youngster.id - YOUNGSTERS.id – Berbagai temuan teknologi dari masa ke masa, sejatinya bertujuan untuk mempermudah kehidupan manusia. Berangkat dari keinginan itulah Ryan Gondokusumo melahirkan tiga situs crowdsourching, yakni Sribu.com, SribuLancer dan Halo Diana. Ketiga situs tersebut diklaim menjadi satu-satunya crowdsourching di Indonesia. Dengan memiliki tiga situs itu, Ryan pun tak menyangka bisa menjadi seorang entrepreneur digital alias technopreneur.
Crowdsourcing adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan proses mendapatkan sesuatu seperti pekerjaan atau pendanaan dari sekelompok besar orang di dunia maya. Konsep dasar di balik istilah ini adalah menggunakan sekelompok besar orang untuk keahlian, ide dan partisipasi mereka untuk menghasilkan konten atau membantu menasilitasi pembuatan konten atau produk. Jadi crowdsourching adalah alat pemasaran bisnis untuk mendistribusikan penyelesaian masalah.
Konsep itulah yang ditangkap oleh Ryan. Pemuda kelahiran 16 Januari 1985 ini pun menginisiasi lahirnya situs Sribu, SribuLancer dan Halo Diana. Masing-masing situs itu dibangun untuk memenuhi kebutuhan banyak orang. “Saya ingin agar banyak orang mendapatkan solusi dari berbagai masalah dan mendapatkan hidup lebih nyaman,” ucap Ryan saat ditemui YOUNGSTERS.id di kantornya, di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Menariknya, Ryan tidak pernah merencanakan menjadi entrepreneur. Sebelum mendirikan bisnis rintisan digital (startup) pertama, Sribu, pada tahun 2011 ia bekerja di Bayu Buana Travel. Di sanalah ide untuk membuat aplikasi crowdsourcing muncul. Bermula saat Ryan mendapat tugas dari atasannya untuk membuat desain kalender. Hanya saja tim desainer di tempat dia bekerja tidak memberikan hasil yang memuaskan. ”Saya kemudian terpikir untuk mencoba membuat kontes desain kalender di Kaskus dengan hadiah berupa handphone BlackBerry. Hasilnya sangat mengagumkan. Dalam 7 hari saya sudah mendapat lebih dari 300 desain kalender,” kisah Ryan.
Potensi aplikasi pemecah masalah itu membuat pemilik akun twitter @redjohn_G memutuskan untuk membangun sistem crowdsourching di Indonesia. Dengan bermodalkan kurang dari Rp 50 juta, pada pertengahan tahun 2011 lahirlah Sribu.com—sebuah situs yang menghubungkan siapa saja yang membutuhkan jasa desain dengan komunitas desainer.
Tak dinyana, pertumbuhan situs ini cukup pesat. Di awal Sribu langsung mendapatkan sekitar 7.000 disainer dengan total transaksi mencapai Rp 120 juta. Kesuksean ini membuat investor tertarik. Dan, Sribu pun mendapatkan suntikan modal dari East Ventures di tahun 2012. Kini, situs ini telah memiliki lebih dari 4 ribu klien dengan lebih dari 70 ribu disainer, 552 ribu rancangan dengan nilai transaksi mencapai US$ 671 ribu. Situs ini bahkan memperoleh putaran investasi seri A dari Infoteria Corporation, sebuah perusahaan pendanaan asal Jepang.
“Saya tidak menyangka akan menjadi entrepreneur. Sekarang malah kerjaan semakin banyak dan addictive. Meski begitu saya merasa bisa berbuat banyak untuk menolong lebih banyak orang lagi,” ujar Ryan.
Tiga Masa Krisis
Membuat sebuah produk yang dapat memberi dampak besar bagi kehidupan manusia adalah cita-cita Ryan. Dia ingin menjadikan Sribu sebagai marketplace desain nomor 1 di Indonesia. Namun itu bukanlah semudah membalikan telapak tangan. Ada tiga masa krisis yang dilaluinya.
Ketika Sribu bertumbuh di tahun kedua sudah mendapat pendanaan dari East Venture (2012), Ryan langsung fokus pada pertumbuhan. Dia berencana untuk menggunakan pendanaan itu dengan merekrut lebih banyak karyawan baru agar Sribu bisa bertumbuh lebih cepat. Dari 5 orang tim Sribu pun menjadi 16 orang. Ternyata langkah terburu-buru itu berdampak bad hiring effect.
Tim yang besar tidak gesit lagi. Kerja tim tidak terbentuk sehingga tidak mencapai pertumbuhan yang diharapkan. Sampai akhirnya dia harus memangkas setengah anggota tim hanya dalam waktu enam bulan. “Jadi total satu tahun habis untuk managing people dan bukan fokus ke membesarkan perusahaan,” ujar penganggum Jeff Benzos (Amazon) dan Neil Patel (Kissmetrics) ini.
Krisis kedua adalah mencari investor baru agar dapat terus konsisten meningkatkan pertumbuhan perusahaan. “Selama sembilan bulan tersebut, saya pitching ke lebih dari 30 investor. Baik investor baru dan lama, lokal dan non-lokal. Setiap hari saya membawa laptop dan berkeliling bertemu dengan satu investor dan lainnya, menjelaskan pitching deck yang sama berulang-ulang hingga hafal apa yang saya harus bicarakan untuk setiap slide. Menjawab pertanyaan yang sama, hingga saya merasa memiliki ‘cheat sheet’ yang telah tertanam di otak saya,” ungkap pria lulusan Electrical Engineering Purdue University, Indiana, AS itu sambil tertawa.
Ryan mengaku pitching ke lebih dari 30 investor itu, ternyata membuat perfoma Sribu malah tidak sesuai target. Sebab, banyak waktu dihabiskan untuk melakukan presentasi, bukan mengembangkan usaha. Akibatnya kepercayaan investor pun sempat memudar. Dari sana ia mengaku mendapat pelajaran bahwa butuh waktu yang tepat, menjaga pertumbuhan usaha dan kecocokan dengan pihak investor untuk mendapatkan hasil yang optimal. “Dan mungkin banyak orang yang tidak sadar, namun luck atau keberuntungan memiliki peranan yang besar,” imbuhnya.
Dia juga menyadari bahwa bisnis crowdsourching masih belum dikenal banyak orang, sehingga kurang paham cara kerjanya. Selain itu, pengguna internet dan penetrasi kartu kredit yang masih rendah di Indonesia membuat potensi pasar pengguna situs ini masih sangat kecil. Lagi, repetisi penggunaan layanan Sribu tergolong rendah. Misalnya, sebuah perusahaan hanya memerlukan logo setiap 10 hingga 20 tahun sekali.
“Startup adalah entitas yang labil. Kadang kita tidak tahu apa yagn akan terjadi keesokan hari. Saya belajar semua hal tidak boleh dianggap sepele karena bisa menjadi awal mula kehancuran sebuah startup,” kata Ryan.
Dari sanalah akhirnya pria yang suka membaca ini melihat peluang lain. Bahwa ada banyak bisnis kecil di Tanah Air yang memerlukan freelancer. Lalu, lahirlah Sribulancer pada September 2014 lalu. Ini merupakan platform online yang menghubungkan klien dengan para pekerja lepas. Tak hanya disain, tetapi berbagai jasa tersedia di situs ini seperti pengembangan web, data entry, akuntansi, penulisan dan masih banyak lagi.
Semangat Mencari Solusi
Hingga sekarang, Sribulancer telah memiliki lebih dari 3.500 proyek terpasang, 10 ribu klien, dan 45.300 pekerja lepas (freelancer) dengan nilai proyeknya mencapai Rp 8 miliar. Meski begitu, Ryan tidak berhenti berinovasi untuk membuka pasar yang lebih luas. Pada September 2015 lahirlah Halo Diana, situs asisten virtual pribadi.
Ryan menceritakan bahwa Halo Diana ini lahir dari Sribulancer yang memiliki opsi asisten pribadi virtual. Kategori ini khusus untuk melayani permintaan-permintaan yang tidak terperinci. Misalnya melakukan reservasi, membeli tiket pesawat, membuat kartu nama dan lainnya. Ternyata kategori ini diminati banyak orang.
“Jadi peminat jasa asisten pribadi virtual di SribuLancer ternyata meningkat terus. Kami memutuskan untuk memisahkan kategori tersebut. Karena kalau tetap di SribuLancer, kategor tersebut sangat aneh,” jelas Ryan. Nama Diana itu berasal dari digital assistant an anonymous.
Lewat Halo Diana, pengguna dapat mengajukan perintah atau meminta apapun ke asisten pribadi virtual tersebut. Mulai dari memesan makanan, membeli tiket, sampai memesan Uber apabila kamu tidak memiliki kartu kredit. Tak hanya diakses melalui internet, tetapi juga bisa lewat SMS.
“Saat ini semua orang punya smartphone dan akses internet. Di saat yang bersamaan, semua orang juga punya SMS. Jadi SMS merupakan jalan yang mudah untuk mengembangkan sebuah teknologi baru,” jelas Ryan. “Sekarang ini pengguna Halo Diana sudah mencapai 12 ribu,” tambahnya mengklaim.
Dengan ketiga bisnis ini kesibukan Ryan tidak pernah ada habisnya. Ryan menjelaskan bahwa Sribu dan SribuLancer memiliki sistem yang sudah stabil dan keduanya sudah menghasilkan profit. Setiap bulan, keduanya memperoleh sekitar 100 pesanan dengan transaksi mulai dari Rp3 juta hingga Rp 6 juta. Dari yang tergabung dalam Sribu, 80% pengguna yang menggunakan layanan ini berasal dari Indonesia, dan 20% sisanya berasal dari luar negeri seperti Italia, Afrika, dan lainnya. Sedangkan SribuLancer memiliki sekitar 40.000 freelancer di seluruh tanah air.
“Pada awalnya saya yakin akan dapat menghasilkan banyak uang dengan mengembangkan Sribu. Tapi pada akhirnya saya mengerti bahwa semangat start-up company berakar dari semangat mencari solusi dari permasalahan yang ada dan mengembangkan produk yang dapat menawarkan solusi dan menjadikannya diminati dan dipakai oleh banyak orang. Bayangkan apabila produk yang kamu buat dapat dipakai dan membantu 1.000, 10.000 bahkan 1 juta orang. You have changed the world,” ungkap Ryan optimis.
==========================================
Ryan Gondokusumo
Tanggal Lahir : 16 Januari 1985
Pendidikan Terakhir : Teknik Elektronik Purdue University, Indiana
Nama Perusahaan : PT Sribu Digital Kreatif
Produk :
- Sribu.com (Juni 2011)
- Sribulancer (Agustus 2014)
- Halo Diana (September 2015)
==============================================
STEVY WIDIA
Discussion about this post