youngster.id - Pasar industri film di Indonesia cukup menjanjikan. Hal ini seiring dengan pertumbuhannya yang signifikan, baik dari sisi jumlah penonton, layar lebar, serta banyaknya film-film Indonesia yang ditonton oleh jutaan pemirsa. Namun hal ini masih belum dibarengi dengan pertumbuhan sumber daya manusia.
Pertumbuhan jumlah penonton di bioskop Indonesia sangat pesat. Mencapai 230% dalam lima tahun terakhir (data Bekraf 2019). Selain itu, jumlah layar di studio juga tumbuh cepat dari 800 layar lebar (screen) menjadi 1.800 layar dalam tempo tiga tahun terakhir. Bahkan, Indonesia dikenal sebagai pasar untuk film-film box office terbesar ke-16 di dunia dengan nilai pasar US$ 345 juta atau sekitar Rp 4,8 triliun. Yang tak kalah penting adalah semakin banyaknya film-film yang masuk box office Indonesia, ditonton oleh jutaan pemirsa.
Namun di sisi lain, industri film Indonesia memiliki keterbatasan dari segi sumber daya manusia. Pasokan artis dan aktor pemain film masih terbatas sehingga pemain yang muncul tetap orang-orang yang sama. Peduli akan hal itu membuat Angga Dwimas Sasongko mendirikan Visinema Pictures, sebuah perusahaan film yang juga membangun talenta-talenta baru di bidang sutradara, pengarah gambar, penyuntingan, penulisan hingga produser.
“Saya melihat film Indonesia sedang krisis quantity dan quality. Supaya film Indonesia punya sustainability, kita perlu peduli pada pengembangan talenta. Untuk itu kami membangun Visinema bukan sekadar investasi pada produksi tetapi juga pada talenta-talenta baru,” ungkap Angga, founder dan CEO Visinimea Pictures saat ditemui youngster.id baru-baru ini di Jakarta.
Angga telah berkecimpung di dunia film sejak usia 19 tahun melalui film festival dan indie (Foto Kotak dan Jendela). Dan hingga kini dia telah menyutradarai puluhan video klip musik, iklan komersil, dan film layar lebar. Termasuk di antaranya Jelangkung 3, Filosofi Kopi, Hari Untuk Amanda, Wiro Sableng, dan Love for Sale.
“Saya punya keyakinan kalau saya mau bikin film sampai umur 80 tahun. Jadi masih panjang, dan saya bisa bayangkan akan di sana 50 tahun lagi berarti industrinya musti sustain. Untuk itu bisa terwujud, maka musti harus ada cukup talenta yang punya kapasitas untuk buat menjalankan industrinya di semua aspek, baik film, online maupun komersial,” paparnya.
Oleh karena itu, bagi Angga, Visinema yang dibangun sejak 2008 tak sekadar production house tetapi menjadi perusahaan content creation. “Model usaha kami berbeda dengan production house. Visinema merilis konten sendiri. Ada managing (intellectual property/IP), ada distribusi, dan punya platform. Hal ini yang membedakan Visinema dengan PH lainnya,” klaim Angga.
Tim Angga kini terdiri dari tujuh produser, tiga produser eksekutif, serta 78 headcount. Adapun total karyawan Visinema ada 78 orang. Itu dirasakan Angga belum cukup untuk dapat membangun ekosistem industri perfilman di Indonesia.
Dia pun membangun infrastruktur dalam bentuk investasi untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia. Atas dasar inilah Visinema kemudian membikin “Visinema Campus”.
“Tujuannya jelas untuk melengkapi ekosistem (di industri film) sehingga kita bisa melahirkan banyak talent dan membikinnya jadi lebih produktif,” jelas sutradara kelahiran 1985 ini.
Bisnis dan Idealisme
Angga mengaku menyukai film sejak lulus SMA. Menariknya, dia memilih kuliah di bidang jurnalistik, penyiaran dan politik. Alasannya, sekolah film itu mahal. Namun hal itu tidak membuat dia meninggalkan kecintaan pada film. Debut pertama di usia 19 tahun adalah film indie “Foto Kotak dan Jendela”. Dan tiga tahun kemudian dia menyutradarai film bioksop pertama Jelangkung 3.
“Film adalah salah satu instrumen bisnis, tetapi film juga instrumen seni,” ujarnya. Karena itu obsesi Angga cuma ingin mempunyai “rumah” sendiri, sehingga bisa berkarya sesuai dengan yang diinginkan dan independen. Idealis ini mendorong dia untuk membangun perusahaan film sendiri, Visinema.
Selama enam tahun pertama, Visinema bergerak sebagai production house yang memproduksi iklan hingga video klip. Barulah pada 2014, Visinema memutuskan untuk pindah haluan menjadi perusahaan film dengan merilis Cahaya dari Timur.
“Mimpinya Cahaya dari Timur itu besar. Kita berhasil mendorong sampai akhirnya dapat Piala Citra. Film ini adalah breakthrough saya dan jadi momentum buat perjalanan Visinema. Saatnya Visinema menjadi rumah buat siapa saja, cerator, sutradara sampai produser,” ungkapnya.
“Saya ingin menghadirkan bakat-bakat baru dalam industri film kita. Dulu, nama Angga selalu identik sama Visinema itu membanggakan. Namun, sekarang, yang ingin saya capai dan bikin bangga adalah ketika saya, lewat Visinema, bisa memberikan kesempatan bagi semua pihak buat berkarya.” katanya.
Angga membangun Core business Visinema pada story. “Visinema jualan cerita di mana aja karena ekosistem (di industri film) dibentuk dengan story. Dengan kemampuan story telling yang baik, Visinema bisa jualan di mana saja: bioskop maupun layanan streaming,” ungkapnya.
Dia yakin modal cerita Visinema dapat mengaruhi ketatnya kompetisi di industri film dalam negeri. Dengan cerita yang kuat, Visinema dapat memberikan pengalaman menonton yang maksimal bagi audiens, yang menurutnya “ingin selalu lebih.”
Dari berbagai model bisnis tersebut, menurut Angga, yang terpenting adalah bagaimana film bergerak menjadi sebuah ekosistem. Seperti dalam film Filosofi Kopi yang diproduksi tahun 2015, Visinema mulai belajar melihat bahwa intellectual property (IP) tidak hanya sebagai sebuah cerita, tetapi juga sebuah value yang bisa dimonetisasi di banyak platform.
Hasilnya, Filosofi Kopi, yang telah dikembangkan menjadi brand kopi sachet, ritel, kedai, apparel, dsb. “Jadi, sebelum membuat film, kami juga memikirkan berbagai kemungkinan channel atau platform apa saja yang bisa dimonetisasi. Itu yang saya sebut sebagai developing IP. Bagaimana supaya IP ini bisa hidup di banyak medium, di berbagai lini bisnis,” paparnya.
Bertahap
Angga mengaku membangun idealism tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh proses yang bertahap. Menurut dia, pada lima tahun pertama, mereka masih mengerjakan commissioning project. Yaitu, proyek yang berdasarkan order, seperti iklan, video klip, dan corporate video.
“Saya terlibat langsung di semua hal. Saya tidak punya COO. Jadi, hampir semua operasional sehari-hari juga saya yang mengerjakan,” ungkapnya.
Bahkan, Visinema mendapat proyek-proyek dari LSM yang menangani korban bencana. “Kami ngumpulin musisi, aktor, dan pekerja seni lain untuk mengumpulkan bantuan di kantor kami. Sampai akhirnya bantuan itu kami serahkan kepada yang berwenang,” ungkap pria yang bekerja untuk Green Music Foundation bersama Glenn Fredly.
Kemudian di tahun 2013, Angga memutuskan tidak lagi menerima commissioning project. Mereka mulai produksi film sendiri, cari investor sendiri, rilis sendiri. Dalam perjalanan itu, manajemen Visinema bertemu dengan Ancora Capital pimpinan Gita Wirjawan. Perkenalan berlanjut, bahkan Gita sejak dua tahun lalu menjadi seed investor Visinema.
“Core business-nya itu di story. Visinema jualan cerita di mana aja karena ekosistem (di industri film) dibentuk dengan story,” tegas Angga. “Dengan kemampuan story telling yang baik, Visinema bisa jualan di mana saja: bioskop maupun layanan streaming.”
Modal cerita inilah yang nantinya juga bikin Visinema dapat mempengaruhi ketatnya kompetisi di industri film dalam negeri. Dengan cerita yang kuat, Visinema dapat memberikan pengalaman menonton yang maksimal bagi audiens, yang menurutnya “ingin selalu lebih.”
Tim Angga kini terdiri dari tujuh produser, tiga produser eksekutif, serta 78 headcount. Adapun total karyawan Visinema ada 78 orang, sedangkan Filosofi Kopi sekitar 60 orang. Di saat bisnis pun terus bergulir, Angga mengaku dia tidak bisa bekerja sendiri. Untuk itu dia merasa butuh pengembangan talenta. Lahirlah Visinema Campus.
“Menjalankan perusahaan enggak sekadar running buat cari keuntungan, melainkan juga membangun pondasi yang kuat. Salah satunya adalah dengan menempatkan talenta-talenta baru di posisi kunci—sutradara, pengarah gambar, penyunting, sampai produser,” kata suami Anggia Kharisma yang juga menjadi produser di Visinema ini.
Dia menegaskan, tujuan dari Visinema Campus ini adalah untuk melengkapi ekosistem di industri film sehingga bisa melahirkan banyak talent dan membikinnya jadi lebih produktif.
“Karena kita enggak berpikir hanya dalam rentang waktu yang pendek, tapi juga ingin menjangkau waktu-waktu ke depan,”pungkasnya.
===================
Angga Dwimas Sasongko
- Tempat Tanggal Lahir : Jakarta 11 Januari 1985
- Pendidikan : jurnalistik dan penyiaran, Universitas Indonesia
- Usaha yang dikembangkan : membangun perusahaan film dan pengembangan talenta di industri film
- Mulai Usaha : 2008
- Nama usaha/brand : Visinema Pictures dan Visinema Campus
- Jabatan : Sutradara, CEO & Founder
Filmografi :
- Foto kotak dan Jendela (2006)
- Jelangkung 3 (2007)
- Hari Untuk Amanda (2009)
- Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2013)
- Filosofi Kopi (2015) (2017)
- Surat dari Praha (2016)
- Bukaan 8 (2017)
- Wiro Sableng 212 (2018)
- Love for Sale 2 (2019)
- Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2019)
Prestasi :
- Piala Maya Untuk Skenario Asli Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014)
- Piala Maya untuk Penyutradaraan Terpilih Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014)
====================
STEVY WIDIA
Discussion about this post