Lima Tren Utama yang Membentuk Lanskap Infrastruktur Digital Indonesia Menuju 2026

Lanskap Infrastruktur Digital Indonesia

Lima Tren Utama yang Membentuk Lanskap Infrastruktur Digital Indonesia Menuju 2026 (Foto: Ilustrasi)

youngster.id - Ekonomi digital Indonesia memasuki fase baru. Setelah bertahun-tahun membangun fondasi, fokus kini bergeser ke infrastruktur yang siap AI, ketahanan yang dirancang sejak awal (resilience by design), kedaulatan data, kecerdasan terdistribusi di edge, serta hybrid multi-cloud sebagai standar operasional.

Sebagai ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, Indonesia mencatat gross merchandise value (GMV) sekitar US$90 miliar pada 2024 dan diproyeksikan terus tumbuh hingga akhir dekade ini. Seiring percepatan adopsi AI dan semakin matangnya regulasi melalui Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) dan PP 71, perusahaan perlu meninjau ulang desain infrastruktur digital—bukan hanya untuk skala, tetapi juga untuk kepercayaan, kinerja, dan integrasi regional. Berikut lima tren utama yang membentuk lanskap infrastruktur digital Indonesia menuju 2026.

Infrastruktur Berdensitas Tinggi yang Siap AI

Selama bertahun-tahun, beban kerja digital di Indonesia berjalan pada rak berdensitas rendah 2–5 kW. Model ini kini tidak lagi memadai. AI, analitik lanjutan, dan pemrosesan real-time mendorong kebutuhan daya ke 10–12 kW per rak, bahkan hingga 30 kW atau lebih untuk beban kerja AI dan high-performance computing (HPC).

Perubahan ini meningkatkan kebutuhan akan pusat data berdensitas tinggi dan solusi pendinginan generasi baru, termasuk kesiapan liquid cooling. Di Indonesia, pusat data mulai merespons dengan memperluas kapasitas siap AI dan menghadirkan interkoneksi privat berlatensi rendah ke cloud dan mitra ekosistem. Ke depan, roadmap densifikasi yang terstruktur—mencakup daya, pendinginan, dan konektivitas—menjadi prasyarat utama skala yang aman dan efisien.

Ketahanan sebagai Standar, Diperluas secara Regional

Ekspektasi layanan always-on semakin menguat, terutama di sektor e-commerce, fintech, gaming, dan layanan digital real-time. Downtime tidak lagi dapat ditoleransi. Hal ini tercermin dari meningkatnya investasi pusat data di Asia Tenggara, yang diperkirakan tumbuh dari sekitar US$10 miliar pada 2023 menjadi hampir US$18 miliar menjelang akhir dekade ini.

Di Indonesia, strategi ketahanan kini melampaui satu kota. Arsitektur multi-lokasi yang mencakup Jakarta, Batam, dan Surabaya semakin umum, dengan Singapura dan Malaysia dimanfaatkan sebagai lokasi disaster recovery untuk beban kerja tertentu. Interkoneksi privat—bukan internet publik—menjadi fondasi untuk mencapai target RTO dan RPO yang lebih ketat sekaligus menekan risiko keamanan dan kemacetan.

Kedaulatan Data Sejak Tahap Perancangan

Dengan UU PDP yang berlaku penuh dan PP 71 sebagai acuan penyelenggaraan sistem elektronik, kedaulatan data telah menjadi persyaratan arsitektur, bukan sekadar isu kepatuhan.

Data pribadi sensitif perlu diproses di dalam negeri, sementara transfer lintas batas harus dilakukan melalui jalur yang terkontrol dan terdokumentasi. Banyak organisasi mulai mengadopsi model local compute, global interconnect: data yang diatur tetap berada di Indonesia, tetapi terhubung aman ke cloud regional dan mitra melalui koneksi privat. Pendekatan ini menyederhanakan audit, menurunkan risiko kepatuhan, dan memungkinkan kolaborasi lintas ASEAN tanpa mengekspos data sensitif ke internet publik.

AI Terdistribusi Mendekat ke Edge

Pertumbuhan IoT dan implementasi awal 5G di sektor logistik, manufaktur, ritel, dan fasilitas pintar mendorong pengambilan keputusan semakin dekat ke sumber data. Arsitektur terpusat tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan latensi rendah dan respons real-time.

Organisasi mulai memanfaatkan edge inference nodes untuk keputusan langsung, sementara beban kerja berat tetap diproses di pusat data regional. Eksperimen global dengan AI agents turut mempercepat adopsi sistem yang lebih terdistribusi dan otonom. Di Indonesia, tren ini diperkuat oleh penyusunan kerangka etika dan roadmap AI nasional yang menekankan transparansi, akuntabilitas, dan keamanan.

Hybrid Multi-Cloud sebagai Standar Operasional

Hybrid multi-cloud kini menjadi model baku. Perusahaan Indonesia beroperasi di berbagai platform cloud, berdampingan dengan infrastruktur on-premises dan edge. Pendekatan ini membantu menghindari vendor lock-in, mengoptimalkan biaya, serta memenuhi persyaratan kedaulatan data.

Platform interkoneksi netral berperan sebagai lapisan integrasi, memungkinkan konektivitas privat langsung ke penyedia cloud sekaligus menghubungkan on-premises dan edge secara konsisten. Kemampuan mengelola lingkungan hybrid secara terpadu kini menjadi pembeda kompetitif utama.

Melihat ke Depan

Indonesia berada pada titik krusial. Adopsi AI meningkat, tuntutan kedaulatan data menguat, dan infrastruktur berevolusi menuju model terdistribusi yang saling terhubung.

Bab berikutnya bukan sekadar lebih banyak cloud atau AI, melainkan kepadatan siap AI, ketahanan yang dirancang sejak awal, arsitektur data yang berdaulat, kecerdasan di edge, serta hybrid multi-cloud sebagai standar operasional. Organisasi yang mengintegrasikan prinsip-prinsip ini sejak tahap desain akan berada pada posisi terbaik untuk tumbuh secara aman, bertanggung jawab, dan kompetitif. (*AMBS)

 

HARIS IZMEE, Managing Director Equinix Indonesia

Exit mobile version