youngster.id - Asosiasi FinTech Indonesia dan asosiasi tekfin Australia membangun jejaring dan kerja sama antar dua negara dalam konteks industri teknologi finansial (Fintech).
Delegasi Indonesia terdiri dari perwakilan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia, dan 16 perusahaan yang aktif di bidang peer-to-peer (p2p) lending atau pembiayaan, pembayaran dan investasi mengadakan pertemuan pada 30 November 2017 di Sydney dan Melbourne.
“Australia dan Indonesia memiliki ekosistem fintech yang aktif dan dapat saling menguntungkan, kini kami mulai membangun hubungan di antara keduanya,” ucap Danielle Szetho, CEO FinTech Australia dilansir Antara Jumat (1/12/2017).
Menurut CB Insights, Indonesia berkembang sebagai pusat fintech dan usaha rintisan (start-up) kedua terbesar di wilayah Asia Tenggara, yang ditandai dengan adanya 53 proyek investasi di industri tekfin yang diprediksi akan selesai di tahun 2017. Menurut AT Kearney, total investasi startup di sembilan bulan pertama tahun ini senilai US$3 miliar, naik dari US$ 1,4 miliar di akhir tahun 2016.
Di saat yang bersamaan, Australia saat ini memiliki industri fintech yang sangat aktif dengan pertumbuhan jumlah perusahaan dari 100 perusahaan di tahun 2014 menjadi hampir 600 perusahaan saat ini. Start-up di Australia didominasi oleh tekfin dengan satu dari lima pendiri start-up mengincar industri ini, menurut Start-up Muster Report 2017.
“Pasar kami sangat berbeda dan justru memberikan kesempatan besar untuk berinovasi jika kita dapat bekerja sama lebih erat untuk membantu para perusahaan mengerti pasar masing-masing,” kata Danielle lagi.
Direktur Eksekutif untuk Kebijakan Publik Asosiasi FinTech Indonesia, Ajisatria Suleiman, mengatakan, kedua negara dapat membawa pulang pelajaran dari pertemuan ini. “Industri tekfin di Indonesia masih melihat kesempatan besar dalam mendukung pertumbuhan transaksi online yang saat ini diprediksikan mencapai US$130 miliar dan untuk melayani sektor UMKM yang saat ini baru 9 persen atau sekitar 4,6 juta yang online,” katanya.
Pertemuan ini juga akan berfokus pada isu inklusi keuangan yang dilihat oleh pemerintah Indonesia sebagai pilar utama dalam upaya mengurangi tingkat kemiskinan. Industri fintech diidentifikasi menjadi salah satu potensi yang dapat mendorong inklusi keuangan, baik untuk dunia usaha maupun individual.
Industri tekfin yang berkembang di Indonesia dengan jumlah pelaku usaha sedikitnya 157 perusahaan, terus membangun lingkungan usaha yang menguntungan baik terkait regulasi, jaringan infrastruktur dan teknologi, hingga kesiapan pasar.
“Saya menyaksikan secara langsung potensi kerja sama antara pelaku usaha Australia dan Indonesia dalam membangun perusahaan teknologi – kita hanya perlu membangun relasi yang lebih erat untuk membuka kesempatan lebih besar lain,” ujar Andy Zain, Managing Director Kejora Ventures.
Perjalanan ini juga diisi oleh kunjungan ke hub start-up di Sydney. Rombongan delegasi Indonesia juga melakukan kunjungan ke perusahaan start-up inkubator, Stone & Chalk, yang berlokasi di Melbourne.
Delegasi Indonesia pun mendapatkan kesempatan untuk belajar lebih lanjut mengenai $1 billion New Payments Platform (NPP) yang memungkinkan seseorang utuk melakukan pembayaran yang mendekati real-time dan kaya data (data-rich) dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi digital. Inisiatif NPP ini direncanakan akan diluncurkan pada awal 2018 mendatang.
Pada bulan April 2017 lalu, Australian Securities and Investments Commission (ASIC) dan OJK juga telah menandatangani kesepakatan untuk mempromosikan inovasi layanan keuangan di masing-masing negara.
Kunjungan ini diinisiasi oleh FinTech Australia dan Asosiasi FinTech Indonesia yang implementasikan didukung oleh Department of Foreign Affairs and Trade, the Australia-Indonesia Partnership for Economic Governance, Austrade, pemerintah New South Wales dan Victorian, serta Stone & Chalk.
STEVY WIDIA
Discussion about this post