Asaelia Aleeza : Bangun Kesadaran Akan Kesehatan Mental di Masyarakat

Asaelia Aleeza, Co-founder Ubah Stigma (Foto: Dok. Pribadi)

youngster.id - Pada hakekatnya, kesehatan adalah suatu kondisi sehat, baik secara fisik, mental/jiwa serta sosial, yang memungkinkan setiap orang dapat hidup secara produktif. Namun yang jarang diperhatikan adalah kesehatan mental. Padahal ini merupakan salah satu aspek kesehatan yang sangat mempengaruhi kesehatan secara umum.

Data WHO menyebut, depresi menduduki peringkat ke-2 beban global akibat penyakit pada tahun 2020. Menariknya, masalah kesehatan jiwa banyak terjadi pada usia produktif. Bahkan, sejak usia remaja, masa kehamilan dan pasca persalinan yang dapat mempengaruhi pola asuh serta tumbuh kembang anak.

Padahal masalah kesehatan jiwa tidak saja berdampak terhadap individu, namun juga menyebabkan dampak sosio-ekonomi. Jika tidak ditanggulangi, dapat menimbulkan masalah sosial di masyarakat dan dapat menurunkan produktivitas kerja masyarakat. Ini semakin diperburuk dengan cara masyarakat dalam memandang penyakit mental dan aksesibilitas untuk layanan kesehatan mental.

Prihatin atas kondisi itu mendorong Asaelia Aleeza dan Emily Jasmine mendirikan “Ubah Stigma”. Ini adalah organisasi non-profit yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan mental dan untuk melawan stigma terhadap isu kejiwaan di Indonesia.

“Kami menyadari bahwa penyakit mental masih dianggap tabu dan memalukan di Indonesia, yang menghambat orang Indonesia untuk mendapatkan bantuan kesehatan mental yang mereka butuhkan. Dari sana, kami bertekad untuk melakukan sesuatu,” kata Asaelia, Co-founder Ubah Stigma saat dihubungi youngster.id belum lama ini.

Dijelaskan lajang yang akrab disapa Asa ini, Ubah Stigma ingin agar masyarakat Indonesia mengakui kesehatan mental sebagai satu kesatuan dari kesejahteraan masyarakat. “Misi kami adalah menyelenggarakan program-program edukatif dan informatif seputar kesehatan mental. Mendukung masyarakat untuk berani mengambil sikap dalam menjaga kesehatan mental dirinya dan orang lain. Menjembatani penyedia akses pelayanan kesehatan mental dan masyarakat dan menormalkan kesehatan mental sebagai topik pembicaraan sehari-hari,” jelas Asa.

Sejak didirikan pada Februari 2018, Ubah Stigma gencar menyelenggarakan berbagai acara dan kampanye baik secara offline dan online dengan menggunakan platform media sosial seperti Instagram, Tiktok, Podcast dan Website.

 

Masalah Tabu

Asa mengungkapkan, ketertarikan mereka akan masalah mental berangkat dari latar belakang pendidikan yang mereka tempuh di bidang psikologi. Sebelum berkuliah, Asa dan Emiy teman satu sekolah. Kemudian mereka berkuliah di jurusan psikologi, tetapi berbada lokasi. Asa tinggal di Inggris, sedangkan Emily di Kanada.

Meski berbeda lokasi tetapi minat yang sama ini kembali mempertemukan mereka, yang membawa pada percakapan layanan apa saja yang ditawarkan untuk orang-orang dengan gangguan mental di Indonesia?

Diskusi tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa di Indonesia, layanan untuk orang yang menderita gangguan mental masih sangat minim. Ini tentu dibandingkan dengan tempat dimana mereka tinggal yakni di Inggris dan Kanada, yang sudah menyediakan suicide hotline atau night hotline agar dapat membantu orang-orang yang memiliki kondisi mental yang tidak sehat.

Ternyata karena ada stigma di masyarakat, dimana penderita gangguan mental kerap kali dianggap “gila” . Selain itu, ada rasa tabu untuk membahas penyakit ini di masyarakat.  Akibatnya, penderitanya tidak dapat menemukan perawatan yang tepat. Padahal di lingkungan masyarakat rawan menderita gangguan mental, seperti kecemasan, depresi. Terutama pada generasi milenial yang mudah sekali merasa tertekan karena kompetisi dalam lingkungan sosial mereka yang terus meningkat.

Melalui pengamatan tersebut, mereka memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi, yang diberi nama Ubah Stigma. Melaui organisasi ini mereka berharap dapat membuat Indonesia menjadi ramah disabilitas mental. “Kami memiliki semangat yang sama untuk mengakhiri stigma terhadap penyakit mental,” ujarnya.

Langkah Asa dan Emely ini mendapat dukungan dari rekan-rekan mereka. Menurut Asa, ada 15 anggota Ubah Stigma yang adalah mahasiswa Indonesia yang juga menempuh perguruan tinggi di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, Inggris, dan juga Indonesia. Mereka juga datang dari  berbagai jurusan seperti, Bisnis, Matematika, Komunikasi, Akutansi, dan lainnya.

Kegiatan pertama mereka adalah pengumpulan dana amal bertajuk ”Shop for A Couse” yang hasilnya disumbangkan kepada Yayasan Hafara–yang membantu orang-orang yang menderita penyakit mental di Indonesia.

Selanjutnya, Ubah Stigma aktif menyelenggarakan program-program edukatif dan informatif seputar kesehatan mental untuk mendukung masyarakat untuk berani mengambil sikap dalam menjaga kesehatan mental dirinya dan orang lain. Termasuk menjembatani penyedia akses pelayanan kesehatan mental dan masyarakat.

“Karena salah satu misi Ubah Stigma adalah untuk menjembatani antara masyarakat dan layanan kesehatan mental, kami bekerjasama dengan sejumlah psikolog klinis dan platform layanan kesehatan mental untuk mempermudah akses bagi masyarakat. Selain itu, kami juga bekerjasama dengan komunitas-komunitas lain untuk memperluas dampak sosial kami. Salah satunya dalam menyalurkan donasi kepada komunitas orang dengan gangguan jiwa (ODGJ),” jelas Asa.

 

Merangkul Audiens

Asa bersyukur kini kepercayaan masyarakat terhadap Ubah Stigma terus menguat. Hal itu terlihat dari semakin banyak masyarakat yang terlibat dalam kegiatan Ubah Stigma di media sosial.

Menurut Asa, hal ini sesuai dengan tujuan Ubah Stigma untuk menjadikan kesehatan mental sebagai topik yang tidak lagi tabu untuk dibicarakan sehari-hari. “Harapan kami masyarakat dapat memandang kesehatan mental seperti mereka memandang kesehatan fisik. Dengan itu, penyintas isu kesehatan mental tidak lagi merasa malu atau takut untuk berbicara dan mengatasi kondisi mereka. Ubah Stigma ingin mendorong Indonesia untuk lebih memperdulikan dan menghargai kesehatan mental,” tutur perempuan peraih Master Science dari Clinical Mental Health Sciences.

Asa mengakui, dengan platform ini mereka belajar menggali permasalahan secara spesifik. “Kami mulai melihat bahwa banyak sekali orang merasa terhubung dan terbantu oleh organisasi kami; dan kami terus menyesuaikan konten kami berdasarkan apa yang dibutuhkan audiens kami,” ungkapnya.

Menurut Asa, Ubah Stigma juga sangat menekankan rasa kebersamaan dengan pengikut Ubah Stigma selayaknya suatu komunitas. Tak heran jika cara yang dilakukan selama ini tentu menjadi pembeda dan menjadi keunggulan Ubah Stigma dari platform sejenisnya.

“Kami aktif mengadakan kegiatan interaktif dengan para followers Ubah Stigma yang kini telah mencapai lebih dari 10,000 orang. Kami juga menggelar kampanye Let’s Talk dimana teman-teman Ubah Stigma dapat mengirimkan video mereka yang membicarakan soal kisah kehidupan mereka untuk ditampilkan di channel kami, serta dalam acara Senigma dimana Ubah Stigma juga mengajak para followers untuk ikut serta dalam meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan mental melalui seni,” jelasnya.

Bagi Asa, Ubah Stigma tak hanya organisasi yang memberikan konten psikoedukasi, namun juga bersifat sebagai komunitas sosial untuk menciptakan lingkungan yang positif kepada masyarakat luas.

Lulusan Psychology, University College London ini mengklaim, Ubah Stigma telah banyak membantu masyarakat dalam menyadari kesehatan mental. Dengan begitu, hadirnya platform ini dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat, khususnya kalangan milenial.

“Kebanyakan dari mereka telah mengutarakan bagaimana Ubah Stigma telah membantu dengan kesehatan mental mereka, bahwa mereka tidak sendiri dalam menghadapi masalahnya. Salah satu hal yang selalu kami sampaikan melalui Ubah Stigma adalah apapun masalah yang sedang kamu alami, itu pasti ada solusinya. Oleh karena itu janganlah berhenti berjuang,” ucap Asa.

 

Berkat kegigihan Asaelia Aleeza dan Emily Jasmine, kini kepercayaan masyarakat terhadap Ubah Stigma terus menguat. Hal itu terlihat dari semakin banyak masyarakat yang terlibat dalam kegiatan Ubah Stigma di media sosial (Foto: Dok. Ubah Stigma)

 

Merangkul Gen Z

Asa mengatakan Ubah Stigma melakukan pendekatan sosial dengan bantuan teknologi agar bisa lebih dikenal masyarakat khususnya untuk kalangan milenial.

“Kami berupaya untuk meraih kalangan milenial dan Gen Z melalui penggunaan teknologi dan platform yang sering digunakan oleh milenial seperti Instagram, Tik Tok, Podcast, dan monthly news subscription. Anak-anak muda zaman sekarang tertarik dengan konten-konten yang relatable, menggunakan banyak visual yang unik, dan mudah dicerna. Kami selalu mencoba untuk beradaptasi kepada peminatan masyarakat,” kata Asa.

Masa pandemi Covid-19 juga membawa tantangan baru bagi Ubah Stigma. Tetapi sekaligus menjadi solusi untuk meraih audiens lebih luas. “Selama masa pandemi, kegiatan Ubah Stigma dilakukan secara virtual dan bisa menjangkau banyak kota,” kata perempuan kelahiran Jakarta, 21 November 1997.

Saat ini Ubah Stigma telah memiliki lebih dari 10.000 followers di Instagram, 1.000 lebih  pendengar podcast berjudul “Utarakan Saja” dan lebih dari 10.000 pengunjung website.

Hingga kini tercatat beberapa program yang diciptakan Ubah Stigma berhasil membantu. Terutama dalam persoalan kesehatan mental yang terjadi di Indonesia, dimana bantuan tersebut diberikan dalam bantuk donasi yang disalurkan kepada yayasan komunitas ODGJ.

“Ubah Stigma tidak menyediakan layanan kesehatan mental, namun kami telah menyalurkan total donasi sejumlah Rp 22 juta kepada yayasan komunitas ODGJ,” ucap Asa.

Di sisi lain, Asa mengakui tantangan lain bagi Ubah Stigma adalah untuk menjaga kerja sama tim. Apalagi  tim Ubah Stigma selama ini bekerja secara jarak jauh dengan semua anggota. “Tim kami terdiri dari orang-orang yang bersemangat dan pekerja keras yang berasal dari latar belakang yang berbeda, pekerjaan dan tinggal di berbagai kota bahkan negara. Banyak dari kita memiliki pekerjaan lain selain Ubah Stigma, dan beberapa dari kita masih di sekolah atau universitas. Kadang-kadang sulit untuk tidak menyatukan semua orang, hanya berkomunikasi melalui layar, dan menyulap berbagai tanggung jawab,” ungkapnya.

Dalam hal ini, seluruh anggota Ubah Stigma juga bekerja secara sukarela. “Pada akhirnya, kami menemukan cara untuk menemukan jalan keluarnya karena tim kami di Ubah Stigma benar-benar memiliki semangat yang sama terhadap mendorong kesadaran kesehatan mental di Indonesia,” katanya lagi.

Dia juga menegaskan, karena Ubah Stigma berbentuk organisasi non-profit dan bukan perusahaan, mereka tidak berfokus kepada menghasilkan profit. “Untuk memastikan kelangsungan kegiatan dan biaya operasional, kami secara aktif mencari donatur dan sponsor serta menjual merchandise resmi Ubah Stigma,” ungkap Asa.

Beberapa rencana pengembangan tengah disiapkan tim Ubah Stigma. Salah satunya gerakan sosial bertajuk “Let’s Be Supportive” yang bertujuan untuk  membangun komunitas yang saling mendukung, sekaligus menghilangkan stigma seputar kesehatan mental.

Baru-baru ini dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional Ubah Stigma hadir di webinar yang diselenggarakan oleh Halodoc bertajuk ‘#HaloTalks: Gangguan Mental pada Anak, Musuh yang Tak Terlihat’.

Selain itu, Ubah Stigma sedang menjalankan gerakan sosial bertajuk “Let’s Be Supportive” yang bertujuan untuk  membangun komunitas yang saling mendukung, sekaligus menghilangkan stigma seputar kesehatan mental. Salah satunya lewat webinar “Let’s Talk Mental Health” dengan tema “Bertanya untuk Berempati” yang akan dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus mendatang.

“Melalui gerakan ‘Let’s Be Supportive’ ini, kami berupaya untuk menggalang dana kepada Yayasan ODGJ dan mendukung komunitas yang paling terdampak dari stigma kesehatan mental, yaitu komunitas ODGJ,” papar Asa.

Dia berharap nantinya Ubah Stigma dapat bekerja sama dengan lebih banyak biro psikologi lagi, memberikan konten dan kampanye yang menjawab kebutuhan masyarakat dan berinovasi dalam memberikan psikoedukasi yang lebih baik dan mudah diakses oleh masyarakat Indonesia.

“Kami harap Ubah Stigma dapat menjadi organisasi non-profit yang berkelanjutan dan menerima dukungan dari berbagai institusi untuk mengedepankan visi kami dalam melawan stigma dan persepsi negatif terhadap isu kesehatan mental di Indonesia. Kami tidak akan bisa mewujudkan visi kami jika bergerak sendiri, dan membutuhkan gotong royong sesama masyarakat Indonesia,” pungkasnya.

 

========================

Asaelia Aleeza

======================

 

FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia

Exit mobile version