youngster.id - Sistem pangan saat ini, mulai dari cara pembuatan, pengolahan, pengangkutan, distribusi ke konsumen, hingga pengelolaan sampah, menjadi perhatian publik karena dianggap merusak lingkungan. Untuk itu, mengubah cara dan apa yang kita makan dinilai penting untuk mengatasi masalah perubahan iklim.
Salah satu cara untuk mengatasinya adalah melalui pangan yang ditanam secara lokal sehingga bisa dikonsumsi dan menghasilkan produksi pangan yang bertanggung jawab. Hal itu dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan yang ada di rumah atau sekitar lingkungan kita (urban farming).
Kebun Belakang salah satu komunitas pertanian perkotaan di Bandung yang dikelola oleh Misbah Dwiyanto dan Ivana sejak 2014 melakukan penanaman, pengolahan dan mendistribusikan sayuran, bahan makanan atau hasil ternak dari kebun mereka sendiri dan juga dari jejaring petani lokal di sekitar wilayah mereka.
Semua orang menurut Misbah bisa memulainya, “Sebenarnya ini sangat fleksibel dan bisa dilakukan oleh setiap orang sesuai dengan kemampuan kita, misalkan denga menanam yang kita butuhkan dan bisa langsung mendapatkan manfaatnya,” katanya pada Webinar “Ketahanan Iklim melalui Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan”, Minggu (1/11/2020).
Kedutaan Besar Swedia menginisiasi sesi ini dalam rangkaian Pekan Diplomasi Iklim. Swedia sendiri dikenal memiliki pertanian perkotaan yang lebih maju dengan memanfaatkan teknologi artificial intelegence, SweGreen sebuah perusahaan teknologi pertanian yang berbasis di Swedia mengembangkan sistem pertanian vertikal di perkotaan yang memanfaatkan gedung bertingkat.
“Kami menggabungkan ilmu komputer modern, teknologi dan pengetahuan pertanian, untuk secara efisien menumbuhkan sayuran hijau kualitas terbaik dan paling ramah lingkungan di pasar dan 100 persen tanpa limbah, hasilnya bisa dinikmati masyarakat lokal di sana,” kata Sepehr Mousavi, Chief Innovation Officer dan Founding Partner SweGreen.
Vanessa Letizia, Direktur Eksekutif Greeneration Foundation menyebutkan sistem pertanian perkotaan bisa menjadi solusi menjawab permasalahan isu perubahan iklim utamanya dalam mengubah sistem pangan nasional untuk mengatasi susut dan limbah pangan (food loss & food waste).
Sementara itu Duta Besar Swedia untuk Indonesia H. E. Marina Berg dalam sambutannya mengatakan di tengah perubahan iklim yang terus berlangsung ke depan paradigma pemanfaatan sumber daya alam mesti diubah. Ekonomi sirkular yang mengedepankan menjaga sumber daya dapat dipakai selama mungkin harus dipercepat. “Jadi sumber daya harus digunakan lebih dari satu kali dan tidak boleh dibuang begitu saja,” katanya.
Swedia sebagai negara yang memiliki reputasi sebagai pelopor lingkungan hidup saat ini terus melakukan upaya mempercepat transisi ke ekonomi sirkular. “Penerapan ekonomi sirkular ini lebih cerdas dan lebih murah. Jauh lebih baik bagi lingkungan, juga memungkinkan kita menciptakan peluang lapangan kerja baru dan bisnis yang berkelanjutan,” ujarnya.
STEVY WIDIA