Penetrasi Fintech Diprediksi Tumbuh 15%

AFPI

Peluncuran Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). (Foto: istimewa/youngster.id)

youngster.id - McKensey & Company Indonesia memprediksi penetrasi layanan keuangan digital melalui financial technology (fintech) di Indonesia tumbuh 15% tahun ini. Angka ini naik dari dari 5% pada 2017. Meski demikian, pertumbuhan fintech di Indonesia masih lebih rendah dari negara ASEAN lainnya.

Perwakilan McKinsey & Company Indonesia Guillaume de Gantes menyatakan, pemain fintech di Indonesia akan mengadopsi skema penetrasi layanan keuangan non bank di Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. “Jadi masyarakat akan tetap menggunakan bank dan layanan keuangan non bank. Uang tunai juga masih akan digunakan. Meskipun secara signifikan akan beralih ke non tunai seperti di India,” kata Guillaume dalam keterangannya, Senin (11/2/2019) di Jakarta.

Meski terbilang cepat, namun menurut McKinsey, penetrasi fintech di Indonesia masih lebih rendah dibanding negara tetangga. Di Singapura misalnya, 48% dari jumlah penduduknya telah menggunakan fintech. Lalu, Filipina 23%; Australia 17%; Vietnam 16%; Malaysia 15%; Thailand 10%; dan, Myanmar 6%.

Selain itu, Indonesia dinilai tidak akan semasif Tiongkok dalam mengadopsi layanan fintech. Pada 2017, penetrasi layanan keuangan non bank di Negeri Tirai Bambu itu mencapai 67%. Lalu, penetrasinya meningkat menjadi hampir 100% tahun ini.

Meski demikian, pertumbuhan fintech Indonesia juga didukung oleh pemain seperti Go-Pay, OVO, TCash dan lainnya dalam menjangkau masyarakat hingga ke daerah terpencil. Apalagi, fintech pembayaran menawarkan solusi keuangan berteknologi kode Quick Response (QR) yang mempermudah masyarakat dalam bertransaksi.

Menurut Bruce Delteil perwakilan McKinsey & Company Indonesia yang lain, penetrasi layanan keuangan non bank di setiap negara bisa berbeda karena tiga faktor. Pertama, tergantung pada seberapa dalam penetrasi digital. Di Indonesia, pengguna ponsel pintar (smartphone) mencapai 124 juta dan pengguna internetnya 133 juta pada 2017.

Kedua, seberapa besar ketergantungan masyarakatnya terhadap uang tunai. “Di Indonesia, transaksi menggunakan uang tunai masih masif,” kata Bruce. Ketiga, proporsi produk digital yang tersedia.

STEVY WIDIA

Exit mobile version