Neas Wanimbo : Bangun Perpustakaan Demi Pendidikan Anak Papua

Neas Wanimbo, Co-founder & Chief Hanowene.org (Foto: Stevy Widia/youngster.id)

youngster.id - Keaksaraan merupakan investasi yang sangat penting bagi masa depan dan kemajuan bangsa yang bermartabat dan berbudaya. Apalagi aksara bukan hanya sekadar prioritas pada aspek baca, tulis, dan hitung. Namun masih banyak anak-anak di Indonesia yang belum bebas buta huruf, terutama di Papua.

Data proyeksi Badan Pusat Statistik pada tahun 2018 mencatat angka buta aksara di Indonesia tinggal sekitar 2,068%. Sehingga dari prosentase sisanya dapat dikatakan tinggal sekitar 3,474 juta orang yang masih buta aksara.

Capaian keaksaraan Indonesia merupakan upaya besar selama bertahun-tahun. Namun demikian, angka buta huruf di Indonesia masih tersebar di 11 provinsi dengan rentang usia 15-59 tahun. Papua menjadi salah satu penduduk dengan buta aksara tertinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mendata, penduduk Papua yang tak mengenal huruf dengan rentang usia 15 tahun ke atas mencapai 26.11%.

Rendahnya angka literasi pemahaman membaca tentu bisa berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama sumber daya manusia. Prihatin atas kondisi tersebut, Neas Wanimbo tergerak untuk membangun perpustakaan Hanowene bagi anak-anak di sejumlah daerah di Papua.

“Saya percaya bahwa hanya pendidikan yang bisa mengubah masyarakat jadi lebih baik. Untuk itu saya membangun komunitas dan perpustakaan yang bisa membantu meningkatkan pendidikan untuk kehidupan yang lebih baik,” ungkap Neas saat ditemui youngster.id belum lama ini di Jakarta.

Hanowene yang berarti Kabar Baik ini dibangun Neas bersama dua orang rekannya, Handriyanti dan Iqbal Fahreza pada tahun 2017. Melalui komunitas ini mereka mengumpulkan donasi untuk buku dan membangun perpustakaan terutama bagi anak-anak di daerah pedalaman Papua.

“Kenapa perpustakaan itu penting? Di Indonesia minat bacanya tergolong masih rendah, terutama di daerah pelosok. Selain karena tidak memiliki fasilitas buku untuk dibaca, mereka juga tidak dididik untuk mau membaca. Bagaimana mungkin kita bisa membangun pelosok jika kita tidak bisa meng-empowered mereka. Harapan kami dengan adanya perpustakaan ini turut membangun niat baca dan kehidupan ‘Masa Depan’ daerah pelosok Indonesia yang lebih baik,” papar Neas.

Ia ingin dari perpustakan tersebut dapat menyebarkan kebaikan untuk masyarakat di sekitarnya. Untuk tahap awal sudah ada sekitar 500 buku bacaan di perpustakaan itu. Dalam waktu dekat, ia akan mengirimkan lagi sekitar 2.000 buku bacaan ke kampung halamannya. Buku-buku tersebut didapatnya dari kampanye donasi buku bekas mereka galang selama ini.

Selain di kampung halamannya, Neas juga merintis pembangunan perpustakaan di empat daerah lainnya, yakni Sorong, Kaimana, Sarmi, dan Lani Jaya. Berkat inisiatif tersebut Neas menjadi salah satu penerima penghargaan SDG PIPE Award 2019.

 

Saat ini ada sekitar 80 anak asuh yang tergabung dalam Hanowene.org yang dikembangkan oleh Neas Wanismno, Handriyanti dan Iqbal Fahreza (Foto: Dok. Pribadi)

 

Akses Terbatas

Pemuda berusia 24 tahun ini merasakan betul bagaimana sedihnya berada di daerah yang memiliki akses pendidikan sangat terbatas. Neas berasal dari Suku Dani di Wamena. Ia bercerita, ide ini berangkat dari pengalamannya sendiri saat masih kecil dan menjadi murid di SD YPPGI Tangma, Kabupaten Yahukimo, Papua.

Ia masih ingat bagaimana sekolah di pedalaman itu hanya punya satu orang guru, itupun tamatan SMP. Dan betapa sulit mereka mendapatkan buku pelajaran. Bahkan Neas sempat diperbantukan mengajar di sekolah itu, karena dinilai sudah lancar membaca, menulis dan berhitung dengan baik.

“Kondisi geografis di wilayah itu membuat siswa sulit mengakses buku bacaan dan pendidikan sebagaimana mestinya. Padahal buku itu sangat penting, karena dengan membaca buku wawasan kita bertambah. Buku merupakan jendela dunia,” ujarnya.

Neas mengenang kegemarannya membaca tidak terpenuhi, karena kondisi orang tuanya yang hanya petani tidak sanggup untuk membelikan dia buku. Namun tekad Neas yang kuat untuk bersekolah membuat dia mendapatkan beasiswa dan dapat melanjutkan sekolah di Jayapura.

Tak berhenti di sana, Neas terus mengejar pendidikan lebih tinggi dengan beasiswa. Sejak umur 12 tahun dia meninggalkan kampung halaman dan merantau ke kota Jayapura untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Hingga ia akhirnya mendapatkan beasiswa dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan menuntut ilmu di Jurusan Teknik Informatika, Universitas Tanri Abeng, Jakarta.

“Beasiswa kuliah itu saya dapat secara kebetulan, karena saat liburan sekolah saya main ke sekolah dan ditawari kepala sekolah untuk direkomendasikan ikut tes beasiswa. Lebih dari 500 orang yang ikut tetapi yang lolos hanya 15 orang,” ujarnya.

Neas kemudian menyelesaikan pendidikan dengan beasiswa 100% hanya dalam waku dua tahun delapan bulan. Setelah lulus, Neas mengikuti program Initiatives of Change di India selama enam bulan. Ia juga pernah bekerja sebagai admin perpustakaan di AKASHA, Malaysia. Kemudian sebagai perancang situs di Gampari, India (tmpc). Tak heran jika Neas lulus dengan predikat lulusan terbaik.

Sejumlah penghargaan lain juga diraihnya, yakni Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) Academy dari pemerintah Amerika Serikat, alumni Civic Engagement di Arizona State University of America, kemudian Japan School Visit Program di Jepang. Ia juga pernah meraih peringkat kedua dalam kompetisi merancang kartu pos di Peace Tival Convey, medali emas pada turnamen futsal dan renang di Universitas Tanri Abeng.

Meski demikian, dia tak pernah melupakan kampung halamannya. Terutama anak-anak yang dinilainya sebagai masa depan kemajuan daerahnya. Oleh karena itu, terbersit ide untuk membanun perpustakaan bagi setiap komunitas yang ada di Papua dan Papua Barat.

“Saya ingin akses terhadap buku bacaan di wilayah itu bisa teratasi. Agar adik-adik saya tidak bernasib yang sulit seperti yang pernah saya alami,” ungkap Neas.

 

Berkat inisiatifnya dalam merintis pembangunan perpustakaan di Papua dan Papua Barat, Neas Wanimbo menjadi salah satu penerima penghargaan SDG PIPE Award 2019 (Foto: Stevy Widia/youngster.id)

 

Jalan Kaki 3 Hari

Membangun perpustakaan adalah impian Neas, karena dia sadar bahwa lewat buku maka akses pendidikan akan dapat diraih oleh adik-adiknya di Papua. Neas mengaku pernah melakukan pertukaran pelajar ke India, Jepang, Malaysia, Amerika, Vietnam, dan Singapura. Kesempatan tersebut membuka mata Neas bahwa pendidikan di Papua sangat tertinggal.

Mimpi ini mendapat dukungan dari dua rekannya. Handriyanti yang sekarang sedang menempuh pendidikan S3 di Italia dalam bidang energi terbarukan. Dan Iqbal yang sedang melanjutkan kuliah master di Italia dan Belgia. Mereka lalu mendirikan Hanowene.org yang menjaring donasi untuk buku dan perpustakaan untuk anak-anak di Papua.

“Kami bertiga bertemu pada satu kesempatan dan mereka berdua sangat mendukung keinginan saya untuk membangun perpustakaan di Papua. Kami punya misi yang sama yaitu membangun pelosok Indonesia agar menjadi bagian dari sumber peradaban bagi keluarga, masyarakat dan bangsa Indonesia,” ungkap Neas.

Mimpi ini ternyata tidak mudah. Pasalnya butuh usaha tersendiri untuk mengirim buku bacaan ke pedalaman Papua. Selain medan yang terjal karena harus dilalui dengan berjalan kaki selama 2-3 hari dari turun pesawat, ongkos kirim buku pun amat mahal.

“Jadi kalau pulang ke Papua isi bagasi bukan baju, tapi buku, karena ongkos kirim ke Papua cukup mahal, lebih baik sekalian,” katanya.

Ia juga mengumpulkan buku-buku bekas dari teman-temannya dan dibawa ke Papua. Sampai akhirnya dia berhasil membangun perpustakaan Hano Wene di SD YPPGI, sekolah tempat dia dulu belajar. “Dengan harapan meskipun hanya ada satu guru yang mengajar, tapi hasrat anak membaca bisa terpuaskan,” ujar Neas.

Selain di kampung halamannya, Neas juga merintis pembangunan perpustakaan di empat daerah lainnya, yakni Sorong, Kaimana, Sarmi, dan Lani Jaya. Perpustakaan tersebut dikelola oleh Neas bersama dengan melibatkan warga setempat sehingga mereka merasa memiliki.

“Kami libatkan masyarakat, mulai dari anak muda, kepala suku hingga kepala sekolah. Jadi mereka merasa memiliki dengan dilibatkan, mereka jaga perpustakaan dengan baik,” tegas Neas.

Perpustakaan tersebut terbuka untuk umum, masyarakat bisa mengakses buku bacaan di situ. Menurut Neas, mengajak siswa dan masyarakat berkunjung ke perpustakaan itu bukanlah perkara mudah karena mereka lebih memilih pergi ke kebun atau berburu.

Solusinya, Neas menginisiasi pertandingan sepak bola di depan perpustakaan. Begitu selesai bermain bola, mereka diajak berkunjung ke perpustakaan. Ia juga melakukan sosialisasi pada para orang tua untuk mengajak anaknya ke perpustakaan.

“Orang tua di pedalaman lebih mengutamakan anaknya bekerja daripada bersekolah. Salah satu cara menarik mereka untuk datang dan belajar adalah melalui olahraga sepakbola,” ujarnya sambil tersenyum.

Hasilnya, saat ini mereka tengah mengembangkan tujuh perpustakaan dengan lokasi berbeda di Papua. Empat di antaranya sudah aktif digunakan. Ke depan, ia berharap bisa membangun perpustakaan yang ada di setiap komunitas yang ada di Papua dan Papua Barat, sehingga kendala akses terhadap buku bacaan di wilayah itu bisa teratasi.

“Saya harap bisa membuka banyak perpustakaan di pedalaman bagi mereka yang belum dapat akses pendidikan dan buta huruf. Tidak hanya di Papua saja, tapi juga di daerah lainnya di Indonesia, semoga bisa berkolaborasi,” janji Neas.

 

===================

Neas  Wanimbo

Prestasi ;

====================

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version