youngster.id - Dunia startup Indonesia diguncang oleh skandal finansial terbesar yang melibatkan eFishery, unicorn agritech pertama di Tanah Air dengan valuasi puncak mencapai US$1,4 miliar.
Alih-alih menjadi kisah sukses yang inspiratif, perusahaan yang dipuja sebagai harapan startup teknologi nasional ini kini menghadapi kejatuhan memalukan setelah hasil audit forensik mengungkap dugaan penipuan sistemik yang berlangsung selama enam tahun, di mana manajemen diduga sengaja menggelembungkan angka pendapatan hingga 4,8 kali lipat demi menarik ratusan juta dolar dari investor global. Kebohongan yang terstruktur ini tidak hanya menghancurkan kepercayaan pasar terhadap eFishery, tetapi juga menimbulkan keraguan besar pada transparansi dan tata kelola seluruh ekosistem startup di Asia Tenggara.
eFishery, didirikan pada tahun 2013 oleh lulusan ITB Gibran Huzaifah, Muhammad Ihsan Akhirulsyah dan Chrisna Aditya, memulai perjalanannya dengan misi mulia untuk merevolusi industri akuakultur Indonesia.
Masalah yang dihadapi: Sebagian besar pembudidaya ikan di Indonesia masih menghadapi kesulitan akses teknologi dan modal, yang menyebabkan inefisiensi parah dalam praktik perikanan tradisional. Meskipun Indonesia merupakan produsen akuakultur terbesar ke-3 di dunia (setelah Tiongkok dan India), lebih dari 80% dari 3,34 juta pembudidaya ikan masih menggunakan metode manual. Contohnya, proses pemberian pakan, yang menyumbang 60–90% dari biaya operasional, sering dilakukan secara manual, berujung pada pemberian pakan yang kurang, berlebihan, pemborosan, dan kerusakan lingkungan.
Solusi brilian: eFishery hadir dengan perangkat pemberi pakan pintar (smart feeding device) yang dirancang untuk membantu pembudidaya ikan dan udang mengoptimalkan operasi, mengurangi biaya, meningkatkan hasil panen, dan menambah pendapatan.
- eFeeder: Perangkat ini menggunakan sensor untuk mendeteksi nafsu makan ikan dan udang, lalu secara otomatis mengeluarkan jumlah pakan yang optimal. Sensor ini juga mengumpulkan dan mengirimkan data (volume pakan, konsumsi, dan transaksi) ke cloud untuk analisis waktu nyata.
- eFisheryKu & eFarm: Pembudidaya dapat mengakses wawasan secara real-time untuk melacak efisiensi pemberian pakan dan mengelola kolam mereka dari jarak jauh melalui ponsel.
- eFisheryFund: eFishery juga melengkapi layanannya dengan menyediakan bantuan pendanaan bagi para pembudidaya.
Secara singkat, eFishery menyediakan teknologi pakan cerdas berbasis Internet of Things (IoT) dan mobile untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas budidaya. Ide yang masif dan brilian ini dicintai para pembudidaya: operasi optimal berarti biaya lebih rendah, hasil panen lebih tinggi, dan pendapatan lebih besar.
Dari sana, eFishery tampak tak terhentikan. Pada tahun 2022, perusahaan ini diklaim berkontribusi 1,55% terhadap PDB Indonesia di sektor akuakultur. Pada Juli 2023, eFishery melayani 70.000 pembudidaya di 280 kota. Di puncaknya, valuasi eFishery mencapai US$1,4 miliar—menjadikannya unicorn agritech pertama di Indonesia—setelah mengumpulkan US$200 juta dalam Pendanaan Seri D dari investor global seperti 42XFund (UEA), KWAP (dana pensiun terbesar Malaysia), 500 Global, Northstar Ventures, SoftBank, dan Temasek. Gibran bahkan dielu-elukan sebagai pahlawan nasional dan masuk daftar Forbes’ 30 Under 30, sementara para politisi memuji eFishery sebagai bukti kemajuan teknologi Indonesia.
eFishery telah menjadi kesayangan bangsa dan hampir menjadi kisah sukses startup sejati di Indonesia.
Kejatuhan eFishery
Namun,… kisah ikan ini tiba-tiba tercium bau tak sedap.
Semuanya runtuh ketika seorang whistleblower (pelapor internal) menghubungi dewan direksi eFishery dengan tuduhan pelanggaran keuangan. Hal ini mendorong dilakukannya investigasi internal oleh FTI Consulting, yang mengungkap bahwa manajemen perusahaan diduga telah menggelembungkan angka pendapatan sejak tahun 2018 (selama penggalangan dana Seri A). Skandal ini kemudian meledak, menciptakan gelombang kejut besar di seluruh ekosistem startup Indonesia.
Kronologi Dari Bintang Nasional Menjadi Skandal:
- Okt 2013 – Jul 2023: Periode keemasan. eFishery secara bertahap mengumpulkan dana hingga $200 juta dan mencapai status unicorn (valuasi $1,4 Miliar) dengan mengklaim telah melayani puluhan ribu pembudidaya dan pendapatan fantastis.
- Apr 2024: CFO tiba-tiba mengundurkan diri dengan alasan “pribadi.”
- 19 Nov 2024: Seorang whistleblower melaporkan dugaan pelanggaran keuangan kepada dewan direksi.
- 15 Des 2024: Dewan Direksi memberhentikan sementara co-founder (CEO & CPO) menyusul laporan dugaan penipuan besar-besaran. Pimpinan sementara ditunjuk.
- Jan 2025: Audit forensik mengungkap skala penipuan yang sebenarnya:
- Mantan CEO Gibran diduga membuat dan memelihara dua set buku akuntansi sejak tahun 2018—satu untuk performa nyata (Internal Books), satu lagi dengan angka yang digelembungkan untuk investor dan dewan (External Books).
- Dugaan inflasi pendapatan dimulai dari 1,25x (2018-2020) hingga mencapai 4,8x pada tahun 2024.
- Antara Jan-Sep 2024, pendapatan nyata perusahaan sekitar $161 juta, namun buku eksternal melaporkan $750 juta, dengan laba $16 juta padahal kenyataannya adalah rugi $35,4 juta.
- Perusahaan diduga menciptakan perusahaan cangkang (shell companies) dan skema untuk menyembunyikan penurunan posisi kas, bahkan sempat mendistribusikan bonus karyawan senilai hampir $1,6 juta berdasarkan angka keuangan palsu.
- 23 Jan 2025: eFishery menghentikan operasi dan merencanakan PHK massal, dimulai dari pekerja kontrak. Karyawan mulai membentuk serikat pekerja karena takut gaji dan pesangon tidak dibayarkan.
- Feb 2025: FTI Consulting mengambil alih sebagai manajemen sementara untuk memimpin restrukturisasi. PHK massal diumumkan, memangkas 90% dari tenaga kerja (lebih dari 1.000 pekerjaan). Perusahaan akan terus mengoperasikan bisnis feeder-nya sambil menunggu hasil penyelidikan.
- 5 Agustus 2025: Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Polri telah menetapkan 3 orang tersangka dari kasus ini, yaitu: Gibran Huzaifah (CEO), Angga Hardian Raditya (VP), dan Andri Yadi (VP of Product AIoT & Culti-Finance).
Dugaan penipuan sistemik dan canggih yang berlangsung selama enam tahun ini dianggap sebagai skandal penipuan startup terbesar di Asia Tenggara dan meninggalkan dampak yang “mencemaskan” bagi kepercayaan investor di kawasan tersebut.
Dua Kesalahan Fatal yang Melumpuhkan
1. Penipuan Keuangan Sistemik dengan Pembukuan Ganda
Dugaan penipuan ini bukan didorong oleh kepanikan sesaat, melainkan sudah terstruktur dan dimulai sejak penggalangan dana Seri A pada 2018.
Mantan CEO, Gibran Huzaifah, diduga menciptakan dua set buku akuntansi—satu untuk kinerja internal, dan yang lain dengan angka yang digelembungkan untuk diserahkan kepada dewan, pemegang saham, bank, dan auditor. Skema ini melibatkan jaringan perusahaan cangkang untuk memfasilitasi transaksi palsu (round-tripping) dan perintah kepada karyawan untuk mengedit faktur demi buku eksternal.
Inflasi angka ini mencapai puncaknya pada 2024, di mana pendapatan dilaporkan US$752 juta, padahal pendapatan aktual hanya sekitar US$157 juta (lebih dari 75% pendapatan dilaporkan palsu). Perusahaan ini mengorbankan permainan jangka panjang demi dana jangka pendek dari investor, menciptakan rumah kartu yang cepat atau lambat pasti runtuh.
2. Kurangnya Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)
Seiring pertumbuhan eFishery menuju perusahaan bernilai miliaran dolar, perusahaan gagal membangun kontrol keuangan, mekanisme pengawasan, atau sistem akuntabilitas yang diperlukan.
- Uji tuntas investor yang terburu-buru: Banyak investor, yang terburu-buru mendapatkan unicorn agritech yang menjanjikan, mungkin mengandalkan investasi berbasis kepercayaan alih-alih melakukan analisis forensik mendalam. Tanpa pengawasan keuangan yang ketat dari VC, perusahaan dapat memanipulasi angka pendapatan berulang kali.
- Konsentrasi kekuasaan pada Pendiri: Keputusan keuangan dan pelaporan sangat terkonsentrasi pada tim pendiri. Tidak ada CFO yang kuat untuk menantang angka yang meragukan, dan anggota dewan cenderung memercayai pendiri secara membabi buta hingga akhirnya laporan whistleblower muncul.
- Tidak adanya audit independen yang efektif: Walaupun laporan audit dipoles, fakta bahwa eFishery mengoperasikan dua set buku menunjukkan manipulasi yang tidak terdeteksi oleh audit konvensional, memungkinkan manipulasi ini berlangsung selama enam tahun.
Tiga Pelajaran Utama
Setidaknya ada tiga pelajaran utama yang bisa kita ambil dari skandal eFishery ini. Pertama, integritas dan transparansi keuangan tidak dapat ditawar: Kepercayaan dibangun selama 100 hari, dan hancur dalam 1 detik. Ketika penipuan dilembagakan, hal itu tidak hanya merusak nilai pemegang saham, tetapi juga menciptakan warisan penipuan.
Kedua, pertumbuhan berkelanjutan mengalahkan hyper-growth yang mencolok: Pengejaran eFishery terhadap hyper-growth—yang didukung oleh angka palsu—menyebabkan valuasi yang meroket tetapi tidak sesuai kenyataan. Pertumbuhan yang berkelanjutan (lambat tapi pasti) jauh lebih berharga daripada “teater pertumbuhan” yang hanya menciptakan penampilan ekspansi cepat tanpa fondasi yang kuat.
Ketiga, dampak meluas ke seluruh ekosistem: Kegagalan yang disebabkan oleh praktik penipuan tidak hanya memengaruhi perusahaan itu sendiri, tetapi juga menciptakan efek domino yang meluas ke investor, karyawan, pelanggan, dan ekosistem startup secara keseluruhan. Kegagalan ini mengikis kepercayaan dan mempersulit perusahaan sah lainnya untuk mendapatkan modal di masa depan. (*AMBS/diolah dari berbagai sumber)















Discussion about this post