youngster.id - Bisnis usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) terus bertumbuh setiap hari. Di antara pelaku UMKM, ada yang berkembang tapi banyak juga yang mati. Salah satu penyebab utama bangkrutnya UMKM ada pada pengelolaan keuangan. Kini, dengan teknologi pencatatan keuangan UMKM bisa lebih mudah.
Pandangan bahwa ‘ukuran bisnis saya masih sangat kecil’ sering menjadi alasan mengapa pencatatan keuangan usaha masih diabaikan. Ditambah lagi kesibukan wirausahawan yang masih merangkap beberapa pekerjaan sekaligus. Padahal pembenahan pencatatan keuangan harus dibiasakan sedari awal usaha.
Sebagai pelaku usaha, tentu ingin mendapatkan pemasukan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pencatatan keuangan akan membantu untuk mencapai hal tersebut. Selain itu, pelaku usaha bisa menentukan berbagai keputusan demi masa depan usahanya. Misalnya, menemukan bahwa hasil penjualan produk tidak sesuai target. Padahal para pelanggan yang membeli produk selalu memberi feedback positif. Anda pun memutuskan untuk lebih fokus pada marketing demi mempromosikan produknya.
Bahkan, melalui pencatatan keuangan, pelaku usahanya juga bisa meninjau apakah usahanya perlu berinvestasi alat produksi, menambah karyawan, dan berbagai kebijakan lainnya. Sayangnya, keterbatasan ilmu akutansi juga bisa mempengaruhi kesadaran pelaku usaha akan pentingnya pencatatan keuangan. Bahkan bagi wirausahawan yang berpendidikan tinggi, laporan keuangan yang mengikuti kaidah akutansi kadang masih dianggap terlalu rumit. Akibatnya, pencatatan keuangan kerap diabaikan oleh pelaku usaha.
Kondisi tersebut mendorong Gabriel Frans mendirikan usaha rintisan bernama CrediBook pada Februari 2020 lalu. Startup ini berfokus dalam melakukan pencatatan utang karena praktik ini lumrah terjadi di kalangan UMKM.
“Credibook adalah solusi menyeluruh dalam mengelola berbagai transaksi keuangan. Ini diharapkan dapat mendorong produktivitas UMKM yang memiliki potensi sangat besar,” kata Gabriel kepada youngster.id baru-baru ini.
Saat ini, layanan aplikasi pembukuan digital UMKM ini sudah tersebar di seluruh Indonesia, bahkan lebih dari 50% pengguna berada di kota tier 2 dan 3. Baru-baru ini CrediBook meluncurkan CrediMart, toko grosir online berbasis web untuk membantu pelaku usaha memenuhi kebutuhan stok barang dagangan sehari-hari.
Selain pencatatan keuangan, Gabriel bilang UMKM seperti toko dan warung juga menghadapi hambatan dalam pengadaan stok barang dagang, seperti jauhnya jarak ke pusat grosir, repot membawa barang belanjaan, dan metode pembayaran yang harus tunai. Akibatnya, stok barang dagang di toko atau warung jadi tidak lengkap.
“Ini berpotensi mengurangi penjualan mereka. Karena itu, kami hadirkan CrediMart, toko grosir online agar UMKM bisa belanja stok barang dagang tanpa harus meninggalkan lokasi usaha,” jelas Gabriel.
Hasil Observasi
Gabriel mengungkapkan, ide bisnis CrediBook datang dari keresahan melihat kondisi banyak pelaku UMKM seperti toko dan warung di masyarakat. “Eksistensi mereka banyak, namun pertumbuhannya kurang pesat. Jadi kami coba lihat penghambatnya dimana, dari aspek yang paling mendasar yaitu keuangan,” ungkapnya.
Menurut Gabriel, berdasarkan hasil observasi ke para pelaku seperti toko dan warung dia mendapati ternyata catatan keuangannya belum rapi. Masih pakai kertas atau buku, yang rawan untuk rusak, hilang, time-consuming juga buat hitung rekap harian. Belum lagi kalau ada beberapa utang, jadwal bayarnya juga bisa berantakan. “Catatan keuangan ini fondasi awal bisnis, kalau nggak rapi, mereka lebih susah ambil keputusan bisnis,” ujarnya.
Selain itu, menurut Gabriel, catatan keuangan sangat penting. “Contohnya saja, kalau suatu saat mereka perlu dapat bantuan modal usaha dari institusi keuangan, laporan keuangan kemungkinan besar akan jadi syaratnya. Inilah yang mendorong kami membuat produk serta layanan yang berfokus menyelesaikan masalah nyata yang dihadapi oleh pelaku UMKM,” imbuhnya.
Kondisi ini menjadi titik awal Gabriel mengembangkan CrediBook. “Awalnya kami masih fokus ke pencatatan utang karena praktik ini lumrah terjadi di kalangan UMKM. Waktu itu users cukup happy karena catatan utangnya jadi lebih rapi dan gak khawatir kelupaan lagi. Lalu, seiring berjalannya waktu kami kembangkan lagi fitur-fitur lain yang mereka butuhkan,” ujarnya.
Gabriel menyebut, CrediBook memiliki tiga model bisnis yaitu CrediBook, CrediMart, dan CrediStore. “Aplikasi ini disediakan gratis, karena fokus kami saat ini ada pada tahap penyempurnaan produk. Sehingga kami perlu mengajak sebanyak mungkin pelaku UMKM untuk menggunakannya dan mengetahui apakah kedua aplikasi telah membantu mereka secara signifikan,” katanya.
CrediMart merupakan platform belanja grosir online. Platform ini bekerja dengan mempertemukan toko grosir dengan pemilik warung atau toko. Pemilik warung atau toko dapat belanja grosir secara online di website CrediMart tanpa harus datang ke toko grosir fisik. “Kami juga menyediakan pengantaran barang belanjaan ke lokasi pembeli. Atas layanan yang diberikan, CrediMart mengenakan biaya pelayanan kepada pembeli saat mereka melakukan transaksi. Saat ini, revenue stream kami datang dari CrediMart, yakni dari biaya layanannya,” bebernya.
Bangun Ekosistem
Gabriel mengklaim, berbeda dengan platform serupa, CrediBook tidak hanya melakukan pencatatan, namun juga terkoneksi antarpengguna secara dua arah. Dalam hal ini CrediBook menempatkan platform mereka seperti aplikasi pesan, dengan konsep komunikasi debit-kredit. CrediBook juga mampu melakukan pembayaran tagihan langsung di dalam aplikasi, sehingga mampu mengurangi proses pencatatan dan konfirmasi manual.
“Kami membuat ekosistem di mana pembeli, penjual (termasuk UKM), bahkan distributor dan wholesaler dapat terkoneksi dalam satu platform pencatatan. Strategi monetisasi sekarang adalah melalui pembayaran yang ada di dalam CrediBook. Selain itu, kami juga memberikan akses kepada pengguna untuk bisa mengajukan pinjaman modal untuk memperbesar bisnis mereka,” kata Gabriel.
Aplikasi CrediBook telah dilengkapi fitur yang lebih komprehensif, mulai dari catat transaksi harian, catat modal, pembayaran tagihan atau transaksi keuangan di dalam aplikasi, sampai pengajuan pinjaman modal usaha (CrediLoan). Fitur terbaru adalah CrediMart yaitu platform belanja grosir online dan CrediStore social commerce yang menarget ekosistem lebih luas lagi.
Gabriel menyebut saat ini CrediBook sedang fokus dalam menyelesaikan masalah di segmen grosir. Di mana metode pemasaran yang dilakukan ini bertujuan untuk memperkuat loyalitas pengguna CrediBook itu sendiri.
“Kami ingin bangun bisnis yang profitable. Di CrediBook misalnya, saat ini ranah target users lebih difokuskan ke segmen wholesale (grosir), sebab kami melihat segmen ini lebih sustainable dan long-term. Mereka sudah memiliki bisnis yang cukup settle, jadi lebih loyal dan tidak terlalu volatile. Sehingga dari sini, kami juga memperkuat loyalitas pengguna CrediBook. Tapi tentu kami masih welcome apabila ada pemilik usaha ritel yang ingin bergabung sebagai langkah awal untuk membenahi pencatatan keuangan,” kata dia.
Menurut Gabriel, langkah lain Credibook berkolaborasi dengan toko grosir konvensional yang sudah ada, bukan dengan brand atau principal produk, sehingga itu membantu UMKM grosir mendapatkan tambahan pemasukan, bukan menggantikan peran mereka. “Contohnya, Grosir Damai di Jakarta Barat, salah satu toko grosir rekanan kami, mendapatkan peningkatan omset hingga 50% setiap harinya karena adanya penjualan dari CrediMart,” jelasnya.
Selain itu, CrediMart menyediakan fasilitas distribusi pengantaran barang dari toko grosir rekanan ke UMKM ritel yang membeli lewat CrediMart. Ini membuat grosir dan pelanggannya terbantu karena pelanggan tetap bisa berbelanja grosir lewat CrediMart tanpa harus datang ke toko fisik, apalagi di masa pandemi.
“Visi kami, CrediBook dan CrediMart akan berperan menjadi digital operating system bagi para pengusaha grosir. CrediBook pada sisi pembukuan, dan CrediMart pada sisi penjualan barang,” ujarnya.
Hambatan dan Kendala
Menurut Gabriel, perkembangan produk layanan Credibook ini selalu dimulai dari prototype yang dikembangkan bersama dengan para pengguna. “Pada pengembangan awal ini kami lakukan beragam riset dan uji coba seperti fitur, tampilan, hingga cara penggunaan aplikasi. Waktunya beragam, ada yang butuh waktu lama, hingga hitungan bulan, karena tingginya tingkat kesulitan implementasi teknologi dan ada juga yang sebentar, hanya hitungan hari atau minggu, karena sifatnya sederhana. Yang pasti, saya dan tim selalu mengutamakan problem-first mindset dalam menyempurnakan produk kami,” ungkap Gabriel.
Gabriel mengaku, usaha ini menemui kendala dan tantangan dalam bentuk kurangnya literasi digital dan keuangan dari para UMKM. Hal ini justru memotivasi dirinya bersama tim untuk bergerak lebih masif dan konsisten melalui edukasi dan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman rekan-rekan UMKM, agar mereka bisa terbantu dengan proses usaha yang lebih efisien.
“Setelah beberapa kali sosialisasi, kita jelaskan lagi, mereka mulai terbuka dan terbiasa menggunakan aplikasi CrediBook. Pencatatan lebih rapi, utang pelanggan juga terkontrol, laporan keuangan bisa langsung diunduh,” jelasnya.
Kendala juga ditemui saat mengenalkan platform belanja grosir CrediMart. “Di awal, pengusaha grosir beranggapan bahwa kami akan mengubah harga atau mark-up harga untuk dijual ke pemilik toko. Jadi ketika pengusaha grosir tahu kami tidak melakukan perubahan harga, hampir tidak ada pengusaha grosir yang menolak. Karena sesungguhnya CrediMart itu membantu pengusaha grosir konvensional berjualan ke lebih banyak pelanggan melalui channel online dan menjadi sumber pendapatan baru bagi grosir konvensional,” ungkapnya.
Selain itu, terkadang ada penolakan juga dari pengguna, dimana CrediBook dituduh akan memanfaatkan data dan mengikis keuntungan mereka. “Padahal yang kita lakukan adalah membantu pengguna membesarkan bisnisnya. Rasanya benar-benar pahit ketika ditolak oleh pengguna, belum lagi penolakan-penolakan dari sisi internal dan eksternal perusahaan,” ujarnya menambahkan.
Dari pengalaman-pengalaman tersebut, Gabriel menegaskan butuh konsistensi dan kesabaran kalau mau mengajak UMKM berkembang. Karena kapasitasnya berbeda-beda, sehingga perlu terus digencarkan edukasinya agar mereka bisa terbantu dengan proses usaha yang lebih efisien.
“Contohnya, waktu kami mengenalkan CrediBook, UMKM sudah di zona nyaman pakai pembukuan manual, banyak juga yang pakai kertas rokok ya. Karena mungkin bagi mereka lebih simple, bisa langsung catat aja. Tapi akibatnya, catatannya kurang rapi, kadang hilang terselip entah dimana, kalau basah juga catatannya bisa rusak. Akhirnya ada potensi bikin UMKM boncos juga ya lama-lama. Dari sini kami coba kenalkan pelan-pelan, memang teman-teman UMKM perlu pendampingan yang pelan tapi pasti. Setelah beberapa kali sosialisasi, kami jelaskan lagi, mereka mulai terbuka dan terbiasa menggunakan aplikasi CrediBook. Pencatatan lebih rapi, utang pelanggan juga terkontrol, laporan keuangan bisa langsung di-download,” jelasnya.
Starup ini berhasil dinobatkan sebagai juara pertama Pahlawan Digital UMKM 2020 dari Kementerian Koperasi dan UKM. Namun menurut Gabriel prestasi itu adalah bonus dari upaya CrediBook dalam mendukung pelaku UMKM. Saat ini Credibook telah menjangkau UMKM di kota-kota tingkat dua dan tiga seperti Surabaya, Sidoarjo, Cirebon, Medan, Makassar, dan Palembang
“Saya percaya, ketiga layanan yang kami kembangkan cocok digunakan untuk kalangan milenial. Terlebih, usaha dan bisnis milenial juga sedang berkembang pesat. Melalui CrediStore, harapannya kami juga ikut mendorong semangat kewirausahaan masyarakat dan UMKM melalui berjualan online,” pungkasnya.
===================
Gabriel Frans
- Tempat Tanggal Lahir : Rumbai, 8 September 1992
- Usaha yang dikembangkan : Membuat aplikasi pembukuan digital untuk UMKM
- Nama Platform : Credibook (PT Ruang Dagang Internasional)
- Mulai Usaha : Januari 2020
- Jabatan : CEO & Founder
- Jumlah karyawan : 36 orang
- Prestasi : juara pertama Pahlawan Digital UMKM 2020 dari Kementerian Koperasi dan UKM
==================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia
Discussion about this post