youngster.id - “Saya berharap e-commerce ini bisa membantu petani, nelayan, dan UMKM di daerah,” ujar Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) ketika membuka perhelatan akbar Indonesia E-Commerce Summit & Expo (IESE), pada Rabu 27 April 2016 lalu di Indonesia Convention Exhibition (ICE), BSD,Tangerang.
Tak berlebihan jika Presiden Jokowi berharap pada e-commerce agar bisa membantu pelaku usaha kecil, yang ujung-ujungnya akan membantu memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Sebab, e-commerce mempunyai potensi untuk melakukan itu. E-commerce memiliki “tuah” untuk mempengaruhi dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Pasalnya, e-commerce didukung dana melimpah, membuka lapangan kerja baru, perputaran uang yang besar dan cepat, serta dapat mengerek pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Keberadaan e-commerce ini dapat menjadi peluang besar bagi pelaku UMKM untuk mengembangkan bisnisnya. Bahkan, e-commerce ini memungkinkan UMKM melakukan pemasaran dengan tujuan pasar global, sehingga berpeluang menembus ekspor.
Arus investasi besar
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong mengatakan bahwa e-commerce mampu menjadi pendorong penanaman modal asing (PMA) dan penyelamat perekonomian Indonesia.
“Arus modal yang masuk ke ekonomi digital itu adalah satu dari dua sektor yang menyelamatkan investasi internasional naik. Pertama, adalah e-commerce kedua adalah smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian logam,” katanya, Selasa (26/2). “Saya tentunya terima kasih atas tren ini. Karena kalau bukan karena invest dan arus modal deras yang masuk ke dalam unicorn dan juga ekonomi digital, investasi global itu malah turun loh,” klaimnya.
Boleh dibilang, terutama sejak tahun 2015, ekonomi digital di Indonesia, khususnya e-commerce, semakin seru dan antusias. Arus investasi kencang mengguyur berbagai platform e-commerce di Tanah Air.
Selain Bukalapak yang diguyur pendanaan dari EMTEK Group, Blibli dari Djarum Group, tahun itu juga ditandai oleh munculnya beberapa pemain e-commerce baru di Indonesia, baik lokal maupun asing. Selain investasi besar oleh pemain baru, arus investasi susulan yang jumlahnya tak kalah besar juga masuk ke beberapa pemain e-commerce lama.
Tahun itu diawali oleh munculnya MatahariMall, pada 25 Februari. Untuk membangun dan mengembangkan situs perdagangannya itu di Indonesia, Lippo Group tak sungkan menggelontorkan investasi sebesar US$ 500 juta, atau sekitar Rp 6 triliun.
Selanjutnya, pada Oktober, muncul e-commerce baru: JD.ID, yang didanai raksasa ekonomi digital Tiongkok lainnya Tencent dan Jing Dong (JD.com). Tetapi tidak diketahui besaran investasi untuk membangun JD.ID ini. Diperkirakan sih besar sekali. Pasalnya, untuk pendanaan Gojek saja, pada awal 2019, Tencent dan JD.com berani mengucurkan investasi sebesar US$ 920 juta, atau Rp 12,8 triliun.
Lalu, ada Elevenia yang dibesut dan didanai perusahaan asal Korea Selatan SK Planet dan XL Axiata, dengan nilai investasi sebesar US$ 60 juta, atau sekitar Rp 776 miliar. Pada perkembangan selanjutnya, kepemilikan Elevenia ini beralih ke tangan Salim Group. Sebelumnya, Salim Group melalui PT Indo Lotte Makmur, menjadi pemilik e-commerce B2C iLotte.
Di luar itu, pendanaan susulan juga mengalir deras ke beberapa e-commerce. Situs perdagangan yang menyediakan pakaian dan perangkat fesyen Berrybenka mendapat kucuran pendanaan sebesar US$ 5 juta atau Rp 64,5 miliar dari East Ventura, Gree Ventura, dan Transcosmos. Juga, Shopee yang mendapat pendanaan baru sebesar US$ 550 juta, atau sekitar Rp 7,3 triliun, dari GDP Venture, JG Summit Holdings, Hillhouse, Cathay Financial, dan Farallon.
Selain Lazada yang beroleh investasi baru sebesar US$ 686 juta, atau sekitar Rp 9 triliun, Tokopedia juga mendapat pendanaan baru yang cukup besar. Tokopedia mendapat investasi sebesar US$ 147 juta, atau sekitar Rp 2 triliun. Lalu, pada Agustus 2017 Tokopedia kembali mendapat suntikan dana sebesar US$ 1,1 milar, atau sekitar Rp 14,7 triliun, dari Alibaba Group. Dan, pada Mei 2018, seperti diberitakan Techin Asia, Tokopedia kembali mendapat kucuran modal baru sebesar US$ 1 miliar, atau sekitar Rp 14,5 miliar dari beberapa investor terdahulu. Termasuk dari SoftBank.
Hampir bersamaan dengan Tokopedia, e-commerce fesyen perempuan Sale Stock pun mendapat pendanaan Seri B. Sejumlah investor yang dipimpin Gobi Partners, yaitu Alpha JWC Ventures, Convergence Ventures, KIP, MNC, dan SMDV, memberikan suntikan modal baru kepada Sale Stock sebesar US$ 27 juta, atau sekitar Rp 360 miliar. Lalu, pada Mei 2019, setelah ganti nama menjadi Sorabel, e-commerce ini memperoleh pendanaan Pra-Seri C dari sejumlah investor. Termasuk Kejora-Intervest Growth Fund dan modal ventura asal Korea, Shift.
Pada September 2017, e-commerce fesyen lainnya Zilingo mendapat pendanaan Seri B sebesar US$ 17 juta, atau sekitar Rp 224 miliar. Pendanaan dipimpin oleh Sequoia Capital India dan Burda Principal Investments. Tahun berikutnya Zilingo mendapat lagi pendanaan Seri C, dengan nilai sebesar US$ 54 juta, atau sekitar Rp 740 miliar. Dan, pada Februari 2019, Zilingo kembali beroleh pendanaan Seri D sebesar US$ 226 juta, atau sekitar Rp 3,1 triliun.
Paling anyar, pada September 2019 e-commerce kecantikan Social Bella (Sociolla) mendapat kucuran dana Seri D sebesar US$ 40 juta, atau sekitar Rp 567 miliar, dari sejumlah investor yang dipimpin EV Growth dan Temasek. Tahun lalu Sociolla mendapat suntikan dana sebesar US$ 12 juta, atau sekitar Rp 169 miliar. Dan, masih banyak lagi pemain e-commerce lainnya, yang beroleh pendanaan atau investasi selama kurun waktu 2015 hingga pertengahan 2019, seperti ada Jualo, eCommerce, dsb.
Perputaran uang yang besar
Lembaga riset asal Inggris, Merchant Machine, merilis daftar sepuluh negara dengan pertumbuhan e-commerce tercepat di dunia. Indonesia berada di posisi teratas, dengan pertumbuhan 78% pada 2018. Salah satu faktor pendorongnya adalah tingginya jumlah pengguna Internet di Indonesia, yakni lebih dari 132 juta jiwa. Dari jumlah pengguna Internet itu, sekitar 25%-nya suka berbelanja di toko online.
Tak mengherankan, nilai transaksi e-commerce terus meningkat. Perputaran uang di sektor ini cukup fantastis.
Data Bank Indonesia (BI) menyebutkan, transaksi e-commerce di Indonesia sepanjang 2018 lalu mencapai Rp 77,766 triliun. Angka ini naik 151% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 30,942 triliun.
Hingga kuartal pertama tahun 2019, BI menyebutkan jumlah transaksi e-commerce per bulannya mencapai Rp 11 – 13 triliun. Bahkan, McKinsey & Co memproyeksikan nilai pasar e-commerce Indonesia pada 2022 akan mencapai sekiatar Rp 910 triliun. Angka tersebut meningkat delapan kali lipat dibandingkan 2017 yang nilainya sekitar Rp 112 triliun.
Hebatnya, nilai transaksi e-commerce Indonesia merupakan yang terdepan di kawasan Asia Tenggara. Mengacu pada hasil riset Google dan Temasek pada November 2018, berjudul “e-Conomy SEA 2018”, yang menghitung potensi gross merchandise value (GMV) e-commerce di kawasan Asia Tenggara, disebutkan mencapai US$ 23,2 miliar atau sekitar Rp 335 triliun pada 2018. Jumlah tersebut meningkat 62% dibandingkan tahun 2015 yang mencapai US$ 5,5 miliar. Diperkirakan, pada 2025 jumlahnya akan meningkat menjadi US$ 102 miliar atau setara Rp 1.469 triliun.
Indonesia berada di posisi teratas untuk nilai transaksi e-commerce tersebut. Pada 2018, Indonesia berhasil memperoleh kenaikan hingga 94% GMV, yakni dari US$ 1,7 miliar pada 2015 menjadi US$ 12,2 miliar. Pada 2025, Indonesia diprediksi bisa mendapatkan sekitar US$ 53 miliar, atau sekitar Rp745,2 triliun, dari bisnis e-commerce.
Berdasarkan laporan terbaru e-Conomy SEA yang disusun Google, Temasek dan Bain & Company, disebutkan valuasi sektor e-commerce di Indonesia diperkirakan mencapai US$ 21 miliar pada tahun ini (2019). Jumlah tersebut bertumbuh 12 kali lipat atau naik 88% ketimbang tahun 2015 yang hanya sebesar US$ 1,7 miliar. Bahkan, pada tahun 2025 mendatang, e-commerce Indonesia diperkirakan bisa mencapai US$ 82 miliar.
Ada beberapa faktor yang memungkinkan pertumbuhan nilai transaksi dan perputaran uang di e-commerce Indonesia tinggi. Selain didukung geografis pasar yang begitu luas, jumlah pengguna Internet terus meningkat (Indonesia termasuk 10 negara teratas di dunia dengan pengguna Internet seluler tertinggi), penduduk Indonesia juga perlahan menjadikan Internet sebagai penopang aktivitas sehari-harinya. Mulai dari layanan transportasi hingga aktivitas belanja online.
Membuka lapangan kerja
Tentu saja, munculnya berbagai usaha rintisan (startup) belakangan ini, termasuk e-commerce, di Indonesia menjanjikan peluang dan membuka lapangan kerja baru.
Betapa tidak, satu perusahaan e-commerce saja bisa membuka 80% lapangan kerja baru. Padahal, menurut iPrice, sampai awal 2018 ada sekitar 49 pemain di industri e-commerce yang beroperasi di Indonesia, baik berasal dari Indonesia maupun mancanegara.
Firma konsultan manajemen McKinsey & Company, menyebutkan total bisnis online di Indonesia telah meningkat hingga sekitar 4,5 juta pada 2017. Dari jumlah tersebut, sekitar 99% adalah pengusaha mikro (UMKM) dengan pendapatan kurang dari Rp 300 juta tiap tahun, dan sekitar 50% adalah bisnis online tanpa toko fisik.
Secara makro, McKinsey menyebutkan bahwa industri e-commerce telah mendorong tumbuhnya lapangan kerja baru di Indonesia, dengan estimasi sekitar 4 juta pekerja terhubung dengan ekosistem ini. Diproyeksikan pada tahun 2022 pertumbuhan pasar e-commerce Indonesia dapat merangkul sekitar 26 juta pekerja, atau 20% angkatan kerja.
Sementara itu, menurut laporan iPrice, dari tahun 2016 para pemain e-commerce di Indonesia melalukan rekrutmen karyawan untuk bergabung dalam perusahaanya. Shopee dengan persentase perekrutan paling besar, yakni meningkat 176,8% dari tahun 2016. Sementara Tokopedia dan Bukalapak masing-masing secara konsisten merekrut karyawan sejak 2016 lalu dengan peningkatan 126% dan 134,7%.
Tetapi, hingga kuartal II-2019, jumlah karyawan Tokopedia mencapai 3.144 karyawan. Posisinya di atas Shopee, yang memperkerjakan sekitar 3.017 karyawan. Selanjutnya, Mapemall yang memperkerjakan 2.933 karyawan dan Bukalapak 2.696 karyawan. Disusul Lazada yang memperkerjakan 2.289 karyawan, Blibli sebanyak 1.372 karyawan, dan JD.ID memperkerjakan sebanyak 1.065 karyawan.
Hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memprediksi, Tokopedia akan menciptakan 1,14 juta lapangan kerja baru akhir tahun ini. Hal ini sejalan dengan jumlah mitra penjual di platform e-commerce itu yang rerata meningkat 150,4% per tahun.
Wakil Direktur LPEM FEB UI Kiki Verico menjelaskan, Tokopedia membuka 857 ribu lapangan pekerjaan sepanjang tahun lalu. Dari jumlah tersebut, 309 ribu di antaranya menjadikan Tokopedia sebagai sumber penghasilan utama.
“Tokopedia menciptakan 10,3% dari total lapangan pekerjaan baru di Indonesia pada tahun lalu,” kata Kiki.
Membuka ruang bagi berkembangnya bisnis UMKM dan UKM
Perlu diingat, UMKM memiliki peran penting dan menjadi tulang punggung dalam perekonomian Indonesia. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terlepas dari peran UMKM. Khususnya kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB). Tahun 2018, kontribusi UMKM terhadap PDB nasional mencapai sekitar 60,34%. Secara jumlah, usaha kecil di Indonesia menyumbang PDB lebih banyak, yakni mencapai 93,4%, kemudian usaha menengah (UKM) 5,1%, dan usaha besar yang hanya 1%.
Nah, keberadaan e-commerce ini bisa menjadi peluang besar bagi para pelaku UMKM untuk lebih mengembangkan usahanya. Melalui pemanfaatan e-commerce ini para pelaku UMKM dapat memasarkan dan memperluas akses pasarnya.
Sejauh ini, beberapa marketplace sudah menunjukkan komitmennya untuk turut mendukung perkembangan bisnis UKM dan UMKM ini. Mereka telah membuka dan memberi ruang bagi para UMKM untuk memasarkan produknya.
Di Tokopedia, misalnya, menurut hasil riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), saat ini memiliki 6,4 juta mitra penjual. Jumlah tersebut meningkat dibanding tahun lalu yang sebanyak 5 juta. Sekitar 86,55% merupakan pedagang baru dan 94% termasuk dalam kategori ultra mikro atau omzetnya di bawah Rp 100 juta per tahun.
Sementara itu, di Bukalapak, hingga Januari 2019 terdapat 4 juta UKM/UMKM, dan sebanyak 98%-nya memiliki nilai pendapatan masuk kategori di bawah Rp 4,8 miliar. Belum lagi di Blibli, Blanja.com atau Shopee, yang juga aktif mendukung bisnis para UKM dan UMKM.
Di Blibli, misalnya, ada “Galeri Indonesia” yang merupakan kategori khusus yang menjual produk UMKM. Saat ini, di Galeri Indonesia ini ada sekitar 10.000 produk UMKM. Seluruh produk tersebut belum termasuk barang yang dijual oleh reseller. Ini berarti para pelaku e-commerce juga turut mendorong tumbuhnya wirausaha baru (UKM/UMKM).
BLANJA.com, yang oleh Kementerian Negara BUMN ditunjuk sebagai e-commerce BUMN melalui program Rumah Kreatif BUMN (RKB), menjadi marketplace bagi produk 118 BUMN dan produk UKM-UKM binaan 118 BUMN. Ini merupakan sinergi strategis untuk membawa produk ASLI Indonesia menembus pasar nasional dan internasional. Hingga pertengahan 2016 saja sudah ada sekitar 7.000 pedagang yang menjual barang-barangnya di platform Blanja.com, di mana 80% dari jumlah tersebut merupakan pelaku UKM dan UMKM.
Kendati begitu, hingga saat ini masih banyak UMKM yang belum bergabung dengan e-commerce. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, dari 58 juta UMKM yang ada di Indonesia, UMKM yang bergabung dengan e-commerce baru sebanyak 8 juta, atau baru sekitar 14%. Atau, menggunakan data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, baru 6%-7% kontribusi produk lokal, dari semua produk yang ter-listing di marketplace di Indonesia.
Tentunya, peran serta UMKM dalam bisnis daring ini perlu ditingkatkan, sehingga kontribusi e-commerce pada pertumbuhan ekonomi bisa lebih meningkat juga. Pasalnya, sejauh ini kontribusi e-commerce terhadap pertumbuhan ekonomi nasional masih sangat kecil. Menurut hasil riset INDEF tahun 2018, kontribusi e-commerce ke PDB hanya 0,75% atau sekitar 1,34% dari total konsumsi rumah tangga.
Kendati begitu, dengan nada sangat optimis CEO Hinrich Foundation, Kathryn Dioth memproyeksikan, pada 2030 nanti kontribusi e-commerce ke PDB akan naik hingga 18 kali lipat menjadi Rp 2.305 triliun. Dengan begitu, kita masih bisa tetap berharap pada “tuah” e-commerce ini. (*AMBS/dari berbagai sumber)
Discussion about this post