youngster.id - Belakangan ini batik hadir hampir di semua lini fesyen. Di sisi lain, limbah batik dapat diolah menjadi produk yang menarik sekaligus sarana pemberdayaan kaum perempuan.
Sudah sejak dulu batik menjadi produk kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan merupakan bagian dari budaya Indonesia. Bahkan di tanah Jawa, batik telah dikenal sejak zaman Majapahit. Dan perempuan-perempuan Jawa pada masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian.
Kini, batik kembali popular. Oleh Unesco telah ditetapkan sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan non-bendawi. Namun ternyata, kegiatan batik memiliki efek samping yang cukup mengganggu. Di sentra batik Pekalongan misalnya, ada 9.000 meter kain perca dari batik yang terbuang. Dan itu membuat masalah lingkungan.
Persoalan inilah yang dilihat oleh Novi Anasthasia Purba. Gadis berambut panjang ini memutuskan untuk mengolah limbah perca batik itu menjadi produk fesyen unik bernilai ekonomis. Tak sekadar orientasi profit. Lewat brand Kama Batik, Novi pun memberdayakan para wanita di desa Lembong Pekalongan sehingga bisa memiliki ketrampilan, kreatif dan punya penghasilan mandiri.
“Dengan Kama Batik, saya menunjukkan kecintaan saya kepada budaya dan lingkungan. Sekaligus memberdayakan kaum wanita agar dapat mandiri dan kreatif,” ungkap Novi kepada Youngsters.id.
Usaha yang didirikan pada November 2015 ini memproduksi kerajinan tangan dari gelang, headbane, dompet, gantungan kunci hingga baju. Produk ini dipasarkan secara offline mulai dari Pekalongan, Semarang, Yogyakarta hingga Medan. Juga, lewat pemasaran online.
Produk Kama Batik ini istimewa karena tidak ada produk yang persis sama. Selain itu ada jaminan uang kembali 100% jika pesanan tidak sesuai. Tak mengherankan, Kama Batik cepat direspon pasar. Bahkan, dalam waktu singkat, menurut Novi, Kama Batik sudah meraih omzet sekitar Rp 200 juta.
Hal ini membuat Novi makin yakin jadi wirausahawan. “Saya sempat bekerja beberapa bulan di salah satu perusahaan perbankan. Cuma kemudian saya merasa kayaknya lebih enak kerjasama ibu-ibu. Kami dekat, kekeluargaan dan rasanya lebih bermanfaat daripada bekerja di perusahaan. Saya sudah sayang sama ibu-ibunya dan merasa bertanggung jawab. Kalau saya ambil pekerjaan lain, berarti tidak menuntaskan tanggung jawab saya pada mereka. Saya ingin membesarkan usaha ini bersama mereka, sampai suatu hari orang dengan batik akan ingat sama Kama Batik,” ucap Novi dengan penuh perasaan.
Banyak Belajar
Kecintaan Novi pada batik bermula dari ajakan sahabatnya Tiara ke kampung halamannya, Pekalongan. Ternyata keindahan Pekalongan, terutama kreatifitas batiknya langsung memikat hati gadis kelahiran Medan, 24 November 1993.
Novi pun memutuskan untuk menjual batik pada tahun 2011. Namun kesibukannya sebagai mahasiswa di Administrasi Bisnis, FISIP Universitas Diponegoro, membuat kegiatan berdagang batik lewat online ini pasang surut. “Saya awalnya jadi reseller batik, yakni ambil kain, aku buat baju terus dijual. Tiga tahun pasang surut dan mood-moodan karena masih kuliah. Usaha serius baru di Kama batik,” ungkapnya.
Nama merek Kama Batik, menurut Novi, diambil dari Bahasa Sanskrit yang artinya cinta. “Awalnya nama itu iseng saja. Tapi akhinya malah jadi semacam filosofis kalau produk ini wujud cinta anak-anak muda terhadap budaya, lingkungan, pemberdayaan perempuan dan kemandirian,” katanya.
Ide untuk mengolah limbah kain perca didapat Novi dari melihat keadaan di sekitar Pekalongan. Dia mendapati bahwa ada ribuan meter limbah batik padat berupa kain perca yang dibuang di Pekalongan setiap harinya. Limbah ini tentunya dapat membahayakan lingkungan. Dan ternyata jika diakumulasikan, maka Pekalongan membuang sekitar US$ 18.000 setiap hari.
Di sisi lain, Novi mendapati berdasar data BPS ada 40% perempuan di Pekalongan yang tidak bekerja. “Jadi saya terpikir bagaimana caranya mengelola limbah batik ini menjadi manfaat dan membuka lapangan pekerjaan bagi para perempuan di sana,” ujar Novi.
Ide itu pun direalisasikan pada November 2015. Bermodalkan Rp 100 ribu, Novi membeli kain lalu dibuatkan baju. Kain yang tersisa dia buatkan aksesori. Dari hasil penjualan itu dia mulai menggerakkan para ibu-ibu di desa Lembong Pekalongan untuk belajar membuat produk aksesori dari kain perca. “Setelah lihat hasilnya, siapa sangka limbah bisa jadi cantik,” ujar Novi.
Lewat membangun usaha ini Novi mengaku banyak belajar. Mulai dari belajar jahit, gambar desain, hingga belajar berbagai jenis dan nama kain. Dia juga belajar bagaimana memberi pelatihan sehingga produk yang dihasilkan memiliki kualitas sesuai harapan.
“Saya ini sociocreatifpreneur. Dan jadi sociopreneur itu sulit. Enggak cuma pikir dampak buat kita saja, tapi dampak buat orang lain juga. Bagaimana kita mengukur sejauh mana mereka dapat benefit untuk diri sendiri dan orang lain. Kalau kata mentor saya, otak bisnis, hati sosial supaya sinergi,” ungkapnya.
Personal Story
Berbeda dengan produk batik lainnya, di Kama Batik pembeli akan mendapatkan catatan khusus dari sang pembuat. “Setiap produk yang kami buat adalah benar-benar hasil karya dari para ibu. Jadi pembeli akan mendapatkan surat catatan terima kasih dari si ibu yang membuat. Isinya perasaaan si ibu saat membuat produk tersebut,” jelas Novi.
Misalnya, ada baju dengan catatan dari si ibu “saya tuh buat baju ini waktu anak saya baru masuk SD.” Bahkan, ada produk juga yang di dalam suratnya disisipin foto anaknya. “Jadi tidak hanya jualan produk, tapi jualan story behind the products. Benar-benar personal story,” ujar Novi.
Novi juga menerapkan sistem profit sharing dengan para pengrajin. Ternyata upaya ini tidak saja membantu memberikan penghasilan bagi para ibu-ibu di desa, juga profitable. Novi mengaku bisa mendapatkan laba sekitar Rp 6 juta setiap bulan. Bahkan, dalam waktu 7 bulan dia sudah bisa balik modal. “Saya sih yakin, rezekinya Kama itu rezekinya mereka. Mereka kan sering berdoa buat Kama,” ujarnya merendah.
Menurut pemenang DEFEST National Business Plan Competition 2015 ini hambatan terbesar dari usahanya adalah dari sumber daya manusia. Kurangnya pendidikan, ketrampilan yang terbatas, serta movitasi yang rendah membuat produksi berjalan lambat. Padahal permintaan terus berdatangan, bahkan dalam sebulan ada sekitar 200 pemesanan.
“Sebenarnya, sempat kepikiran kenapa kain percanya nggak kita bawa aja ke Semarang, kan pasarnya di sana banyak. Cuma setelah dipikir lagi kayaknya ibu-ibu di Pekalongan lebih membutuhkan pekerjaan ini dibanding Semarang,” jelasnya.
Untuk itu Novi terus melakukan pelatihan dan memotivasi para ibu yang terlibat dengan Kama Batik. Saat ini Novi mengaku baru berhasil melatih 4 orang ibu. “Saya sangat menikmati proses yang saya jalani ini. Saya tahu Kama Batik adalah mimpi yang panjang. Tetapi saya yakin, saya mampu, dikuatkan, untuk berjuang. Saya juga tahu kalau kemampuan saya hari ini belum cukup untuk mencapai tujuan yang saya tetapkan. Yah tetapi itu semua bukan masalah. Saya menikmatinya,” ungkapnya penuh harap.
Dia berharap dengan sistem ketok tular secara berantai ketrampilan dapat ditularkan kepada banyak wanita di desa. “Saat ini kami belum punya kemampuan untuk mengajar orang banyak, jadi satu per satu. Mereka yang sudah bisa mengajarkan ke orang lain. Semoga setahun lagi bakal lebih matang lagi,” ucap Novi.
Dengan begitu Novi berharap memberdayakan seluruh perempuan di desa. Bahkan, dalam lima tahun ke depan program ini sudah menghasilkan desa yang mandiri. “Saya ingin suatu saat meski sudah tidak di situ lagi mereka bisa jadi desa yang mandiri, bisa menjalankan bisnis sendiri. Sedangkan aku cari desa lain, mungkin bukan batik tapi produk lain,” pungkasnya.
==========================================
Novi Anathasia Purba
Tempat tanggal lahir : Medan, 24 November 1993
Pendidikan : SDN 068008 Medan; SMPN 7 Medan; SMAN 5 Medan; Administrasi Bisnis, FISIP Universitas Diponegoro
Perusahaan : KAMA Batik
Modal Awal : Rp 100 ribu
Laba : Rp 6 juta untuk pribadi/bulan
Omset : Rp 200 juta dari November 2015 sampai saat ini
BEP : 7 bulan sejak November 2015
Prestasi :
2016 Shortlisted of Young Social Entrepreneur 2016 (Singapore, Singapore)
2016 Runner Up of Telco Challenge “LocaXales” (Semarang, Indonesia)
2015 Winner of DEFEST National Business Plan Competition (Semarang, Indonesia)
2015 Winner of Honda WOW Marketing Competition (Semarang, Indonesia)
2015 Winner of Pecha Kucha Historical Leader Persentation (Yogyakarta, Indonesia)
2012 – 2015 Government Schoolarship (PPA) (Semarang, Indonesia)
2015 Marga Jaya Schoolarship (Jakarta, Indonesia)
2015 Finalist of Indonesia Dream Photography Contest (Jakarta, Indonesia)
2014 Winner of Entrepreneur Student Program (Semarang, Indonesia)
2014 Runner Up of Wonderful Indonesia “NTT, Where The Heaven Happens” (Jakarta, Indonesia)
2014 XL Future Leaders Batch 3 Schoolarship
2014 Top 10 BNI WOW Marketing Competition (Semarang, Indonesia)
2012 BTN Schoolarship (Semarang, Indonesia)
=============================================
MARCIA AUDITA
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post