Skandal Terbesar Startup Indonesia: Kebohongan US$1,4 Miliar eFishery yang Menghancurkan Mitos Unicorn Agritech!

eFeeder eFishery

Skandal Terbesar Startup Indonesia: Kebohongan US$1,4 Miliar eFishery yang Menghancurkan Mitos Unicorn Agritech! (Foto: Stevy Widia/Youngsters.id)

youngster.id - Dunia startup Indonesia diguncang oleh skandal finansial terbesar yang melibatkan eFishery, unicorn agritech pertama di Tanah Air dengan valuasi puncak mencapai US$1,4 miliar. 

Alih-alih menjadi kisah sukses yang inspiratif, perusahaan yang dipuja sebagai harapan startup teknologi nasional ini kini menghadapi kejatuhan memalukan setelah hasil audit forensik mengungkap dugaan penipuan sistemik yang berlangsung selama enam tahun, di mana manajemen diduga sengaja menggelembungkan angka pendapatan hingga 4,8 kali lipat demi menarik ratusan juta dolar dari investor global. Kebohongan yang terstruktur ini tidak hanya menghancurkan kepercayaan pasar terhadap eFishery, tetapi juga menimbulkan keraguan besar pada transparansi dan tata kelola seluruh ekosistem startup di Asia Tenggara.

eFishery, didirikan pada tahun 2013 oleh lulusan ITB Gibran Huzaifah, Muhammad Ihsan Akhirulsyah dan Chrisna Aditya, memulai perjalanannya dengan misi mulia untuk merevolusi industri akuakultur Indonesia.

Masalah yang dihadapi: Sebagian besar pembudidaya ikan di Indonesia masih menghadapi kesulitan akses teknologi dan modal, yang menyebabkan inefisiensi parah dalam praktik perikanan tradisional. Meskipun Indonesia merupakan produsen akuakultur terbesar ke-3 di dunia (setelah Tiongkok dan India), lebih dari 80% dari 3,34 juta pembudidaya ikan masih menggunakan metode manual. Contohnya, proses pemberian pakan, yang menyumbang 60–90% dari biaya operasional, sering dilakukan secara manual, berujung pada pemberian pakan yang kurang, berlebihan, pemborosan, dan kerusakan lingkungan.

Solusi brilian: eFishery hadir dengan perangkat pemberi pakan pintar (smart feeding device) yang dirancang untuk membantu pembudidaya ikan dan udang mengoptimalkan operasi, mengurangi biaya, meningkatkan hasil panen, dan menambah pendapatan.

Secara singkat, eFishery menyediakan teknologi pakan cerdas berbasis Internet of Things (IoT) dan mobile untuk meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas budidaya. Ide yang masif dan brilian ini dicintai para pembudidaya: operasi optimal berarti biaya lebih rendah, hasil panen lebih tinggi, dan pendapatan lebih besar.

Dari sana, eFishery tampak tak terhentikan. Pada tahun 2022, perusahaan ini diklaim berkontribusi 1,55% terhadap PDB Indonesia di sektor akuakultur. Pada Juli 2023, eFishery melayani 70.000 pembudidaya di 280 kota. Di puncaknya, valuasi eFishery mencapai US$1,4 miliar—menjadikannya unicorn agritech pertama di Indonesia—setelah mengumpulkan US$200 juta dalam Pendanaan Seri D dari investor global seperti 42XFund (UEA), KWAP (dana pensiun terbesar Malaysia), 500 Global, Northstar Ventures, SoftBank, dan Temasek. Gibran bahkan dielu-elukan sebagai pahlawan nasional dan masuk daftar Forbes’ 30 Under 30, sementara para politisi memuji eFishery sebagai bukti kemajuan teknologi Indonesia.

eFishery telah menjadi kesayangan bangsa dan hampir menjadi kisah sukses startup sejati di Indonesia.

Kejatuhan eFishery

Namun,… kisah ikan ini tiba-tiba tercium bau tak sedap.

Semuanya runtuh ketika seorang whistleblower (pelapor internal) menghubungi dewan direksi eFishery dengan tuduhan pelanggaran keuangan. Hal ini mendorong dilakukannya investigasi internal oleh FTI Consulting, yang mengungkap bahwa manajemen perusahaan diduga telah menggelembungkan angka pendapatan sejak tahun 2018 (selama penggalangan dana Seri A). Skandal ini kemudian meledak, menciptakan gelombang kejut besar di seluruh ekosistem startup Indonesia.

Kronologi Dari Bintang Nasional Menjadi Skandal:

Dugaan penipuan sistemik dan canggih yang berlangsung selama enam tahun ini dianggap sebagai skandal penipuan startup terbesar di Asia Tenggara dan meninggalkan dampak yang “mencemaskan” bagi kepercayaan investor di kawasan tersebut.

Dua Kesalahan Fatal yang Melumpuhkan

1. Penipuan Keuangan Sistemik dengan Pembukuan Ganda

Dugaan penipuan ini bukan didorong oleh kepanikan sesaat, melainkan sudah terstruktur dan dimulai sejak penggalangan dana Seri A pada 2018.

Mantan CEO, Gibran Huzaifah, diduga menciptakan dua set buku akuntansi—satu untuk kinerja internal, dan yang lain dengan angka yang digelembungkan untuk diserahkan kepada dewan, pemegang saham, bank, dan auditor. Skema ini melibatkan jaringan perusahaan cangkang untuk memfasilitasi transaksi palsu (round-tripping) dan perintah kepada karyawan untuk mengedit faktur demi buku eksternal.

Inflasi angka ini mencapai puncaknya pada 2024, di mana pendapatan dilaporkan US$752 juta, padahal pendapatan aktual hanya sekitar US$157 juta (lebih dari 75% pendapatan dilaporkan palsu). Perusahaan ini mengorbankan permainan jangka panjang demi dana jangka pendek dari investor, menciptakan rumah kartu yang cepat atau lambat pasti runtuh.

2. Kurangnya Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance)

Seiring pertumbuhan eFishery menuju perusahaan bernilai miliaran dolar, perusahaan gagal membangun kontrol keuangan, mekanisme pengawasan, atau sistem akuntabilitas yang diperlukan.

Tiga Pelajaran Utama

Setidaknya ada tiga pelajaran utama yang bisa kita ambil dari skandal eFishery ini. Pertama, integritas dan transparansi keuangan tidak dapat ditawar: Kepercayaan dibangun selama 100 hari, dan hancur dalam 1 detik. Ketika penipuan dilembagakan, hal itu tidak hanya merusak nilai pemegang saham, tetapi juga menciptakan warisan penipuan.

Kedua, pertumbuhan berkelanjutan mengalahkan hyper-growth yang mencolok: Pengejaran eFishery terhadap hyper-growth—yang didukung oleh angka palsu—menyebabkan valuasi yang meroket tetapi tidak sesuai kenyataan. Pertumbuhan yang berkelanjutan (lambat tapi pasti) jauh lebih berharga daripada “teater pertumbuhan” yang hanya menciptakan penampilan ekspansi cepat tanpa fondasi yang kuat.

Ketiga, dampak meluas ke seluruh ekosistem: Kegagalan yang disebabkan oleh praktik penipuan tidak hanya memengaruhi perusahaan itu sendiri, tetapi juga menciptakan efek domino yang meluas ke investor, karyawan, pelanggan, dan ekosistem startup secara keseluruhan. Kegagalan ini mengikis kepercayaan dan mempersulit perusahaan sah lainnya untuk mendapatkan modal di masa depan. (*AMBS/diolah dari berbagai sumber)

Exit mobile version