Jakarta Bukan Lagi Ibukota e-Commerce Indonesia

Henky Prihatna Country Industry Head Google Indonesia. (Foto: Stevy Widia/Youngsters.id)

youngster.id - Jakarta sudah bukan lagi sebagai “ibu kota” bagi marketplace dan e-commerce. Pertumbuhan cepat juga terjadi pada pasar di luar pulau Jawa.

Demikian hasil survey dari situs pencari Google bersama lembaga riset Gesellschaft für Konsumforschung (GfK). Riset ini dilakukan di awal tahun 2017 pada 7 kota di Indonesia.

“Riset baru yang kami keluarkan bahwa persentase yang berbelanja online saat ini berubah. Surabaya menduduki peringkat pertama dengan 71%, Medan 68%, dan Jakarta 66%,” kata Henky Prihatna Country Industry Head Google Indonesia, Selasa (15/8/2017) di kantor Google di Jakarta.

Selain itu Henky memaparkan, waktu yang dihabiskan untuk belanja online warga Jakarta juga tidak lagi di posisi pertama. Karena warga Surabaya menghabiskan waktu 5,8 jam dan warga kota-kota Bogor, Depok. Tangerang dan Bekasi (Botabek) 5,2 jam berbelanja online lebih lama daripada warga Jakarta yang 4,7 jam.

“Pertumbuhan Jakarta masih signifikan namun sudah bukan pusat utama lagi,”ujar Henky. Ia juga menyebut kota lain yang cukup besar masyarakatnya berbelanja online di antaranya, Bandung 63%, Semarang 59%, dan Makassar 52%.

“Riset yang kami lakukan bisa membuka wawasan menarik tentang hal-hal penting bagi konsumen online dan bagaimana pelaku usaha sebaiknya menjalankan bisnisnya untuk menarik beragam konsumen,” tutur Henky.

Hal senada juga diungkapkan, Vice President of Business Tokopedia, Melissa Siska Juminto, Menurut dia, saat ini kota-kota besar selain Jakarta mulai aktif berbelanja online. Ia menambahkan, rata-rata masyarakat di daerah berbelanja online, mencari barang yang sulit mereka temukan di pasar. Bahkan, demi mendapatkan barang yang diinginkan, mereka tidak peduli dengan ongkos kirim alias ongkir yang mahal.

“Ada konsumen Tokopedia membeli mesin cuci sampai ke Papua. Harganya lebih mahal ongkir daripada barang,” ujar Melissa.

Namun hal ini belum memberi peningkatan yang tinggi dalam hal transaksi, terutama untuk kota tingkat ketiga, seperti kabupaten dan kecamatan. Hal itu terkait dengan akses atau infrastruktur yang tersedia.

“Kami juga terus melakukan edukasi belanja online dari Aceh hingga Papua. Namun tentu juga perlu dukungan dari ekosistem yang lain seperti pemerintah dan perbankan sehingga akses toko online bisa lebih terbuka lagi,” ucap Melissa.

STEVY WIDIA

Exit mobile version