Penetrasi Fintech di Daerah Meluas

Industri financial technologi mulai berkembang di Indonesia. (Foto: Istimewa/Youngsters.id)

youngster.id - Seiring dengan kecanggihan teknologi informasi di sektor jasa keuangan maka pelaku usaha berbasis financial technologi (fintech) mulai menyasar pasar di daerah. Namun Otoritas Jasa Keuangan menilai potensi ini dikhawatirkan memunculkan investasi illegal.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan penetrasi produk investasi yang banyak ditawarkan oleh platform digital semakin meluas di berbagai daerah di Indonesia. Namun, hal tersebut juga harus diwaspadai mengingat masih banyaknya perusahaan berbasis teknologi finansial (financial technology/fintech) yang belum terdaftar di OJK.

“Kalau tidak punya izin, pasti ilegal. Kalau sudah punya izin tapi belum sosialisasi, maka tetap belum memenuhi persyaratan. Pengguna smartphone banyak dari kalangan menengah bawah, kalau produk [ilegal] yang menggunakan teknologi ini masuk ke daerah, dapat menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi,” ungkap Wimboh baru-baru ini.

Berdasarkan data OJK, terdapat 51 perusahaan fintech berbasis peer-to-peer (P2P) lending yang sudah terdaftar di lembaga tersebut. Dari 51 perusahaan ini, dua perusahaan berasal dari Ternate dan Surabaya, sedangkan sisanya berbasis di Jabodetabek.

OJK telah mewajibkan penyelenggara fintech untuk menyebutkan nomor izin terdaftar agar masyarakat dapat membedakan penyelenggara yang bertanggung jawab dan yang tidak.

“Kami akan tetap memberikan keleluasaan kepada sektor swasta untuk berkreasi menawarkan produk elektronik, tetapi tolong harus sudah dapat izin dari otoritas yang berwenang dahulu. Kami akan bimbing untuk mendapatkan izin,” ucap Wimboh.

Menurut dia, dalam rancangan Peraturan OJK (POJK) tentang Inovasi Keuangan Digital disebutkan bahwa penyelenggara inovasi wajib menerapkan prinsip dasar perlindungan konsumen yang meliputi edukasi, transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, serta memfasilitasi penyelesaian sengketa yang sederhana.

Sementara itu, OJK juga mewajibkan penyelenggara fintech untuk melakukan kegiatan literasi keuangan kepada masyarakat yang bisa dilakukan melalui brosur penjelasan dan pelatihan.

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing menilai kesadaran masyarakat terhadap kegiatan penyelenggara fintech yang mencurigakan semakin tinggi. Namun, dia juga mendapati tingkat kejeraan dari pelaku tidak lantas turun.

“Sebagian orang yang berkecimpung di investasi ilegal sudah memanfaatkan ini [fintech] sebagai mata pencaharian. Oleh karena itu, saat kami menghentikan satu entitas, mereka berani membuat entitas lain,” ungkap Tongam.

Sejauh ini, OJK terbuka bagi startup yang hendak mendaftarkan diri. Untuk itu, dalam RPOJK tersebut juga diatur terkait dengan regulatory sandbox yang memberikan wadah bagi fintech yang hendak menjalankan model bisnis baru.

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version