Bangun Startup Digital Yang Sehat Hindarkan Dari Krisis Keuangan

Chief Executive Officer BNI Ventures Eddi Danusaputro

Chief Executive Officer BNI Ventures Eddi Danusaputro. (Foto: istimewa)

youngster.id - Startup di dunia tengah mengalami “musim dingin”. Hal itu terlihat dari maraknya perusahaan rintisan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Di Indonesia hal ini terjadi pada TaniHub, Zenius, LinkAja, Pahamify, JD.ID, dan Lummo. Investor pun menahan diri untuk berinvestasi pada startup.

Untuk menghadapi fenomena ini, Chief Executive Officer BNI Ventures Eddi Danusaputro mengatakan, fenomena bocornya startup bubble ini salah satu penyebabnya adalah karena startup terlalu bergantung pada pendanaan dan pemodal ventura.

“Untuk itu penting bagi banyak pihak, mulai dari pemilik startup, pemilik modal, hingga pemerintah untuk memberikan edukasi dalam membangun startup yang sehat, baik secara keuangan maupun manajemen,” ungkap Eddi dalam acara Startup Digital Sehat Untuk Pondasi Ekosistem Digital Kuat, Selasa (9/8/2022).

Menurut dia, dengan startup yang sehat maka dapat mengoptimalkan potensi dan membangun ekosistem yang kuat. ”Saat semua pihak telah berupaya menciptakan healthy startup, kita dapat mencegah terjadinya krisis keuangan di skala nasional,” ujarnya.

Berdasarkan pengalamannya selama bertahun-tahun, Eddi mengungkapkan bahwa investasi memang tidak selalu berhasil, ada hal-hal yang bisa diperhatikan untuk mendukung keberhasilan investasi dan perkembangan perusahaan.

“Melakukan investasi ke startup merupakan hal yang menguntungkan dan bisa berdampak luar biasa positif terhadap ekonomi Indonesia karena dapat membuka lapangan kerja, inovasi, dan lainnya,” paparnya.

Namun, dibutuhkan kesabaran yang luar biasa karena tidak ada sesuatu yang dapat diraih secara instan. Oleh karena itu, dalam hal ini tentu yang tidak boleh dilewatkan adalah pentingnya memberikan edukasi kepada shareholder, investor, maupun masyarakat terkait dengan cara dan sistem investasi, risiko, maupun segala hal yang harus dilakukan.

“Kalau invest ke startup, biasanya ambil berapa puluh persen? Sebagai investor kami prefer menjadi minoritas. Orang kan selalu berpikir sebagai investor kalau masuk ke sebuah startup mau ambil 51% atau lebih, tapi enggak, itu counter productive karena yang paling mengerti industri tersebut, produk tersebut, kan founder-nya. Jadi kami harus berani mengambil minoritas, misalnya 10-15%, dan biarkan founder-nya berkreasi,” ungkap Eddie.

Di sisi lain, dia juga menekankan pentingnya meletakkan kepercayaan sebagai investor terhadap founder untuk melakukan inovasi dan berkreasi dalam mengembangkan bisnisnya.

Meskipun pihak investor memiliki kesempatan untuk ikut serta secara aktif dalam mengelola perusahaan, Eddie menyarankan untuk lebih baik tidak menaruh orang (perwakilan investor) sebagai dewan direksi dan lebih baik menempatkan orang pada posisi perwakilan di dewan komisaris supaya founder dapat menjalankan perusahaannya semaksimal mungkin.

Selain itu, interaksi antara investor dan founder adalah satu hal penting yang harus terus diperhatikan sehingga tidak ada kesalahpahaman yang dapat menjadi batu sandungan bagi perusahaan karena perbedaan keinginan terhadap perusahaan. Investor boleh saja ikut campur terkait dengan penggunaan dana yang sustainable atau tidak.

“Kesalahan yang seringkali terjadi adalah pada pihak founder startup yang tidak memahami visi yang ia buat. Pada awal mendirikan startup, kebiasaan buruk yang sering dilakukan adalah pada penciptaan visi yang terlalu jangka pendek maupun visi jangka panjang yang terlalu lama,” ungkapnya.

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version