youngster.id - Tingkat pemahaman (literasi) dan penggunaan (inklusi) keuangan menunjukkan adanya kenaikan.OJK optimistis target indeks inklusi keuangan yang dicanangkan Pemerintah sebesar 75% pada tahun 2019 dapat tercapai.
Melalui survei nasional literasi dan inklusi keuangan (SNKIL) yang diikuti 9.680 responden dari 34 provinsi di 64 kota kabupaten didapatkan bahwa literasi keuangan mencapai 29,66% atau meningkat dari tahun 2013 yang 21,84%. Begitu pun dengan inklusi keuangan sebesar 67,82% dari survei sebelumnya 59,34%.
“Kami targetkan tiap tahun literasi dan inklusi bisa meningkat 2%. Tapi ini naik diatas target semestinya kan 6%. Dalam tiga tahun ini naik menjadi 29,66% dan inklusi 67,82%,” kata Kusumaningtuti S Soetiono Anggota Dewan Komisioner bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), baru-baru ini di Jakarta. ini merupakan hasil survei tiga tahunan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
OJK optimistis target indeks inklusi keuangan yang dicanangkan Pemerintah melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) sebesar 75% pada tahun 2019 dapat tercapai. Asalkan Pemerintah masih konsisten agar dana bansos dibagikan non tunai melalui Laku Pandai. OJK pun secara berkelanjutan menggelar kegiatan edukasi dan inklusi keuangan seperti edukasi komunitas, kuliah umum, layanan iklan masyarakat, bioskop keliling, Si Molek.
Meski tingkat literasi keuangan meningkat, namun dia tak menampik masih ada saja yang terkecoh investasi bodong. “Ada kecenderungan dari masyarakat kita meski dari segi penghasilan dan pendidikannya tinggi tapi ternyata itu tak mempengaruhi pengambilan keputusan, mereka masih percaya hal-hal yang sifatnya tidak pasti dan tak pedulikan soal keabsahan. Masyarakat kita kurang perhatikan resiko. Tapi yang menarik adalah spekulasi dengan uang dikit bisa mendapatkan pendapatan yang setinggi-tingginya seperti prinsip ekonomi,” ujar Titu biasa dia disapa.
Sementara itu, menurut survei bahwa pemahaman resiko atas produk jasa keuangan masih tergolong kecil yakni baru 36,25% diikuti kewajiban 36,38%. Sedangkan soal fitur sudah mencapai 86,57% dan fitur 84,16%.
Soal wilayah Titu mengatakan, tingkat literasi dan inklusi di DKI Jakarta merupakan yang tertinggi. Tingkat literasi di Jakarta capai 40%, disusul Jawa Barat sebesar 38,70%, dan DI Yogyakarta 38,55%. Lalu tingkat inklusi di Jakarta mencapai 78,18%, disusul DI Yogyakarta 76,73%, dan Bali di 76%.
Dari produk dan jasa keuangan tersebut, literasi tertinggi yakni perbankan 28,94%, asuransi 15,76%, dana pensiun 10,91%, lembaga pembiayaan 13,05%, pegadaian 17,82%, dan pasar modal 4,4%. Sementara untuk indeks inklusi per sektoral yakni perbankan 63,63%, asuransi 12,08%, dana pensiun 4,66%, lembaga pembiayaan 11,85%, pegadaian 10,49%, dan pasar modal 1,25%.
“Di sini asuransi menarik dari 17,84% turun menjadi 15,76% karena ada substitusi sejak tahun 2014 mulai beroperasi BPJS Kesehatan. Sementara, pasar modal peningkatannya tertinggi dari 0,11% menjadi 1,25%. Ini menunjukkan betapa inisiatif Yuk Nabung Saham, Go Ritel, pelonggaran know your customer, dan kemudahan pembukaan rekening nasabah kerja sama dengan Dukcapil yang hanya beberapa menit, ini semua yang mendorong tinggi inklusinya,” ujarnya.
Di sisi lain, OJK untuk pertama kalinya mengukur tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah dengan hasil masing masing 8,11% dan 11,06%. Di mana, indeks inklusi keuangan syariah tertinggi di Aceh yakni mencapai 41,45%. Dengan indeks literasi keuangan syariahnya 21,09%. Sedangkan indeks literasi terendah di Nusa Tenggara Timur yakni 0%. Meski begitu, tingkat inklusi keuangan syariahnya mencapai 4,82%.
“Secara sektoral, indeks literasi keuangan syariah tertinggi masih di perbankan dengan 6,63%. Sedangkan inklusi keuangan syariah perbankan mencapai 9,61%,” sebut dia.
STEVY WIDIA
Discussion about this post