youngster.id - Industri e-commerce di Indonesia memang menjanjikan karena peluang ekonominya sangat besar. Banyak investor melirik sektor marketplace (lokapasar) yang sudah teruji memiliki kekuatan mengelola bisnis marketplace di mancanegara. Yang terbaru adalah Shox Rumahan, marketpalce penyedia peralatan rumah tangga.
Shox Rumahan didirkan oleh Ertan Sonat Yalcinkaya dan Vyani Manao. Menariknya, marketplace ini menyasar pasar pengguna peralatan rumah tangga di pelosok Indonesia.
“Pasar ritel e-commerce Tionghoa 6 kali lipat lebih besar daripada Indonesia dan penetrasi pasar di kota-kota tier-2 lebih didorong oleh social-commerce. Dalam 5-10 tahun mendatang kita akan melihat kemunculan unicorn dari Indonesia yang menyasar pasar kota-kota tier-2 untuk merujuk ke model social-commerce yang sama,” kata Yalcinkaya Founder Shox Rumahan dalam keterangan pers, Sabtu (17/7/2021).
Menurut dia, aktivitas e-commerce di Indonesia masih terbatas pada kota-kota besar atau tier-1. Dengan 10,56 juta penduduk, Jakarta kurang dari 5% populasi Indonesia tetapi berkontribusi sekitar 58% dari total pengguna perdagangan elektronik. Pemain e-commerce besar juga menyasar pengguna dari kawasan urban.
“Data ini hanya merepresentasikan 10% dari total ritel di Indonesia,” ujar pria yang akrab disapa Kaya itu. Berpengalaman sebagai Head of Global Midea dia memproyeksikan akan ada ledakan pertumbuhan yang sama di Indonesia.
Untuk itu, Shox Rumahan menawarkan harga sama seperti di kota besar karena target pembelinya adalah level RT, bukan individu. Average Order Value (AOV) Shox Rumahan saat ini melampaui Rp 3 juta yang berarti 5-10 kali lipat pemain social-commerce agent-based models lain. Pemesanan dalam jumlah besar memudahkan Shox Rumahan menekan biaya logistik karena biaya pengiriman dapat dikurangi 5-10 kali lipat, tergantung luas desa.
“Kami dapat menyediakan lebih banyak alternatif bagi komunitas sembari membangun kepercayaan melalui agen-agen penjualan,” ujar Kaya. Strategi tersebut lebih efektif dalam mengakuisi pengguna karena biaya akuisisi pengguna di komunitas pelosok bisa ditekan hingga 1o kali lipat lebih ekonomis daripada pemain e-commerce lain. Pelanggan juga akan bertahan karena mereka melihat nilai sebenarnya.
Dia menilai pasar e-commerce masih memiliki banyak ruang untuk tumbuh di Indonesia dan pertumbuhan tertinggi didorong oleh 190 juta masyarakat perdesaan dengan lebih dari 130 juta penduduk perdesaan yang tidak memiliki rekening bank dan belum mengenal e-commerce.
“Banyak investor di sekitar saya antusias dengan bisnis e-commerce di Indonesia, setelah melihat sektor ini berkembang pesat dalam satu tahun terakhir. Gross Merchandise Value (GMV) naik hampir dua kali lipat, kenaikan valuasi unicorn menunjukkan adanya peluang bisnis yang menjanjikan di sektor e-commerce,” ungkapnya.
Pria yang berpengalaman mengembangkan e-commerce di 30 negara itu juga melihat faktor kepraktisan membuat pemain besar tetap memprioritaskan eksistensi mereka di kota-kota tier-1 meski daya beli masyarakat perdesaan akan tumbuh hampir 50%.
“Saya optimistis social-commerce dapat menjadi jalan untuk mengaktifkan komunitas perdesaan di Indonesia dalam perdagangan elektronik. Itulah sebabnya tim saya mencoba memperkenalkan model operasi perdagangan sosial ke komunitas perdesaan,” pungkas Kaya.
STEVY WIDIA