Mengenal Teknologi Biometrik Wajah di Layanan Publik Berbasis Online

teknologi biometrik wajah

Mengenal Teknologi Biometrik Wajah di Layanan Publik Berbasis Online (Foto: Ilustrasi)

youngster.id - Perkembangan teknologi biometrik saat ini semakin canggih sehingga sudah banyak diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan, di beberapa negara pemanfaatan teknologi biometrik telah menjadi bagian integral dari layanan publik dan pemerintahan.

Tak mau ketinggalan, kini Indonesia pun telah menerapkan verifikasi biometrik untuk mempermudah segala layanan publik berbasis online yang lebih cepat, aman, dan praktis, mulai dari e-KTP, pemeriksaan imigrasi, boarding Kereta Api, hingga verifikasi bantuan sosial.

Samsu Sempena, Direktur Teknologi Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Kementerian Koordinator Perekonomian menjelaskan bahwa verifikasi identitas berbasis biometrik adalah aspek yang sangat penting bagi layanan publik, terlebih untuk memastikan apakah betul penerima bantuan dana APBN seperti Kartu Prakerja tepat sasaran.

“Didukung teknologi liveness detection, kita memastikan bahwa orang yang difoto itu memang adalah orang sesungguhnya. Jadi kalau dia kasih foto hasil cetak atau misalnya memakai topeng, nah itu tidak akan lolos dari pengecekan liveness. Kemudian face recognition akan mencocokkan foto dari wajah pendaftar itu kepada basis data centralized yang ada di Dukcapil,” ujar Samsu, dalam acara seminar beberapa waktu lalu.

Samsu menambahkan kombinasi kedua metode verifikasi biometrik yakni liveness detection dan face recognition adalah bagian dari proses verifikasi identitas yang aman.

“Ini adalah mekanisme yang dilakukan di Prakerja untuk memperketat tahap verifikasi dan masih ada beberapa lagi tindakan verifikasi yang dilakukan sebetulnya. Tapi biometrik yang kita lihat paling efektif dan ampuh untuk melakukan pengamanan data ini,” tambahnya.

Ditambahkan Ahmad Taufik, Head of Product VIDA, terdapat beberapa faktor untuk memastikan kelancaran teknologi biometrik wajah. Faktor pertama yakni akurasi data, yang kini dapat ditunjang oleh teknologi kecerdasan buatan.

“Ketika face recognition itu dilakukan, platform harus memastikan bahwa yang bersangkutanlah yang melakukan proses onboarding, di situlah kegunaan metode liveness detection. Terlebih dengan tren biometrik yang semakin advance karena telah banyak dikembangkan banyak orang, tingkat assurance level dari AI (Artificial Intelligence) menjadi penting karena teknologi itulah yang menggantikan proses verifikasi secara manual. AI akan memberikan skor, seberapa mirip wajah tersebut dengan pattern yang telah ditentukan ketika dibandingkan dengan biometrik wajah yang berada di pusat data kependudukan nasional,” jelas Taufik.

Faktor kedua, yakni seberapa besar tingkat kepercayaan pihak yang melakukan verifikasi, dan bagaimana mereka dapat menjaga data pribadi, atau digital trust.

“Yang perlu kita perhatikan, pihak mana yang bisa kita percayakan untuk memproses data kita, terutama kaitannya dengan biometrik yang merupakan data sensitif,” tambahnya.

Menurut Taufik, sebenarnya Indonesia telah menerapkan teknologi biometrik dalam skala besar. Salah satunya data kependudukan nasional yang menyimpan data wajah, sidik jari, dan juga iris.

“Praktiknya dari ketiga data tersebut, wajah adalah yang paling efektif, efisien, dan memiliki tingkat usability (penggunaan) yang tinggi. Untuk meng-capture wajah itu cukup menggunakan kamera, dan kamera itu ada di handphone setiap orang dan dapat digunakan dengan mudah. Kalau menggunakan biometrik fingerprint, kita memerlukan handphone dengan kriteria khusus, yang ada finger scan-nya, apalagi iris.” jelas Taufik.

Pentingnya kehadiran teknologi yang inklusif itu diamini juga oleh I Gede Putra Arsana, Senior Financial Sector Specialist World Bank, yang mengatakan bahwa verifikasi digital identitas telah menjadi salah satu isu penting di berbagai negara.

“Di Bank Dunia, dari berbagai prinsip yang bisa diaplikasikan (terkait identitas digital), ada tiga hal yang penting, yakni inklusivitas, desain aplikasi terkait pelindungan data, dan dari sisi governance atau aturan. Harapannya sih tiga sampai empat tahun ke depan kita bisa melihat digital ID versi Indonesia yang serupa dengan contoh yang punya Singapura,” ujar Arsana.

Menurut Arsana, di Singapura 97% penduduk dewasa sudah menggunakan SingPass sebagai digital ID secara online, dengan transaksi sudah lebih dari 300 juta kali dalam satu tahun. Adanya identitas digital dengan model seperti ini dapat mendorong transformasi digital di berbagai sektor seperti sektor keuangan, sektor kesehatan, perpajakan, bansos dan lainnya.

Dalam konteks Indonesia, Bank Dunia menyarankan pentingnya beberapa kriteria identitas digital seperti skalabilitas, privasi data, dan juga tata kelola yang baik. 

“Scalable artinya tidak boleh hanya bisa digunakan oleh satu institusi atau satu sektor (saja), tapi bisa digunakan oleh berbagai sektor. Data privacy, memastikan ada elemen consent, jadi pemilik datanya sendiri yang akan menentukan seberapa banyak data yang bisa dikasih dan untuk apa data itu akan digunakan nantinya. Yang ketiga tentu saja harus ada aturan yang cukup melindungi baik dari sisi penggunanya, pemanfaatan datanya, kemudian untuk pertukaran datanya,” tutup Arsana. (*AMBS)

 

Exit mobile version