youngster.id - Pengamat menilai insiden ransomware wannacry adalah keniscayaan. Karena gerak cepat pemerintah tak kunjung dilakukan setelah ada kejadian peretasan operator seluler per 28 April lalu.
Dimitri Mahayana, Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, mengatakan, pihaknya sudah mengingatkan tentang pentingnya business continuity planning setelah peretasan tersebut akhir bulan lalu.
Menurut Dimitri, tak ada perubahan kebijakan dan atau gerak antisipatif dari pihak terkait, sehingga penyerangan melalui ransomware Wannacry menghentak awal pekan ini.
“Sekali lagi saya tegaskan, kita sudah amat sangat mendesak mendirikan Badan Siber Nasional yang dipimpin langsung Presiden karena lintas kementerian atau sekurang-kurangnya Menkopolhukam,” katanya Selasa (16/5/2017) di Bandung,.
Badan ini sejalan dengan peta jalan Indonesia Total Cyber Defense, yang mana sistem ketahanan siber diterjemahkan dalam kejelasan hukum dan regulasi terkait. Hal ini mencakup kejelasan dari sisi orang, proses, dan teknolog yang diatur Badan Siber tersebut.
Rekomendasi kedua, kata dia, adalah implementasi spirit Revolusi Mental di sektor keamanan teknologi informasi. Yakni pembangunan infrastruktur yang intens di era Presiden Jokowi juga harus sejalan dengan pengembangan teknologi secara nilai dan urgensi, sehingga menciptakan kenyamanan bagi semua pihak.
“Revolusi mental adalah sikap bahwa tidak ada lagi yang kalang kabut saat ada serangan karena sudah ada perencanaan back up data dan back up system yang baik sesuai standar global. Sekarang kalang kabut karena spirit supremasi hukum yakni PP PSTE 82 2012 maupu POJK MRTI dilaksanaka tidak konsisten. Dalam kondisi terjelek yakni sebuah sistem utama jatuh, atau database utama tak bisa diakses, itu selalu ada alternatif. Bagi saya, itulah revolusi mental,” sambungnya.
Menurut dia, potensi kehilangan nilai bisnis dan ekonomi pasti ada dengan kejadian ini. Setidaknya, ada pelayanan terhambat dan atau kredibilitas perusahaan menurun tajam di mata klien atau stakeholder terkait.
Sharing Vision belum bisa mengkalkulasi kerugian secara khusus dari kejadian macetnya sistem kemarin akibat Ransomware karena tak memiliki akses khusus ke database korban seperti sejumlah rumah sakit atau instansi pemerintahan.
“Akan tetapi, secara umum, mengacu riset kami, kerugian ekonomi akibat kejahatan siber di Indonesia tahun ini diprediksi bisa mencapai 20 miliar dolar Amerika Serikat atau Rp 266,4 triliun per tahun (kurs Rp 13.321 per dolar AS,red),” sambungnya.
Secara gobal, nilai kerugian ekonomi akibat kejahatan di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tersebut diperkirakan menyentuh angka 445 miliar dolar AS per tahun. Dari sisi bisnis, kerugian finansial secara global akibat pencurian hak intelektual mencapai 160 miliar dolar AS.
“Di Indonesia, prediksi Sharing Vision, kerugian belum semasif negara maju. Diperkirakan nilainya baru 5% hingga 10% dari kerugian tahunan di negara maju, seperti AS, Jerman, Jepang, juga Tiongkok,” kata Dimitri.
Di negara maju seperti AS, Tiongkok, Jepang, dan Jerman, kerugian akibat kejahatan di dunia maya mencapai 200 miliar dolar AS per tahun. Sedangkan kerugian akibat kehilangan data pribadi karena dicuri sekitar 150 miliar dolar AS.
STEVY WIDIA