youngster.id - Wisatawan Asia Pasifik gemar menggunakan kartu kredit, debit, dan prabayar sebagai metode pembayaran ketika berlibur. Tren ini menunjukkan sikap konsumen yang semakin bergantung pada metode pembayaran digital.
Hal itu terungkap dari temuan riset “Global Travel Intentions” (GTI) Visa. Menurut laporan itu, jumlah wisatawan yang membawa uang tunai ketika bepergian juga telah menurun 60% pada masa pascapandemi, bahkan hanya 31% responden yang membawa uang tunai pada 2023, dibandingkan 79% pada 2020.
Para wisatawan mengungkapkan sejumlah alasan penggunaan alat pembayaran kartu di luar negeri, seperti metode pembayaran yang banyak diterima oleh pihak penjual, aspek keamanan ketika berlibur, dan tingkat nilai tukar mata uang yang menarik.
Danielle Jin, Head Marketing Asia Pasifik Visa mengatakan, riset ‘Global Travel Intentions’ mempertegas peran alat pembayaran digital yang semakin penting dalam meningkatkan pengalaman wisatawan saat berlibur. Temuan ini juga menunjukkan, ekosistem kepariwisataan harus membantu pelaku usaha lokal menyediakan solusi pembayaran yang aman dan nirkontak sesuai preferensi wisatawan masa kini.
“Kami menyaksikan, pola perilaku wisatawan dan preferensi metode pembayaran telah berubah drastis pada masa pascapandemi. Banyak wisatawan kini memilih metode pembayaran yang aman, digital, dan nirkontak (touch-free),” kata Jin, Senin (4/12/2023).
Riset Visa ini menyurvei lebih dari 15.000 wisatawan di Asia Pasifik, wisatawan menunjukkan beberapa tren dan pola perilaku penting:
- Destinasi yang paling banyak dipilih wisatawan:Jepang menjadi destinasi yang paling banyak dipilih wisatawan, bahkan 25% responden telah berkunjung ke Jepang pada tahun ini, disusul Australia (18%) dan Singapura (12%). Di sisi lain, Australia (16%), Jepang (16%), dan Tiongkok Daratan (9%) menjadi destinasi teratas untuk business leisure di pasar internasional, atau “bleisure”, momen liburan yang digabungkan dengan aktivitas bisnis.
- Lonjakan biaya perjalanan wisata:Pengeluaran wisatawan semakin besar pada 2023, rata-rata mencapai US$2.525 untuk setiap perjalanan wisata—lonjakan drastis dari $1.708 pada 2020.
- Motivasi berlibur: Lebih lagi, survei ini mengungkapkan motivasi utama dalam aktivitas liburan, yakni relaksasi (39%), disusul keinginan bereksplorasi dan belajar hal-hal baru (14%), serta mengunjungi keluarga dan teman (13%). Faktor motivasi lainnya mencakup berbelanja (8%) dan bertualang (8%).
- Inisiatif keberlanjutan semakin mendapat sorotan: 63% responden kian meminati pengalaman liburan yang mengutamakan inisiatif keberlanjutan, seperti memilih fasilitas akomodasi yang berkelanjutan, memakai fitur hemat energi pada alat transportasi, serta menghindari penggunaan plastik sekali pakai sebagai cara-cara berlibur dengan mengutamakan inisiatif keberlanjutan.
- Inspirasi liburan mendatang: Ketika merencanakan liburan berikutnya, wisatawan mengambil inspirasi dari beragam sumber. Materi periklanan (49%) danword of mouth (48%) menjadi sumber terbanyak bagi wisatawan. Sementara, materi promosi (41%), media sosial (39%), serta konten tentang liburan (37%) juga menjadi faktor-faktor penting yang dipertimbangkan wisatawan saat memilih destinasi dan kegiatan wisata.
Bagi industri pariwisata, upaya mempelajari perubahan tren konsumen akan menjadi unsur penting di balik kesuksesan. Maka, kolaborasi Visa dengan banyak pelaku dalam ekosistem pariwisata—mulai dari agen perjalanan wisata hingga maskapai penerbangan, pihak penjual, lembaga keuangan, dan instansi pemerintah—menunjukkan, kalangan perusahaan yang menguasai data dapat berinteraksi dengan konsumen secara lebih baik dalam skala luas lewat pengalaman yang dipersonalisasi dan berdampak positif.
“Keahlian data dan analisis yang dikuasai Visa menyajikan gambaran holistis atas segala sesuatu yang berkaitan dengan tren pariwisata di Asia Pasifik. Dengan demikian, Visa membantu kalangan perusahaan menarik minat wisatawan dan mendukung wisatawan sejak pertama kali memutuskan untuk berlibur,” tambah Jin.
Keahlian internal Visa dalam data pembayaran dan ilmu data dapat membantu kalangan perusahaan menyusun rencana secara lebih dini agar memaksimalkan peluang ketika arus perjalanan wisata melonjak. Saat digabungkan dengan data milik mitra, seperti kapasitas kursi pesawat terbang, analisis data Visa memprediksi puncak musim liburan bagi pelaku ekosistem pariwisata yang terdiri atas pihak penjual dan peritel hingga bank, tekfin, dan instansi pemerintah di sektor pariwisata.
Institusi tersebut—baik berskala besar hingga kecil—dapat memakai analisis data Visa sehingga memenuhi kebutuhan dan preferensi konsumen secara lebih baik pada puncak musim liburan, serta merancang program promosi dan reward bagi pemegang kartu Visa segera setelah mereka membutuhkannya.
“Untuk meningkatkan layanan bagi mitra-mitra di Asia Pasifik, kami juga baru saja mendirikan Centre of Excellence di sektor pariwisata di Asia Pasifik. Tim tersebut bertugas membantu klien memanfaatkan data dan memaksimalkan berbagai peluang di industri pariwisata dan pembayaran lintaswilayah,” tutup Jin.
“Visa Global Travel Intentions Study 2023” dijalankan oleh 4SIGHT Research & Analytics pada April-Juni 2023, serta menyurvei 15.467 responden di Australia, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Tiongkok Daratan, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Selama lebih dari satu dekade, survei GTI mengulas pola perjalanan wisata dan pembayaran sekaligus mempelajari tren baru di industri pariwisata.
HENNI S.