Jatmiko Kresnatama dkk. : Bidik Peluang di Bisnis Voice Over

Jatmiko Kresnatama, Co-founder & CEO Inavoice.com (Foto: Dok. Pribadi)

youngster.id - Selama ini kita mengenal voice over atau pengisi suara melalui industri kreatif di televisi. Namun belakangan industri ini telah berkembang dan memberi kontribusi lebih. Tak heran jika voice over talent pun mulai dilirik oleh banyak anak muda sebagai profesi yang menjanjikan.

Zaman teknologi telah membawa banyak perubahan termasuk dalam industri kreatif. Industri ini telah berkembang pesat, mulai dari kreasi konten video, podcast hingga mobile games dan mobile application. Berbagai talent bermunculan dan menjadi tren, salah satunya adalah voice over atau dubber. Mulai dari mengucapkan “Game over” atau “You Win” hingga mobile aplikasi seperti audiobooks dilakukan oleh para dubber.

Melihat pertumbuhan dan peluang di industri voice over di Indonesia ini mendorong Jatmiko Kresnatama, Risna Fajar Rosendra, Indar Adhi Kusuma, dan Henry Yunan Lennon, mendirikan Inavoice.com, sebuah digital voice over agency yang menawarkan layanan produksi voice over.

“Melihat pesatnya pertumbuhan industri voice over di Indonesia serta luasnya diferensiasi kualitas hasil voice over yang diproduksi menjadi celah bagi calon pengguna jasa voice over. Untuk itu kami hadir, menawarkan pengalaman kami dalam industri produksi audio dan jaminan hasil kualitas terbaik dengan konsistensi yang tetap terjaga,” kata Jatmiko, Co-founder & CEO Inavoice kepada youngster.id.

Selain mengembangkan jasa produksi voice over, startup yang didirikan pada 1 September 2020 ini juga mengembangkan Audio Marketplace, sebuah “pasar background musik” dimana setiap kontributor musik terpilih dapat menjual musiknya melalui platform ini.

“Inavoice Audio Marketplace kami dirikan atas dasar rasa prihatin kami terhadap tingginya tingkat kesulitan content creator audio visual ketika mencari atau membeli background musik berlisensi khusus. Karena kesulitan yang cukup tinggi inilah, banyak content creator yang mungkin mencari free copyright music, yang mungkin tidak sesuai dengan bayangan musik yang diinginkan,” ungkapnya.

Meski terbilang baru seumur jagung, Inavoice telah memiliki 200 voice over talent dari 30 negara berbeda, dan 6 music contributor yang tersebar dari 4 megara berbeda di dunia. Juga, telah memiliki 20 clients yang telah menggunakan jasa Inavoice, baik jasa pembuatan voice over ataupun produksi musik.

“Kami telah bekerjasama dengan beberapa client ternama seperti Shopee, Bank Indonesia, Uniceff, Wyeth S26 dan masih banyak lagi pada kuartal awal pembentukannya,” klaim pria yang akrab disapa Miko ini dengan bangga.

 

Solusi Satu Pintu

Menurut Miko, Inavoice lahir dari gagasan bagaimana menjawab tantangan industri voice over dan pasar audio ditengah situasi pandemi yang tidak menentu. “Di industri ini, kami bekerja sebagai konsultan, pemasar, dan produser konten. Kami sering ditanyai oleh pengisi suara bakat dan kontributor musik tentang bagaimana mereka harus terus bergerak di industri ini,” ungkap Miko.

Melalui Inavoice, lanjut Miko, talenta voice over dan profil kontributor musik mendapat klien dan talenta sesuai kategori yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan begitu mereka dapat menunjukkan hasil terbaik.

“Kami menggunakan sistem yang disebut ‘iVoice Algorithm’. Sistem ini akan menghasilkan pengisi suara untuk bakat dan profil kontributor musik secara acak dimana masing-masing dari mereka akan memiliki kesempatan untuk tampil secara bergantian saat klien datang mengunjungi halaman tersebut,” jelasnya.

Menariknya, masing-masing co-founder dari Inavoice ini memiliki keahlian yang menunjang bisnis ini. Jatmiko mengembangkan teknik suara dan penyutradaraan suara sebagai keahlian utamanya. Sedang Henry selaku Ketua Jurusan Kreatif yang memiliki reputasi pada beberapa proyek seni rupa di Yogyakarta. Kemudian, Risna yang merupakan alumni Universitas Gadjah Mada menjadi Kepala Administrasi di Inavoice.com. Dan, Indar yang lulusan Amikom Yogyakarta menjadi CTO.

Tak mengherankan, meski startup ini hadir di tengah kondisi pandemi yang sulit, Inavoice sudah dapat menggaet 200 talenta voice dengan 15 kategori variasi suara yang berbeda. Selain itu, Inavoice.com telah mengembangkan pasar audionya dan memiliki lebih dari 50 musik di dalamnya. “Kami mencoba menjadi ‘Solusi Satu Pintu untuk Produk Audio Visual’,” tegas Sarjana Komunikasi Unika Atma Jaya Yogyakarta.

Inavoice.com juga menyediakan musik latar untuk produk audiovisual apapun di pasar audio. Hingga saat ini Inavoice.com memiliki 6 kontributor musik dari berbagai negara. Musik latar yang ada di pasar audionya ada dalam berbagai kategori, seperti vlog, musik komersial, musik korporat, musik infografis, dan lain-lain.

“Kami juga memiliki kumpulan pustaka untuk mendidik talenta voice, atau penyewaan layanan suara. Termasuk juga memiliki lebih dari cukup pengisi suara dan latar belakang musik untuk proyek audiovisual. Lewat website kami, pengguna dapat langsung membeli musik atau meminta penawaran dengan mendengar suara atau demo musik latar dari setiap halaman,” jelas Miko lagi.

Anak bungsu dari empat bersaudara ini menjelaskan, cara kerja Inavoice yang dibilangnya cukup sederhana. Inavoice mengupayakan optimisasi Google index (baik on page maupun off page) untuk menarik calon client dan customer backround music yang akan menggunakan jasa voice over.

“Tentunya optimasi ini harus diimbangi dengan content marketing melalui channel distribusi kami, baik melalui Blog, Instagram, LinkedIn, Facebook, dan Youtube. Bagi client dan costumer yang ingin menggunakan jasa kami, bisa langsung menghubungi admin melalui page contact us yang ada di website kami,” katanya sedikit berpromosi.

 

Melihat pertumbuhan dan peluang di industri voice over di Indonesia ini mendorong Jatmiko Kresnatama, Risna Fajar Rosendra, Indar Adhi Kusuma, dan Henry Yunan Lennon, mendirikan Inavoice.com (Foto: Dok. Inavoice.com)

 

Monetisasi 2 Bisnis

Menurut penggemar main game ini, voice over talent dan musik kontributor yang bergabung dalam Inavoice semuanya adalah freelancer. “Tidak ada kontrak terikat untuk terus berada dalam agency kami. Dengan cara seperti ini, kami menawarkan win-win solution bagi mereka karena mereka dapat dengan bebas mendistribusikan karya-karya mereka pada agency dan marketplace lain yang ada di seluruh dunia,” ucap Jatmiko.

Kendati begitu, diklaim Miko, untuk menjaga kualitas dari produk Inavoice, pihaknya menerapkan proses seleksi bagi para talent yang ingin bergabung. Mulai dari sample suara atau musik yang berkualitas, mengisi daftar dan portofolio, serta syarat yang ditentukan. “Kami selalu membuka kesempatan bagi mereka yang ingin bergabung bersama Inavoice,” ujarnya.

Dengan dua jenis bisnis yang dihadirkan, Inavoice pun memiliki cara monetisasi yang berbeda. Untuk digital voice over mereka menerapkan konsep B2B, sedangkan untuk audio marketplace diterapkan konsep B2C.

“B2B dengan harapan bahwa klien perusahaan akan menggunakan jasa kami, dan B2C dengan harapan bahwa setiap customer memiliki akses mudah untuk membeli lagu berlisensi untuk setiap konten digital yang mereka produksi,” jelasnya.

Menurut Miko, saat ini Inavoice masih self funding dan belum melakukan penggalangan dana secara terbuka. Sebab, saat ini target Inavoice adalah memaksimalkan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki di bidang audio untuk menjadi ‘win-win solution’, baik bagi talent, music contributor dan juga klien yang akan menggunakan jasa Inavoice.

Selain memiliki data bace 200 talenta suara dengan 30 bahasa, Inavoice menawarkan layanan 24 jam, remote recording system, peralatan broadcast standard licenced audio, dengan garansi 100% uang kembali.

“Yang sedang kami upayakan adalah memaksimalkan distribution channel kami agar bisa menambah jumlah traffic dan memaksimalkan kemungkinan converting melalui hal tersebut. Maklum, kami kan merupakan start-up digital voice over agency dan audio marketplace pertama di Indonesia berbasis self funding,” klaim Miko.

Untuk itu, Inavoice sedang menjajaki kolaborasi dengan beberapa startup digital lain, seperti Commo Creative, dan Collabsasia.

Diakui Miko, sebagai startup yang lahir di masa pandemi, tentu saja pihaknya mendapati banyak tantangan dan kendala. Salah satunya, perubahan behaviour target market, perubahan gaya produksi voice over dari client visit session menjadi remote recording system, tentunya sangat mempengaruhi . Tantangan lain, banyak perusahaan yang terkena dampak covid dan harus memotong budget marketing, termasuk memangkas anggaran untuk produksi voice over.

“Hal ini tetap kami tanggapi positif dengan membuat campaign berdasarkan value proposition yang kami tawarkan kepada klien. Inavoice sedang menggarap tools yang ke depannya akan mempermudah klien dalam mengerjakan script voice over. Kami juga sadar betul bahwa pandemi merupakan starting point baru bagi setiap orang, sehingga bagi bisnis yang terus konsisten dan survive melewati kondisi new normal, bisa menjadi leader baru dalam persaingan pasar. Khususnya industri voice over dan audio marketplace,” pungkasnya.

 

======================

Jatmiko Kresnatama

=====================

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version