youngster.id - Secara keseluruhan, dalam hal keamanan cyber, tahun ini tercatat sebagai yang terburuk, tidak hanya untuk banyak organisasi, tetapi juga untuk banyak negara. Termasuk Indonesia, negara yang sekarang sedang berjuang untuk memerangi “pandemi cyber” global.
Selain itu, terlepas dari upaya terbaik mereka, sebagaimana yang ditunjukkan oleh survei terbaru Acronis bertajuk “Acronis Cyberthreats Report tahunan 2022”, orang di Indonesia masih tidak menggunakan alat perlindungan siber apa pun.
“Serangan malware tetap menjadi fenomena global dan setiap negara harus melawannya. Meninjau deteksi malware yang dinormalisasi dalam penelitian kami, kami melihat negara-negara seperti Taiwan, Singapura, Tiongkok, dan Brasil memiliki tingkat deteksi lebih dari 50%,” kata Candid Wuest, VP Penelitian Perlindungan Cyber Acronis, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (28/12/2021).
Menurut Wuest, pihaknya melihat statistik serupa untuk serangan ransomware yang diblokir: UEA berada di peringkat ke-33 secara global, bertanggung jawab atas 0,3% dari semua deteksi global — meningkat 63% dari Oktober 2021 — sementara Afrika Selatan berada di peringkat ke-30 secara global, bertanggung jawab atas 0,4% dari semua deteksi — meningkat 64% dari Oktober 2021.
Sementara serangan ransomware jelas meningkat di APAC, tingkat deteksi malware yang tinggi berarti bahwa negara-negara lebih memperhatikan perlindungan cyber dengan meningkatkan kemampuan deteksi mereka.
Selain meningkatnya efisiensi penjahat cyber dan dampaknya terhadap MSP (managed service provider) dan bisnis kecil, Acronis Cyberthreats Report 2022 juga menunjukkan:
- Phishing masih menjadi vektor serangan utama.94% malware dikirimkan melalui email — menggunakan teknik rekayasa sosial untuk mengelabui pengguna agar membuka lampiran atau tautan berbahaya, phishing telah menduduki posisi pelanggaran tertinggi bahkan sebelum pandemi. Pelanggaran ini masih terus berkembang pesat: tahun ini saja, Acronis melaporkan 23% lebih banyak pemblokiran email phishing dan 40% lebih banyak email malware di Q3, dibandingkan dengan Q2 di tahun yang sama.
- Pelaku phishing mengembangkan trik baru dan beralih ke messenger.Penargetan OAuth dan alat autentikasi multifaktor (MFA) saat ini menjadi trik baru yang memungkinkan penjahat mengambil alih akun. Untuk melewati alat anti-phishing umum, mereka akan menggunakan pesan teks, Slack, obrolan Teams, dan alat lain untuk serangan seperti penyusupan email bisnis (BEC). Salah satu contoh terbaru dari serangan semacam itu adalah pembajakan terkenal dari layanan email FBI sendiri yang disusupi dan mulai mengirim email spam pada November 2021.
- Ransomware masih menjadi ancaman utama — bagi perusahaan besar dan UKM.Sektor publik, perawatan kesehatan, manufaktur, dan organisasi penting lainnya termasuk dalam target bernilai tinggi. Namun terlepas dari beberapa penangkapan baru-baru ini, ransomware terus menjadi salah satu serangan cyber yang paling menguntungkan saat ini. Acronis memperkirakan kerusakan akibat ransomware akan melebihi $20 miliar sebelum akhir tahun 2021.
- Mata uang kripto adalah salah satu sasaran favorit penyerang.Infostealer dan malware yang menukar alamat dompet digital menjadi sebuah realitas pada masa kini. Kami memprediksi adanya serangan sejenis yang lebih besar yang dilancarkan secara langsung terhadap kontrak pintar pada tahun 2022 — menyerang program-program di inti mata uang kripto. Serangan terhadap aplikasi Web 3.0 juga akan lebih sering terjadi dan serangan baru yang semakin canggih seperti serangan pinjaman kilat akan memungkinkan penyerang menguras jutaan dolar dari kumpulan mata uang kripto.
“Saat kemunculan serangan bertambah dan menyebabkan ketidakpastian di tahun 2022, otomatisasi perlindungan cyber tetap menjadi satu-satunya jalan menuju keamanan yang lebih baik, mengurangi risiko, menawarkan biaya yang lebih rendah, dan meningkatkan efisiensi,” pungkas Wuest.
FAHRUL ANWAR
Discussion about this post