youngster.id - Microsoft merilis data dan insights baru di Indonesia, berdasarkan laporan Work Trend Index 2023: “Will AI Fix Work?”. Laporan ini menyebutkan bahwa teknologi artificial intelligence (AI) generasi baru mengubah cara kerja di Indonesia.
Work Trend Index 2023 melakukan survei kepada 31.000 orang dari berbagai industri di 31 negara, termasuk Indonesia; triliunan sinyal dari email, meeting, dan chat di Microsoft 365; serta tren tenaga kerja di LinkedIn. Data menunjukkan bahwa kecepatan kerja telah meningkat lebih cepat dari apa yang dapat diimbangi manusia, dan situasi ini memengaruhi inovasi. Namun, AI generasi berikutnya akan mengangkat beban pekerjaan. Organisasi yang mengambil langkah awal dalam pemanfaatan AI pun akan memutus siklus ini — meningkatkan kreativitas dan produktivitas untuk semua orang.
“AI generasi baru ini akan memungkinkan kita untuk berfokus pada pekerjaan yang memerlukan kreativitas, sehingga mampu melahirkan semakin banyak inovasi. Hal ini membawa optimisme dan peluang besar bagi setiap individu serta organisasi dalam mendefinisikan kembali cara kerja. Suatu cara kerja yang dapat meningkatkan produktivitas, serta memberikan kita lebih banyak waktu untuk membangun kembali interaksi dan kedekatan dengan lingkungan di sekitar kita,” ujar Lucky Gani, Direktur Marketing dan Operasional Microsoft Indonesia, Selasa (23/5/2023).
Laporan Work Trend Index 2023 membagikan tiga insights utama bagi para pemimpin bisnis yang tengah berupaya memahami dan mengadopsi AI secara bertanggung jawab di organisasi masing-masing:
Pertama, hutang digital (digital debt) membuat kita kehilangan inovasi. Kita semua memiliki digital debt: volume data, email, dan chat telah melampaui kemampuan kita untuk memproses semua hal tersebut. Setiap menit yang dihabiskan untuk mengelola digital debt ini adalah menit yang tidak dihabiskan untuk pekerjaan kreatif.
Di Indonesia, 76% karyawan mengatakan mereka tidak memiliki cukup waktu dan tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan mereka (12% lebih tinggi dari data global yang ada di angka 64%). Karyawan-karyawan ini pun lebih mungkin mengatakan mereka kesulitan untuk menjadi inovatif atau berpikir strategis. Dari waktu yang dihabiskan di Microsoft 365, rata-rata orang menghabiskan 57% untuk berkomunikasi dan hanya 43% untuk berkreasi. Adapun aktivitas #1 yang paling mengganggu produktivitas adalah meeting yang tidak efisien.
Kedua, terdapat aliansi baru antara AI dengan karyawan. Bagi karyawan, harapan akan bantuan yang dapat meringankan pekerjaan, mengalahkan rasa takut akan kehilangan pekerjaan. Dari sisi pemimpin, manajer juga ingin memberdayakan karyawan dengan AI, bukan mengganti. Di Indonesia, 48% karyawan mengatakan mereka khawatir AI akan menggantikan pekerjaan mereka. Namun, jauh lebih banyak dari itu — 75% — mengatakan bahwa mereka akan mendelegasikan sebanyak mungkin pekerjaan kepada AI, guna mengurangi beban kerja mereka.
Sebanyak 4 dari 5 karyawan di Indonesia pun hendak menggunakan AI tidak hanya untuk pekerjaan administratif (84%), tetapi juga pekerjaan analitis (87%) dan aspek-aspek kreatif dalam pekerjaan mereka (88%). Faktanya, pemimpin di Indonesia 3,6x lebih mungkin mengatakan bahwa AI akan membawa manfaat di tempat kerja mereka dengan meningkatkan produktivitas, alih-alih memangkas jumlah karyawan (lebih tinggi dari pemimpin bisnis global yang ada di 1,9x).
Ketiga, setiap karyawan memerlukan keterampilan AI. Sebanyak 61% karyawan di Indonesia mengatakan mereka saat ini tidak memiliki kapabilitas yang tepat untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Dalam era di mana AI mengubah cara kerja dengan menjadikan kreativitas sebagai produktivitas baru dalam kesehariannya, setiap karyawan–bukan hanya pakar AI–akan membutuhkan kompetensi utama baru, seperti analytical judgement, emotional intelligence, creative evaluation, intellectual curiosity, dan kemampuan memberikan prompt. Sebanyak 90% pemimpin di Indonesia (vs 82% pemimpin global) pun telah mengantisipasi bagaimana karyawan akan membutuhkan keterampilan baru di era AI ini.
“Penting untuk digarisbawahi bahwa teknologi AI adalah copilot kita, bukan autopilot. Pilot yang memiliki kontrol dan tanggung jawab penuh atas final output serta keputusan dalam pekerjaan tetaplah manusia. Kita perlu mengecek kembali, memastikan kebenaran dan fakta, serta menyelaraskan masukan copilot berdasarkan pengetahuan dan penilaian kita. Itulah sebabnya, kita perlu mempelajari keterampilan baru untuk menggunakan AI, agar dapat memanfaatkan teknologi ini secara bertanggung jawab,” tambah Lucky.
Untuk memberdayakan bisnis di era AI, Microsoft memperkenalkan Program Akses Awal Microsoft 365 Copilot, dengan wave awal bagi 600 pelanggan enterprise di seluruh dunia, melalui program pratinjau berbayar khusus undangan. (*AMBS)