Dick Listijono : Permudah Mobilitas Masyarakat Lewat Layanan Sewa PowerBank

Dick Listijono, Cofounder & CEO Recharge (Foto: Stevy Widia/youngster.id)

youngster.id - Perusahaan riset DataReportal menyebut kalau jumlah perangkat seluler yang terkoneksi di Indonesia mencapai 370,1 juta pada Januari 2022. Angka ini bahkan lebih tinggi dari jumlah penduduk di Indonesia yang diperkirakan ada 277,7 juta pada Januari 2022. Tak heran jika layanan yang mendukung aktivitas dengan perangkat selular ini juga semakin dibutuhkan.

Harus diakui, perangkat selular terutama smartphone telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat modern saat ini. Mulai dari berkomunikasi, navigasi, media sosial, hingga hiburan seperti streaming musik dan film dilakukan melalui perangkat ini. Belum lagi working mobile yang kini menjadi tren selama situasi pandemi Covid-19.

Popularitas smartphone pun tidak hanya tercermin dari jumlah penggunannya, tetapi juga dari frekuensi penggunaannya. Orang Indonesia mayoritas menghabiskan 1-3 jam menggunakan smartphone setiap harinya pada umumnya, tetapi sebagian orang Indonesia pun yang sudah kecanduan dengan smartphone dapat menghabiskan waktu hingga 10 jam dalam satu hari.

Frekuensi penggunaan smartphone yang tinggi ini mendorong orang-orang membutuhkan daya baterai yang lebih besar atau cara isi ulang yang lebih praktis. Bayangkan, ketika sedang beraktivitas di luar rumah kemudian baterai ponsel pintar ini habis, maka semua aktivitas akan terhambat. Salah satu solusi adalah dengan menggunakan powerbank.

Hal ini mendorong Dick Listijono mengembangkan startup ReCharge. Perusahaan ini menyediakan layanan penyewaan power bank berbasis aplikasi pertama di Indonesia.

“Kami melihat potensi dari populasi di Indonesia yang sebagian besar adalah anak muda yang terbiasa beraktivitas dengan teknologi. Hal ini mendorong ReCharge menjadi solusi bagi mereka yang banyak beraktivitas dengan ponsel,” kata Dick saat diwawancarai youngster.id di Jakarta.

Startup ini hadir sejak 2018 dan saat ini telah menghadirkan lebih dari 1.100 ReCharge Station di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) serta telah merambah kota lain, seperti Bandung dan Yogyakarta.

Menurut Dick, kembalinya aktivitas masyarakat beraktivitas membuat ReCharge mempercepat penyebaran di lokasi-lokasi strategis. Untuk itu, Recharge bekerjasama dengan pengelola TransJakarta, MRT Jakarta, dan KRL menghadirkan Recharge Station di 35 Halte TransJakarta, 23 Stasiun KRL line Jakarta Kota – Bogor, dan 13 Stasiun MRT Jakarta.

“Langkah kemitraan terbaru ini untuk memudahkan masyarakat komuter untuk mengakses layanan penyewaan power bank ReCharge. Selain itu dengan semakin luas keberadaan ReCharge Station di area publik maupun transportasi umum juga dapat menjadi kontribusi kecil kami pada sektor pariwisata. Dengan kemudahan mengakses layanan penyewaan power bank, wisatawan tidak perlu lagi khawatir untuk mengabadikan perjalanannya dengan smartphone hanya karena kehabisan daya baterai,” ucap Dick.

 

Ramah Lingkungan

Dick menceritakan ide awal dari Recharge itu adalah dari pengalamannya. Pria kelahiran Jakarta, 34 tahun lalu ini rupanya merasa kesulitan jika harus kehabisan baterai smarphonenya. Karena itu, dia selalu membawa 2 sampai 3 powerbank kemana-mana.

“Saya di rumah punya 2 sampai 5 power bank dan setiap saya pergi itu barus dibawa dan ada isinya. Kadang lupa di-charge, atau ketinggalan. Sampai suatu hari saya kepikiran coba kalau ada power bank yang bisa dipinjam dimana saja dan kembalikan dimana saja. Itu akan jadi solusi yang tepat di saat ini. Dari sinilah lahir Recharge Station,” tutur Dick.

Dia bersama rekannya Irwan Tjahja lalu memutuskan mendirikan Recharge dengan bendera PT Jalan Terus Saja pada 2018. Startup berbasis Internet of Things (IoT) ini punya visi ingin mempermudah mobilitas dan mendukung produktivitas masyarakat yang memang lekat dengan penggunakan ponsel.

“Kami melihat masyarakat Indonesia sudah sangat melekat dengan ponsel dan memiliki kebutuhan untuk tetapi terkoneksi. Daya baterai ponsel menjadi nyawa dalam produktivitas, apalagi di tren work from everywhere saat ini. Oleh karena itu, kami berkomitmen untuk memberikan solusi yang dapat diakses dengan mudah, terjangkau dan fleksibel. Kami mau pas user keluar dari rumah kapan saja, mereka punya akses pengisi daya seperti ReCharge, sehingga aktivitas di hari itu tidak terganggu,” ungkapnya.

Startup ini telah mendapatkan pendanaan seri A dari sejumlah investor termasuk East Ventures. Saat ini menurut Dick, mereka tengah menggalang pendanaan seri B. Aplikasi Recharge ini sudah tersedia di Google Play Store ataupun App Store. Langkah penyewaan juga mudah dengan biaya Rp2.000 untuk satu jam penggunaan.

Dick bahkan menekankan dengan model penyewaan power bank seperti ReCharge lebih environmentally friendly atau ramah lingkungan karena tidak menimbulkan banyak e-waste atau limbah elektronik.

“Kalau tidak ada power bank yang di-charge, volt-nya sama seperti TV, normal. Mesin yang kecil, dalam satu bulan hanya memakan 4kWh. Dibandingkan dengan mencolokkan perangkat di stop kontak terus menerus, itu akan memakan lebih banyak volt. Power consumsion, ini jauh lebih sedikit dan jauh lebih stabil,” ungkapnya.

Selain itu, power bank ReCharge telah dilengkapi dengan teknologi Fast Charging untuk pengisian daya baterai ponsel lebih cepat. Dari segi ukuran, power bank ReCharge berukuran 135 x 76 x 16 mm dan berbobot ringan sehingga cukup ergonomis untuk dibawa oleh pelanggan.

Saat ini Recharge Station sudah hadir di berbagai lokasi lainnya, seperti pusat perbelanjaan banyak Pondok Indah Mall, Pasific Place, fX Sudirman, Mal Kelapa Gading, Kuningan City, Bintari Jaya Xchange, Living World, Mega Bekasi Hypermall, Mall BTM Bogor, serta sejumlah gedung perkantoran, restoran, sekolah, balai pertemuan dan tempat liburan. Bahkan mesin ReCharge Station juga akan tersedia di area Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 ke-17 pada 15-16 November 2022 di Bali.

 

Cofounders Recharge
Dick Listijono dan Irwan Tjahja lalu memutuskan mendirikan Recharge dengan bendera PT Jalan Terus Saja pada 2018. Startup berbasis Internet of Things (IoT) ini punya visi ingin mempermudah mobilitas dan mendukung produktivitas masyarakat yang memang lekat dengan penggunakan ponsel (Foto: Stevy Widia/youngster.id)

 

Tantangan

Pengembangan usaha Recharge, menurut Dick, tidak bebas dari kendala. Tantangan pertama adalah edukasi pasar.

“Tantangan terbesar adalah market education. Awalnya banyak patner kami yang belum percaya pada bisnis ini, dan merasa ini perlu ada. Di sisi lain, banyak user juga yang belum tahu cara kerja mesin ini. Bahkan ada aja orang yang mikir mesin ini bisa charge hape mereka, dan memasukan hape. Jadi kami akhirnya harus improve,” kata Dick.

Kendala lain adalah risiko produk hilang. Pasalnya, ReCharge Station diletakkan di tempat publik tanpa pengawasan, karena semua otomatis dan cashless. Hal ini tentu berisiko seperti charger yang tidak dikembalikan alias dibawa pulang, dan lain sebagainya.

Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, menurut Dick, Recharge menerapkan tiga langkah pencegahan. “Pertama, user harus registrasi dulu sebelum menyewa dengan menggunakan nomor telepon dan e-mail, nah satu akun itu hanya untuk mendapatkan satu powerbank. Kedua, aplikasi Recharge menetapkan ada minimum topup, untuk pemakaian. Jadi kalau tidak dikembalikan, mereka tidak bisa sewa lagi,” jelasnya.

Selain itu powerbank Recharge juga hanya bisa digunakan di mesin Recharge Station.Perangkat ini tidak memiliki kabel untuk menghubungkan ke power outlet, sehingga secara sistem hanya dapat di-charge di mesin ReCharge Station. Jadi jika tidak dikembalikan dan dayanya habis, maka tidak dapat digunakan lagi.

“Di sisi lain kami mengakui ini adalah kekurangan kami yang belum tersedia di banyak lokasi sehingga mungkin pengguna tidak bisa langsung mengembalikan karena terkendala lokasi. Hal itu pernah terjadi ketika user kami membawa produk hingga ke Palembang. Akhirnya kami mengirimkan kurir untuk mengambil produk tersebut,” kisah Dick sambil tersenyum.

Masa Pandemi Covid-19 juga menjadikan bisnis Recharge mengalami penurunan drastis. “Saat pandemi traffic kami turun hingga 97% karena semua orang tidak keluar rumah. Tetapi kami tidak menyerah, karena kami yakin layanan kami akan jauh lebih dibutuhkan sesudah kondisi tersebut,” ucapnya.

Pria yang lama hidup di Singapura dan Australia ini mengatakan, meski belum pulih 100% tetapi bisnis Recharge pulih dengan cepat. Bahkan dalam waktu satu tahun terakhir ada penambahan pengguna hingga 300 ribu, dan 300 patner baru, termasuk dari pengelola moda transportasi.

Dick menargetkan dalam dua tahun kedepan mereka akan menambah 20 ribu mesin, sehingga jangkauan layanan Recharge juga semakin luas. Selain itu mereka tengah menyiapkan model bisnis franchise untuk Recharge Station.

“Bisnis kami memang belum cukup besar, tetapi bisa lebih besar lagi. Untuk saat ini kami ingin membawa layanan ini lebih baik di kota yang sekarang kami layani, supaya dimanapun user kami berada ada layanan recharge,” pungkasnya.

 

======================

Dick Listijono

===================

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version