youngster.id - Berdasarkan riset terbaru dari McKinsey, satu dari tiga karyawan mengatakan kembalinya rutinitas bekerja di kantor (Work from Office) membawa dampak negatif kepada kesehatan mental mereka, yaitu gangguan kecemasan dan depresi.
Group Chief Operating Officer VENTENY Damar Raditya mengungkapkan, perusahaan yang peduli dengan kesehatan mental dan kebahagiaan karyawannya adalah tipe perusahaan yang mampu bertahan di era pasca pandemi. Sebab, lingkungan kerja yang baik dan peduli dengan kesehatan mental menjadi salah satu faktor penting bagi karyawan dalam memilih tempat bekerja.
Damar mencatat setidaknya ada tiga ciri perusahaan progresif, yaitu memberikan benefit berupa program edukasi kesehatan mental (mental health education), menerapkan sistem kerja hybrid (hybrid work environment), dan leader yang memberikan teladan (exemplary leadership).
Dukungan kesehatan mental yang baik menjadi faktor penting yang layak dijadikan investasi jangka panjang oleh perusahaan. Perusahaan dapat menyelenggarakan kegiatan edukasi kesehatan mental seperti masalah kecemasan, manajemen konflik di kantor, menghadapi tekanan dalam bekerja, dan lainnya. Perusahaan juga dapat menyediakan employee benefit dengan membiayai karyawan untuk berkonsultasi dengan profesional.
Lingkungan kerja hybrid menawarkan fleksibilitas jam kerja bagi karyawan, dan mampu meningkatkan kesehatan mental, aktivitas fisik, dan work life balance. Pada akhirnya, akan berdampak pada produktivitas dan pertumbuhan bisnis secara berkelanjutan. Sistem ini memang tidak dapat diterapkan di seluruh industri atau jabatan dalam organisasi, namun akan sangat bermanfaat bagi pekerjaan yang membutuhkan analisa, strategi, inspirasi, dan kreativitas.
Ketika sebuah perusahaan ingin karyawannya peduli dengan kesehatan mental, maka hal tersebut harus dicontohkan juga oleh leaders (walk the talk). Hal tersebut dapat dimulai dengan mengkondisikan pengetahuan tentang kesehatan mental sebagai hal yang lumrah, normalisasi untuk pengambilan cuti untuk melakukan terapi kejiwaan atau sekedar break dari rutinitas pekerjaan. Dengan menaruh perhatian pada kesehatan mental karyawan, perusahaan dapat membidik return of investment (ROI) yang sepadan dari hasil produktivitas karyawannya.
Sayangnya, kondisi ini belum dipahami dengan baik oleh banyak perusahaan di Indonesia. Isu kesehatan mental kerap kali dianggap sebagai kelemahan, dan ketidaksanggupan karyawan dalam beradaptasi oleh pekerjaan serta lingkungan. Tingkat toleransi yang rendah ini menyebabkan karyawan enggan mengkomunikasikan kondisinya kepada perusahaan hingga menimbulkan isu-isu lain akibat kondisi kesehatan yang tidak tertangani dengan baik.
Damar menyarankan perusahaan menaruh perhatian khusus terhadap kesehatan mental, serta memberikan program-program benefit yang bermanfaat untuk memelihara kondisi kejiwaan karyawannya.
“Sudah seharusnya perusahaan mulai berbenah, dan mengatur lagi sistem employee benefit supaya lebih mengakomodir kesehatan mental karyawannya. Kami percaya bahwa kebebasan yang diberikan oleh perusahaan bagi karyawan untuk memilih program pelatihan kesehatan mental serta kemudahan akses berbagai layanan kebutuhan mampu mendorong perusahaan agar lebih progresif ke depannya,” pungkas Damar.
HENNI SOELAEMAN