youngster.id - Perkembangan ekonomi digital di Indonesia sangat pesat. Hal ini terlihat dari nilai pasar ekonomi digital Indonesia telah menembus US$40 miliar pada 2019 dan diproyeksikan mencapai US$133 miliiar pada 2025. Namun Laporan East Ventures Digital Competitiveness Index (EVDCI) menunjukkan masih ada ketimpangan ekonomi digital di Indonesia.
Dalam Laporan EVDCI, skor daya saing digital Jawa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pulau lain, sedangkan selisih skor antara Jakarta dengan provinsi lain di Jawa masih sangat besar. Ketimpangan ini membuat pertumbuhan ekonomi digital jadi lambat.
“Ekonomi digital menjanjikan inklusivitas dan pemerataan ekonomi. Namun, ekonomi digital seringkali hanya dilihat di area tertentu saja. Banyak daerah dari Sabang sampai Merauke yang belum mengecap manfaat dari ekonomi digital,” ungkap Willson Cuaca, Co-founder dan Managing Partner of East Ventures beberapa waktu lalu di Jakarta.
Dalam laporan EVDCI skor daya saing digital Jakarta 76,8 adalah yang tertinggi di Indonesia. “Infrastruktur internet yang lengkap dan tingkat adopsi digital yang cepat membuat Jakarta sebagai magnet industri digital dan pendiri-pendiri startup baru,” kata Willson lagi.
Namun demikian, dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa meningkatnya penetrasi internet ditopang oleh membaiknya infrastruktur digital yang tersedia di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hal itu diyakini akan menjadi peluang bagi ekonomi digital Tanah Air.
Sebagai contoh, kota Malang dengan EV-DCI = 47,2, mampu menempati posisi 10 besar. Posisi Malang sebagai “dapur” industri digital Indonesia membuatnya unggul dalam aspek talenta digital. Demikian juga dengan Balikpapan adalah kota dengan daya saing digital paling tinggi di Kalimantan dengan EV-DCI = 44,2. Kehadiran perusahaan-perusahaan besar di Balikpapan membuatnya sebagai tempat pertemuan pekerja berkeahlian dari seluruh Indonesia.
Sementara itu, kota dengan daya saing paling tinggi di Sumatra adalah Medan (EV-DCI = 50,3). Hal ini menujukkan meskipun memiliki infrastruktur yang kuat dan pasokan talenta yang memadai, Medan mencatatkan skkor yang rendah dalam hal adopsi digital. Sementara di wilayah bagian timur Indonesia, Makassar adalah kota dengan daya saing paling tinggi (EVDCI = 46,8). Namun, skor penetrasi layanan finansial digital dan tingkat adopsi UMKM atas layanan digital sangat rendah.
“Ini menujukkan bahwa daerah-daerah di Indonesia belum menoptimalkan sumber daya manusia, penggunaan dan pengeluaran ICT, perekonomian,dan kewirausahaan. Potensi ini jika dimanfaatkan secara optimal dapat mendorong pertumbuhan ekonomi khususnya sektor digital di level daerah maupun nasional,” ujar Willson.
Dalam EV-DCI 2020 ada dua pilar utama yang mendorong penetrasi tersebut yaitu infrastruktur digital dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang kian meluas. Kedua hal tersebut menjadi sektor yang paling kontributif terhadap meningkatnya daya saing digital Indonesia secara umum.
“Kedua pilar tersebut menjadi potensi dan modal besar bagi Indonesia untuk dapat lebih bersaing secara global di bidang digital,” pungkas Willson.
STEVY WIDIA
Discussion about this post