youngster.id - Dalam mewujudkan Dunia Tanpa Sampah (World Without Waste) di Indonesia, Coca-Cola mendukung inisiatif pembentukan Packaging Recovery Organization (PRO). Langkah kolaborasi pengelolaan sampah kemasan ini diharapkan mendorong Sirkular Ekonomi dan pengelolaan sampah berkelanjutan.
Public Affairs and Communications Director Coca-Cola Indonesia Triyono Prijosoesilo mengatakan, berbagai program sudah dilakukan oleh Coca-Cola untuk bisa memahami permasalahan manajemen sampah, di tahun 2017 Coca-Cola mengumumkan visi dan misi “World Without Waste” sebagai komitmen dalam penyelesaikan permasalahan kemasan paska konsumi. Di Indonesia, Coca-Cola melakukan kolaborasi serta kajian untuk mendukung program pemerintah dalam menangani sampah kemasan diantaranya dengan melalui program Plastik Reborn 1.0 dan 2.0.
“Dalam menjalankan visi World Without Waste, Coca-Cola Indonesia memiliki komitmen berkelanjutan terhadap bisnis yang dijalankan secara positif dan bertanggung jawab. Kami melihat kemasan paska konsumsi merupakan sumber daya bernilai tinggi yang memberikan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan bagi Indonesia pada tahun 2030,” ungkap Triyono dalam acara Plastic Reborn #BeraniMengubah, Kamis (5/12/2019) di We Work Menara Astra, Jakarta.
Dia mengungkapkan Coca-Cola Indonesia, sebagai anggota Packaging and Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment (PRAISE), menginisiasi Packaging Recovery Organization (PRO) untuk kolaborasi pengelolaan sampah yang berkelanjutan terutama sebagai salah satu solusi penanganan kemasan paska konsumsi di Indonesia.
Konsep PRO adalah sebuah pendekatan yang telah berhasil dilakukan di beberapa negara, baik negara berkembang ataupun negara maju, seperti misalnya di Meksiko, Afrika Selatan, dan Eropa. PRO telah mampu menghubungkan rantai value chain dalam ekonomi sirkular dengan lebih efektif, sehingga dapat meningkatkan tingkat pengumpulan dan pendaur ulangan kemasan paska konsumsi.
Saat ini di Indonesia, tantangan pengolahan kemasan paska konsumsi dimulai dari pengumpulan serta pemilahan/segregrasi di sampah rumah tangga. Berdasarkan indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2018 yang menyebut 72% orang Indonesia tidak peduli akan sampah. Sementara pertumbuhan infrastruktur dan industri daur ulang tidak sepadan dengan pertumbuhan konsumsi dan pembangunan ekonomi. Sehingga diperlukan kerjasama dari semua pemangku kepentingan, baik masyarakat, industri dan pemerintah untuk berkolaborasi dalam pengolahan kemasan plastik paska konsumsi (ESR – Extended Stakeholders Responsibility).
Model PRO memberikan peluang ekonomi sirkular yang lebih baik dengan membangun dan mengoptimalkan sistem daur ulang saat ini yang artinya inklusif dari sektor informal, meningkatkan kualitas daur ulang dan mendukung partisipasi yang lebih besar.
“Sebagai industri, harapan kami pemerintah melalui regulasi dapat mendorong partisipasi aktif para pelaku persampahan di setiap daerah untuk memulai langkah kecil mewujudkan PRO dalam konteks Indonesia agar dapat mendukung pencapaian agenda nasional terkait pengurangan dan penanganan sampah,” tutup Triyono Prijosoesilo.
Sementara itu KASUBDIT Industri Plastik dan Karet Hilir, Kementerian Perindustrian Rizky Aditya Wijaya, menjelaskan, apabila kemasan plastik paska konsumsi dapat dikelola dengan baik dan dioptimalkan maka produksi daur ulang plastik bisa mencapai 2 juta ton per tahun dari kapasitas saat ini yaitu 1,3 juta ton. Dengan daya serap 3,36 juta pekerja dari sektor informal seperti pemulung dan pengepul, industri daur ulang memiliki nilai tambah sebesar Rp 10,575 triliun per tahun dan dinilai mampu menggerakkan perekonomian negara sebagai salah satu jalan menuju ekonomi sirkular.
“Kami mendukung inisiatif PRO sebagai model penanganan kemasan plastik paska konsumsi, kami melihat peluang pengembangan industri daur ulang plastik di Indonesia dinilai masih besar, mengingat daur ulang sampah rumah tangga masih berada di level 15,22%,” katanya.
STEVY WIDIA
Discussion about this post