youngster.id - class="lead">Bulan Februari lalu, majalah bisnis dan keuangan global Forbes merilis “Forbes 30 Under 30 Asia”. Ini merupakan daftar anak muda, berusia di bawah 30 tahun, paling berpengaruh dan menjanjikan di Asia. Mereka berasal dari berbagai latar belakang dan mampu sukses di usia muda. Sebagian besar dari mereka merupakan pengusaha, serta pendiri perusahaan yang menjanjikan. Nah, salah satu nama yang masuk “Forbes 30 Under 30 Asia”, untuk kategori Consumer Technology, adalah Arief Widhiyasa. Siapa sih Arief Widhiyasa ini?
Arief merupakan co-founder, sekaligus Chief Executive Officer (CEO) Agate Studio, sebuah developer game lokal asal Bandung. Berkat tangan dingin pemuda kelahiran Denpasar, 4 April 1987 ini Agate Studio telah menghasilkan lebih dari 100 game baik untuk personal computer maupun perangkat mobile. Beberapa game besutan Agate Studio ini cukup sukses di pasaran, seperti Football Saga yang berhasil meraih 10.000 pemain dalam sehari pada saat pertama kali dirilis. Atau, poin-and-click puzzle game Earl Grey and this Rupert Guy dengan 1 juta pemain saat pertama kali diluncurkan.
Hebatnya, tak sekadar pembuat game, Arief juga melakukan banyak terobosan di industri game Tanah Air. Termasuk memajukan agar industri game berkontribusi bagi perkembangan ekonomi digital Indonesia. Semua itu dilakukan Arief karena kecintaannya pada game.
“Perkembangan industri game lokal dua tahun belakangan ini sangat menarik, dan prospek ke depannya juga sangat cerah. Hanya sekarang tinggal kesiapan industri game lokal kita harus mantap, sebelum asing mulai masuk dan akhirnya mendominasi industri game lokal kita,” ungkap Arief itu saat ditemui Youngsters.ID di Jakarta.
Industri game memang senantiasa terus bertumbuh. Termasuk di Tanah Air. Berdasarkan data dari Newzoo, Indonesia berada di peringkat ke 29 dari 100 negara soal pendapatan dari industri game dengan total US$ 204 juta, atau setara dengan Rp 2,8 triliun lebih. Sementara Singapura, persis di atas Indonesia dengan jumlah pendapatan US$ 206 juta. Kemudian Malaysia berada pada urutan ke 27 dengan pendapatan industri game mencapai US$ 220 juta.
Bahkan, dalam lima tahun terakhir industri game mengalami pertumbuhan cepat di industri digital dunia. Alhasil, sekarang ukuran industri grame sudah tiga kali lipat dari industri film, dan dua kali lipat dibandingkan industri musik. “Game adalah industri yang tidak akan pernah mati. Kalaupun mati pasti akan berubah bentuk,” ujarnya.
Arief memberi contoh game console yang diramalkan akan mati dalam 5 hingga 10 tahun ke depan. Tapi karena home entertainment tidak hilang console akan menempel pada TV. “Jadi kami selalu bilang, game itu future industry yang pasarnya semua orang, dari anak kecil sampai kakek-nenek,” tegas Arief.
Menurut Arief, diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan globalisasi menjadi tantangan sekaligus peluang bagi para technopreneur seperti dirinya. “Bagaimaan kami menghadapi MEA dan globalisasi. Kami mau mencoba menyerang daripada diserang balik,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Arief bersama Agate Studio berencana untuk melakukan ekspansi ke Singaprua dan Malaysia. “Jadi tantangan sekarang tour Asia expansion atau global expansion. Kami harus bisa berhasil dalam ekspansi itu,” tegas Arief penuh keyakinan.
Pengorbanan
Sejatinya, kecintaan Arief pada dunia game telah terpupuk sejak kecil. “Saya dari kecil suka main game. Dan sejak dulu saya memang selalu bermimpi untuk bisa membuat game sendiri,” kenang Arief.
Dia mengaku hampir sebagian besar waktu dihabiskan dengan bermain game. Saking gilanya dengan game di konsol Nintendo Entertainment System ketika itu, Arief bahkan sudah memakai kacamata saat duduk di kelas 1 Sekolah Dasar.
“Dari kecil samapai sekarang game bisa membuat bahagia. Hal yang sama pun jadi tujuan kami di Agate, bagaimana bisa berkarya dan bahagia dengan game. Karena game selalu mengajarkan kita berpikir positif, untuk terus mencoba dan berbahagia walaupun ketika kalah,” ujar Arief berfilosofi.
Oleh karena itu, ketika bertemu teman-teman yang satu visi maka Arief memantapkan diri untuk mengejar impiannya jadi technopreneur. Bersama Andrew Pratomo Budianto, Aditia Dwiperdana, Aswin Juari, Andhika Estrada, Beatrice Nauli Pohan, Charles Haryadi, Erga Ghaniya, I Made Teguh Arief Baskara, Nadia Kusumah Dewi, Nikki Dibya Wardhana, Ray Suryadipta Susanto, Riyani Mardikaningrum, Teguh Budi Wicaksono, Vincentius H.W. Ismawan, Wiradeva Arif, Fandry dan Shieny Aprilia, mereka mendirikan Agate Studio pada 2009.
“Visi Agate dan visi saya pribadi sangat inline. Agate merupakan Home for us (we use Home instead of House, because there”™s family in it), tempat bermain, dan tentunya tempat berkarya. Agate juga merupakan lingkungan yang sangat positif untuk bisa berkembang dan berkontribusi ke dunia. Jadi, saya akan selalu berusaha untuk bisa berkontribusi semaksimal mungkin agar visi Agate untuk berkontribusi dalam membuat dunia lebih bahagia bisa terwujud,” ungkap Arief.
Bahkan, Arief rela mengorbankan kuliahnya pada jurusan Teknik Informatika ITB dan memutuskan terjun total sebagai technopreneur. “Jika kita masuk ke bidang yang kita memiliki passion, pasti fokus dan tidak gampang menyerah. Dan (game) ini adalah passionsaya,” tegas Arief.
Arief mengakui bahwa kesibukannya di Agate Studio telah membuatnya tidak dapat menyelesaikan kuliahnya. Dia pun memutuskan untuk drop out. Tentu saja, keputusannya itu sempat ditentang kedua orangtuanya. Namun, Arief bersyukur karena latar belakang orangtuanya adalah pengusaha, sehingga mereka kemudian dapat menerima keputusan tersebut dan memberi dukungan sepenuhnya. “It’s not about the DO-part, but the effort, sacrifices hard work, commitment, passion, and persistence,” tutur pria yang hobi bermain basket ini.
Arief mengaku di awal berdiri Agate Studio langsung menghadapi kendala besar. “Kami cari developer, tapi tidak ada yang mau menampung 18 orang. Ya sudah, akhirnya kami bikin developer sendiri,” ungkap Arief.
Tak hanya itu, di fase awal para punggawa Agate Studio, termasuk Arief, rela mendapat gaji Rp 50 ribu per orang dengan jam kerja bahkan hingga 15 jam. Pengorbanan ini tentu tak mudah, tapi orang tua mulai percaya ketika karya Agate Studio mulai memperlihatkan hasil.
Sebagai strategi awal, game buatan Agate Studio dirilis di pasar internasional. Ini disebabkan animo dan gairah pasar game di Indonesia masih kecil. Platform game yang dibuat pun kebanyakan berbasis web. Tapi dalam waktu singkat Agate Studio terus mengembangkan game dan mulai hadir di platform mobile berupa aplikasi.
“Bagi saya pribadi, momen-momen yang paling membahagiakan adalah ketika secara sedikit demi sedikit Agate berhasil menginspirasi orang untuk mengejar mimpi, Agate berhasil menginspirasi agar kita lebih menikmati momen kehidupan dan live the fun way,” ucap Arief.
Setelah empat tahun berdiri, Agate Studio semakin memiliki kesempatan untuk berkembang lebih baik, bahkan untuk mendunia. Momen ini datang ketika pertengahan 2013 lalu muncul tawaran kerjasama dari Square Enix. Pengembang game asal Jepang ini tenar berkat sejumlah game populer seperti Final Fantasy, Dragon Quest, dan Kingdom Hearts.
“Kami beruntung. Karena saya sendiri fans game”“game yang dirilisnya. Seperti dream come true,” ucap pria yang pernah masuk dalam Olimpiade Komputer di tingkat internasional saat masih duduk di bangku kuliah ini.
Â

Tak Menyerah
Kini Agate Studio sudah mulai ekpansi ke luar. Yang terbaru adalah kerjasama dengan Pemerintah Australia membuat game interaksi untuk pertukaran budaya bagi anak-anak sekolah dasar.
Perusahaan ini juga makin berkembang dengan kru yang makin bertambah banyak. Toh, diakui Arief, tantangan bagi Agate juga masih banyak. Salah satunya untuk membuat game di konsol, termasuk generasi terbaru seperti PlayStation 4 dan Xbox One. “Dan sampai sekarang juga, visi dan value yang kami emban dari dulu masih lestari, dan bahkan menjadi jauh lebih positif,” aku Arief bangga.
Selain itu, dia mengakui perkembangan industri game di Indonesia saat ini sudah jauh lebih baik ketimbang tujuh tahun lalu saat Agate Studio pertama kali berdiri. “Dulu eventseperti Indonesia Game Show, misalnya, tidak ada. Developer juga dulu sedikit, tapi sekarang developer ada sekitar 80,” ucap Ketua Pengurus Asosiasi Game Indonesia (AGI) itu.
Menurut Arief, pemerintah juga sudah sangat mendukung industri kreatif, dimana game termasuk di dalamnya. Tetapi mungkin, kata Arief, akan lebih mantap kalau ada beberapa sisi kebijakan dan campur tangan pemerintah seperti yang dilakukan di negara-negara yang sukses di industri game.
Arief memberi contoh langkah marketing bersama dan membuat pasar bersama yang dilakukan di Korea Selatan. Juga, adanya insentif atau grant untuk startup game developer atau riset game developer yang dilakukan di Singapura dan Malaysia. Termasuk dukungan akademis untuk para create talent.
Dengan pasar game yang besar, Arief yakin kalau game akan menjadi sumber pendapatan yang luar biasa. Dia memberi contoh WOW (World of Warcraft) yang pendapatannya bisa mencapai Rp 1,7 triliun per bulan. Bahkan, pembuat game online Runescpae menduduki orang kaya berusia 30 tahun nomor dua setelah Mark Zuckerberg.
Oleh karena itu, jebolan Imagine Cup tahun 2008 ini berharap para pembuat game seperti dirinya terus berinovasi dan tidak gampang menyerah. “Untuk teman-teman yang ingin membuat game, start small saja, buat dari game yang paling kecil, fokus pada fun-nya, gimana membuat orang yang main senang dulu,” ungkapnya.
Dia memberi contoh Rovio sebelum sukses dengan Angry Bird telah membuat 51 game gagal. “Jadi dalam prosesnya kita harus merasa fun, jika kamu merasa menjalani segala sesuatunya dengan fun bahkan dalam sehari pun kamu bisa kerja 15 jam demi membuat game,” kata Arief, dengan yakin.
=======================================
Arief Widhiyasa
Tempat Tanggal Lahir : Denpasar, 4 April 1987
Pendidikan Formal :
- SMP Negeri 1 Singaraja
- SMA Negeri 1 Singaraja
- Teknik Informatika ITB Angkatan 2005 (Drop Out)
Profesi :
- Chief Executive Officer Agate Studio (April 2009 � Sekarang)
- Microsoft Student Partner (2007-2009)
- General Manager G-Sofworks (2005-2007)
Spesialisasi :
Business Development, Negotiation, Networking, Game Programming, Game Development, Game Business
Prestasi :
- 2008 ”“ Rural Innovation Award Winner @ Imagine Cup 2008 World Final, Paris, France
- 2008 ”“ Software Design Imagine Cup 2008 World Finalist (Software Design Category), Paris, France
- 2005 ”“ Participated in “International Olympiad of Informatics” in Nowy Sacz, Poland
- 2005 ”“ 1st Place Senior High School “Gema Lomba Informatika III se-Bali” (held by IKIP Singaraja)
- 2005 ”“ Silver Medalist in “Olimpiade Sains Nasional 2005” at Pekanbaru
- 2004 ”“ 1st Place Senior High School “Gema Lomba Informatika II se-Bali”
- 2002 ”“ 1st Place Junior High School Bali’s Mathematics Competition
- 2002 ”“ 1st Place Junior High School “Lomba Cerdas Cermat Fisika se-Bali”
- 2001 ”“ 1st Place Junior High School “Gema Lomba Matematika se-Bali”
- 2000 ”“ 1st Place Junior High School Bali’s First Class Mathematics Competition
============================================
ANGGIE ADJIE SAPUTRA
Editor : STEVY WIDIA
Discussion about this post