youngster.id - Pengelolaan sampah besar atau bulky waste di dunia belum dilakukan secara optimal oleh banyak negara. Sampah besar seperti sampah furnitur masih dibuang begitu saja ke Tempat Penampungan Akhir atau landfill tanpa didaur ulang terlebih dahulu. Padahal persentase jumlahnya cukup tinggi dan mendominasi total sampah besar.
Di Indonesia sendiri, meski furnitur menjadi salah satu penyumbang nilai ekspor yang besar hingga mencapai Rp28 Triliun per tahun, namun pengelolaan sampahnya masih belum dikelola dengan baik. Hal ini terbukti dari minimnya data dan informasi mengenai pengelolaan sampah furnitur, begitu juga dengan kebijakan khusus yang mengatur hal ini.
Sampah berukuran besar, dalam hal ini adalah furnitur, dikategorikan sebagai sampah spesifik yang mengandung B3 atau non-B3 dan karena sifat, ukuran, dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus. Sampah yang tidak timbul secara periodik ini tidak bisa digabungkan ke dalam sistem pengumpulan sampah rumah tangga biasa sehingga perlu ditangani secara khusus oleh petugas tertentu agar tidak mempersulit pengelolaan sampah umum. Benda-benda yang termasuk dalam sampah furnitur besar diantaranya adalah tempat tidur, rak buku, kabinet, troli, sofa, sepeda, dan masih banyak lagi.
“Dari hasil riset kami di lima DLH di Jabodetabek, kami menemukan baru ada satu daerah saja yakni DKI Jakarta yang merasa memiliki urgensi untuk menyediakan kebijakan khusus pengelolaan sampah berukuran besar (khususnya furnitur) dan saat ini sedang dalam proses drafting. Keempat kota lainnya merasa belum perlu membuat peraturan karena belum banyak ditemukan sampah furniture menimbulkan masalah di wilayah mereka,” ungkap Aprilia Harera, Solid Waste Management Consultant Waste4Change yang menjadi Project Leader dari riset ini.
Salah satu kota di Indonesia yang sudah secara gencar mengatur pengelolaan sampah besar furnitur secara khusus adalah Kota Bandung. Melalui Program Penjemputan Sampah Besar, UPTD Pengelolaan Sampah Kota Bandung berupaya membantu masyarakat yang kesulitan dalam membuang sampah besar furnitur dan mencegah mereka membuang sampah besar di sembarang tempat. Program ini hanya menjemput sampah besar dari rumah tangga dengan maksimum 2 unit barang non-B3 secara gratis untuk nantinya dijadwalkan penjemputan pada hari Selasa dan Kamis. Untuk sektor non-rumah tangga akan dikenakan biaya sesuai aturan retribusi Perwali Nomor 91 Tahun 2021.
“Program ini awalnya digagas untuk menghindari sampah besar masuk ke sungai, tapi sekarang kami juga berfokus agar sampah besar tidak menumpuk berserakan di pinggir jalan. Kami menerima segala jenis sampah besar, biasanya yang paling sering adalah sampah furniture dan sampah elektronik dimana nantinya barang-barang tersebut akan dipilah dulu untuk dipisahkan antara barang yang masih layak guna dan bisa diperbaiki dengan barang yang memang sudah rusak dan jadi sampah. Layanan ini beruntungnya mendapat respon yang baik dari masyarakat Bandung dan mereka merasa sangat terbantu,” jelas Septiadi Pratama, Kasubag TU UPT Pengelolaan Sampah Kota Bandung.
Tidak hanya penanganan oleh pemerintah, beberapa pihak sektor bisnis salah satunya industri ritel furnitur juga berupaya mengelola sampah produk mereka secara bertanggung jawab. Misalnya, IKEA Indonesia, yang berinisiatif untuk melakukan kerja sama pengelolaan sampah furniture bersama Waste4Change melalui metode Reduce Waste to Landfill.
Setiap barang dengan kerusakan akan melewati proses quality check untuk dapat dinilai tingkat kerusakannya dan ditentukan antara reparasi produk atau disimpan ke gudang Center Fulfillment Unit (CFU) untuk nantinya dikirim dan dikelola oleh Waste4Change. Selain itu, IKEA juga menawarkan sistem potongan harga untuk produk furniture yang mengalami kerusakan kecil, dengan kisaran potongan adalah 15-75% dari harga normal. Dengan begitu, tidak ada barang mengendap yang tidak laku terjual di IKEA.
“Sebagai Green Company, IKEA sangat memaksimalkan pemulihan sisa produk dan sebisa mungkin mengharapkan penanganan yang dilakukan oleh mitra pengelolaan sampah yang bekerja sama dengan kami berjalan sesuai dengan Zero Waste to Landfill. Artinya produk-produk tersebut bisa dimanfaatkan menjadi produk baru lainnya atau menjadi Alternative Raw Material (AFR), sehingga tidak ada produk IKEA yang berakhir di TPA,” tukas Erie Haryanto, Procurement Project Specialist IKEA Indonesia.
Dari riset ini, Waste4Change menawarkan beberapa solusi agar pengelolaan sampah furnitur di Indonesia dapat berjalan secara berkesinambungan bersama pihak lainnya dengan didukung data-data yang jelas dan transparan. Solusi pertama adalah dengan lebih mengidentifikasi aktor-aktor terkait yang melakukan pengelolaan sampah sampah furnitur. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan dapat menggandeng beberapa pemain utama dalam rantai nilai sampah furnitur untuk membantu pengelolaan sampah furniture dan mengurangi sampah besar tersebut berakhir di TPA Selanjutnya juga melihat potensi dan tantangan dalam mengelola sampah furniture di Indonesia agar dapat dicari solusi bersama menangani hal ini.
“Keterlibatan pemerintah daerah dalam penyediaan regulasi terkait sampah furniture serta kontribusi dari multipihak untuk turut mengarahkan sampah furniture bekasnya ke tempat yang seharusnya dapat membantu mewujudkan pengelolaan sampah furniture yang lebih baik. Diharapkan dengan adanya riset ini akan ada pengembangan kajian-kajian lainnya sehingga lebih memperdalam data-data yang ada khususnya terkait sampah berukuran besar atau furniture,” tutup Aprilia.
HENNI SOELAEMAN
Discussion about this post