E-Nose, Hidung Elektronik Pendeteksi Bakteri Gigi

Penelitian E-Nose untuk mendeteksi dini penyakit gigi. (Foto: istimewa)

youngster.id - Mendeteksi penyakit pada gigi terbilang sulit. Apalagi orang kebanyakan baru datang ke dokter gigi jika sudah terasa sakit dan kondisi buruk. Berangkat dari masalah ini tim peneliti dari Universitas Airlangga (Unair) bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) berhasil mengembangkan elektronik Nose (e-Nose).

E-Nose merupakan sebuah perangkat untuk deteksi dini penyakit gigi dan mulut serta kualitas bahan makanan. Adapun pengembangan tersebut dikembangkan oleh Dosen Unair Dr Suryani Dyah Astuti MSi bersama Agung Surya Pradhana serta Dosen UGM Dr Kuwat Triyana. Ketiga dosen tersebut mengembangkan hal ini karena cara untuk mendeteksi penyakit pada gigi.

Suryani menjelaskan bahwa E-Nose ini merupakan sebuah perangkat yang meniru cara kerja dari penciuman hidung manusia. Secara teknis, perangkat tersebut menggunakan sensor gas yang dapat memberikan respons terhadap aroma tertentu.

“Jadi ada sensor yang spesifik untuk karbon dioksida ada juga yang untuk amoniak. Pada bakteri gigi umumnya bau yang dikeluarkan adalah jenis amonia. Hasil uji coba pada biofilm berbagai bakteri gigi menunjukkan adanya karakteristik fisis yang berbeda-beda pada berbagai bakteri. Sedang uji coba pada ayam yang diberi kuman E-coli menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan tanpa adanya E-coli,” ungkap Suryani yang dilansir situs resmi Unair.

Respons sinyal yang dihasilkan E-Nose terhadap aroma tertentu akan dianalisa menggunakan perangkat lunak pengenalan pola, sehingga dapat dianalisis dan diidentifikasi. Jika dibandingkan dengan teknik analisis lainnya, seperti kromatografi gas, maka sistem hidung elektronik dapat dibangun dan bisa memberikan analisis sensitif dan selektif secara real time.

Sama halnya untuk mendeteksi pembusukan bahan makanan. Di mana hanya melihat dengan kasat mata dan sentuhan yang terkadang dapat mengecoh. Penelitian E-Nose untuk mendeteksi dini penyakit gigi ini terdiri dari dua tahap. Yakni, in vitro (skala laboratorium) dan klinis. Tahap in vitro bertujuan untuk pembelajaran E–Nose tentang aroma berbagai bakteri penyebab penyakit gigi.

Penelitian lebih lanjut untuk penyempurnaan E-Nose dilakukan oleh Anak Agung Surya Pradhana, salah seorang mahasiswa S2 Teknik Biomedis Unair. Menurut Surya pada E–Nose ini terdapat enam buah sensor gas seperti hidung manusia yang memiliki reseptor dan memori. Dari reseptor, data dikirim ke tempat penyimpan data (database). Kemudian, data tersebut digunakan untuk melatih E–Nose dengan algoritma statistik pohon keputusan (decision tree). Sehingga E-Nose mampu mengklasifikasikan sampel.

Surya menambahkan, hasil dari uji coba yang dilakukan saat in vitro menunjukkan hasil yang bagus. Berbagai bakteri menghasilkan konsentrasi bau yang berbeda-beda tergantung pada jumlah hari penyimpanannya. Penelitian tersebut menggunakan sensor MQ2, MQ3, MQ7, MQ8, MQ 135, dan MQ 136 yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Contohnya sensor MQ135 yang spesifik untuk mendeteksi ammonia.

Selain untuk kesehatan, E-Nose juga telah banyak digunakan untuk deteksi kualitas bahan makanan. Antara lain kualitas susu, daging, ikan, dan ayam. Hasil penelitian untuk deteksi kualitas daging ayam oleh Haidar Tamimi dengan pembimbing kedua Dr. Miratul Khasanah, M.Si. menunjukkan perbedaan pola gas yang terdeteksi oleh sensor karena adanya penurunan kualitas daging berdasarkan masa simpan dan aktivitas bakteri yang mampu dikenali oleh E–Nose.

STEVY WIDIA

Exit mobile version