Transaksi E-Commerce Indonesia Tembus Rp134,67 Triliun di Kuartal III-2025, Omnichannel Jadi Kunci Hadapi 2026

transaksi e-commerce

Transaksi E-Commerce Indonesia Tembus Rp134,67 Triliun di Kuartal III-2025, Omnichannel Jadi Kunci Hadapi 2026 (Foto: Ilustrasi)

youngster.id - Sektor perdagangan Indonesia, khususnya e-commerce, sepanjang 2025 masih mencatat pertumbuhan yang stabil di tengah dinamika perilaku konsumen dan persaingan yang semakin ketat. Bank Indonesia mencatat nilai transaksi e-commerce pada kuartal III-2025 mencapai Rp134,67 triliun, tumbuh 20,5% secara tahunan (year-on-year/YoY). Capaian ini menegaskan peran kanal digital sebagai salah satu pilar penting perekonomian nasional, baik dari sisi konsumsi domestik maupun pemberdayaan pelaku usaha.

Plt. Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan RI, Bambang Wisnubroto, mengatakan pertumbuhan tersebut turut menghadirkan tantangan baru bagi lanskap perdagangan nasional.

“Dengan tren pertumbuhan e-commerce yang melaju cepat, perubahan preferensi belanja konsumen, dan persaingan harga yang ketat memunculkan tantangan bagi lanskap perdagangan. Hal ini menuntut strategi yang menyeimbangkan perdagangan konvensional dan perdagangan melalui sistem elektronik, misalnya melalui pendekatan omnichannel,” ujar Bambang, dikutip Sabtu (20/12/2025).

Dari sisi konsumen, pertumbuhan ekosistem digital didorong oleh tingginya penetrasi internet dan adopsi belanja daring. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat penetrasi pengguna internet di Indonesia telah mencapai 80,66%. Sementara itu, riset Jakpat menunjukkan 95% konsumen melakukan transaksi daring pada Semester I-2025, menandakan semakin luasnya basis konsumen digital yang tersebar di berbagai kanal penjualan.

Head of Research Jakpat, Aska Primadi, menilai fragmentasi kanal belanja menjadi salah satu karakter utama e-commerce pada 2025.

“Fragmentasi saluran belanja dipengaruhi oleh pertumbuhan social commerce yang mendorong shoppertainment, meluasnya penetrasi internet di kota tier dua dan tiga, serta meningkatnya tuntutan konsumen akan pengalaman belanja yang relevan dan personal. Di saat yang sama, konsumen juga semakin rasional dan selektif,” kata Aska.

Pergeseran perilaku tersebut membuat perjalanan konsumen (consumer journey) semakin kompleks. Konsumen kerap berpindah lintas kanal dalam satu siklus belanja, sehingga menuntut pengalaman yang konsisten mulai dari pencarian produk hingga layanan purnajual. Kondisi ini mendorong pelaku usaha untuk menata ulang strategi pengelolaan setiap titik interaksi dengan konsumen.

Chief Operating Officer SIRCLO, Danang Cahyono, menyampaikan bahwa fragmentasi kanal menjadi tantangan sekaligus peluang bagi brand.

“Sepanjang 2025, kami melihat brand semakin aktif mengeksplorasi berbagai kanal untuk mempermudah konsumen menemukan hingga memperoleh produk. Dalam konteks ini, terdapat tiga komponen utama consumer journey, yaitu Demand Engine, Commerce Engine, dan Fulfillment Engine. Ketika dikelola secara terintegrasi, konsumen tetap merasakan pengalaman yang konsisten, termasuk saat melakukan pembelian ulang,” ujar Danang.

Memasuki 2026, fragmentasi kanal dan tuntutan konsumen diperkirakan akan terus berkembang. Aska menilai pelaku usaha perlu mengantisipasi perubahan ini dengan strategi yang lebih terarah.

“Fragmentasi kanal belanja, perilaku konsumen yang semakin value-for-money, serta tuntutan terhadap transparansi dan kepercayaan akan terus membentuk interaksi konsumen dan brand. Pelaku usaha perlu mulai fokus pada pendekatan hiper-lokalisasi, penguatan Customer Lifetime Value (CLV), serta penyatuan pengalaman belanja di mana batas marketplace dan social commerce semakin kabur,” ujarnya.

Sejalan dengan itu, SIRCLO melihat kesiapan menuju 2026 bertumpu pada pertumbuhan yang berkelanjutan. Menurut Danang, fokus pelaku usaha ke depan mencakup integrasi omnichannel, efisiensi operasional berbasis teknologi, serta penguatan sistem fulfillment untuk menjangkau konsumen di kota tier dua dan tiga.

Dari sisi kebijakan, pemerintah menegaskan komitmennya untuk menciptakan ekosistem e-commerce yang sehat dan berdaya saing.

“Terdapat empat arah kebijakan e-commerce pada 2026, yaitu memperluas akses pasar produk dalam negeri, meminimalisir peredaran produk impor yang tidak sesuai ketentuan, mendorong inovasi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), serta meningkatkan transparansi informasi biaya di ekosistem e-commerce,” kata Bambang.

Dengan kombinasi pertumbuhan transaksi, perubahan perilaku konsumen, serta penyesuaian strategi bisnis dan kebijakan, industri e-commerce Indonesia memasuki fase baru yang menuntut kolaborasi lintas pemangku kepentingan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi digital nasional.

STEVY WIDIA

Exit mobile version