguna.

“Kami ingin teknologi berbasis data dapat membantu UKM memahami pelanggan mereka lebih baik, mengelola, dan melacak operasional penjualan serta distribusi produk secara online,” kata Boris lagi.

Menurutnya, tim Advotics berhasil mengatasi inti masalah dalam pemantauan rantai pasok di Indonesia. Dengan begitu, solusi Advotics bisa membantu para perusahaan dalam memantau pergerakan tenaga kerja dan barang-barang mereka.

“Advotics saat ini punya 120 karyawan, sebagian besar adalah di bidang software development. Kami bisa membantu para perusahaan dalam memantau pergerakan tenaga kerja dan barang-barang mereka dengan mudah,” imbuhnya.

Pihaknya juga menyediakan aplikasi berupa identfikasi produk secara digital. Contohnya dengan kode QR di kemasan produk yang bisa membantu pelacakan distribusi dari gudang hingga ke tangan konsumen, serta mampu memberi perlindungan dari risiko pemalsuan.

“Dengan platform cloud dari Amazon Web Services di solusi SaaS kami, UKM leluasa memilih aplikasi dengan sistem berlangganan untuk data-data terkait layanan yang mereka perlukan saja,” katanya.

Saat ini mereka berusaha untuk mengedukasi pentingnya digitalisasi perusahaan. Selain itu mereka terus mengembangkan produk dan fitur layanan. “Kami terus mengembangkan produk dan fitur kami agar dapat semakin menjawab kebutuhan industri. Di samping itu, kami juga menjalankan kerja sama dengan perusahaan B2B lainnya untuk memberikan value-added atau nilai lebih layanan kepada klien dan pengguna solusi kami. Misalnya terkait solusi pembiayaan, pembayaran, dan logistik,” ungkapnya.

Boris yakin akan peluang bisnis yang dijalankan Advotics. Meskipun situasi saat ini cukup berpengaruh terhadap kelangsungan ekosistem yang dialami banyak perusahaan.

“Dengan adanya COVID-19, banyak perusahaan yang mengalami tantangan operasional dan perubahan pola permintaan konsumen. Solusi Advotics dapat memberikan 2 manfaat, untuk menyediakan transparansi data secara real-time dan membantu adaptasi proses bisnis perusahaan yang berubah karena pembatasan aktivitas di luar rumah. Terkait transparansi data atau visibilitas, solusi kami dapat membantu klien untuk mengetahui perubahan pola permintaan konsumen terjadi di mana, di wilayah distribusi apa, dan terjadi untuk produk apa saja. Sistem analitik kami juga dapat membantu perusahaan untuk melakukan perencanaan produksi yang lebih akurat. Jadi nanti ketika keadaan telah membaik, sehingga perusahaan dapat kembali ke operasional business as usual lebih cepat,” ungkapnya.

Mereka juga menegaskan siap mendukung perusahaan dalam penyesuaian proses bisnisnya dengan protokol selama pandemi ini. Dengan menyediakan beberapa fitur dan produk yang dapat mereka gunakan. Contohnya, fitur visitless sales order dalam produk Workforce Management System.

“Fitur ini dapat membantu salesman untuk tetap mendata dan memproses pesanan toko secara digital tanpa kunjungan fisik. Hal ini dikarenakan dengan adanya PSBB, banyak sales lapangan yang mengalami kesulitan ketika mereka harus melakukan kunjungan ke toko-toko klien. Sedangkan contoh lainnya adalah dengan produk Advocate Relationship Management, toko dapat menyampaikan pesanan secara mandiri melalui aplikasi seluler, langsung ke distributor dan perusahaan. Solusi ini tentunya membantu perusahaan untuk tetap menangkap permintaan dan data perilaku pasar,” paparnya.

Boris yakin, ke depan proses digitalisasi tidak lagi menjadi sebuah kemewahan bagi perusahaan, melainkan adalah kebutuhan.

“Saya meyakini, apalagi seperti dalam situasi COVID-19 ini, tentunya dengan memperkuat pentingnya transformasi digital bagi perusahaan. Harapan saya adalah lebih banyak perusahaan yang menyadari pentingnya visibilitas data, kemampuan memprediksi kebutuhan pasar, dan supply chain network yang lebih kuat,” pungkasnya.

 

====================

Boris Sanjaya

======================

 

FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia

Exit mobile version