youngster.id - Kanker paru adalah penyebab kematian terbesar di dunia. Data GLOBOCAN 2022 mencatat 2,4 juta kasus baru kanker paru secara global. Di Indonesia, kanker paru menyumbang 9,5% dari seluruh kasus kanker serta menjadi penyebab 14,1% kematian akibat kanker. Bahkan, usia rata-rata penderita kanker paru di Indonesia dilaporkan lebih muda dibanding ra-rata dunia.
Sayangnya, sebagian besar pasien di Indonesia baru terdiagnosis ketika sudah memasuki stadium lanjut, sehingga peluang keberhasilan pengobatan kanker paru semakin kecil. Untuk itu, Indonesian Cancer Information and Support Center Association (CISC) menyerukan pentingnya penguatan sistem kesehatan nasional untuk penanganan kanker yang berorientasi pada pemenuhan hak pasien, dan selaras dengan perkembangan ilmu sains.
“Negara harus menempatkan kebutuhan pasien sebagai prioritas utama dalam kebijakan kesehatan. Akses terhadap terapi dan obat inovatif harus menjadi agenda nasional, dengan dukungan pembiayaan publik yang berkelanjutan, proses yang sederhana, dan transparansi yang jelas,” kata Aryanthi Baramuli Putri, Ketua Umum CISC pada diskusi media bertajuk “Akses Terapi Inovatif Kanker Paru: Perlunya Reformasi Regulasi & Optimalisasi JKN” Rabu (27/8/2025).
Aryanti mengungkapkan, persoalan akses ini juga tidak lepas dari kenyataan bahwa ketersediaan obat inovatif di Indonesia masih tertinggal dibanding negara lain. Mengutip PhRMA’s Global Access to New Medicines Report, dari 460 obat inovatif yang diluncurkan secara global sejak 2012–2021, hanya 9% yang tersedia di Indonesia—terendah di Asia Pasifik.
Selain itu, sistem kesehatan nasional belum sepenuhnya menjamin hak pasien dalam mengakses terapi dan obat inovatif. “Salah satu contohnya terapi target. Saat ini, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) baru menanggung terapi target generasi pertama dan kedua untuk kanker paru dengan mutasi EGFR positif, padahal pengobatan sudah berkembang hingga generasi ketiga,” ikarmua.
Terapi generasi 1 dan 2 memiliki keterbatasan karena tingkat penetrasinya ke otak rendah, sehingga efektivitasnya dalam mencegah atau mengendalikan penyebaran kanker paru ke otak lebih rendah dibandingkan terapi generasi 3.4 Padahal, sekitar 40% pasien kanker paru dengan mutasi EGFR berisiko mengalami metastasis ke otak.
Menurut Aryanti, sudah saatnya akses terhadap obat inovatif dan kebijakan kesehatan preventif ditempatkan sebagai prioritas nasional. Data yang dirilis Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Kementerian Kesehatan ke publik, anggaran BPJS untuk kanker paru pada 2020-2021 hanya mendapat 2,1% (Rp 73 Miliar) dari total anggaran kanker sebesar Rp 3,5 triliun.
“Tanpa langkah konkret, pasien kanker paru akan terus tertinggal dari perkembangan pengobatan global,” ujarnya.
Sementara itu, penyintas kanker paru Patricia Susanna mengungkapkan, beratnya perjuangan yang harus dijalani. “Sebagai penyintas kanker paru, kami tidak hanya berjuang melawan rasa sakit fisik, tetapi juga menghadapi tekanan psikologis, beban ekonomi, dan stigma sosial. Intervensi pemerintah sangat penting untuk meringankan beban kami. Bagi kami, dukungan ini berarti kesempatan untuk terus hidup dengan harapan, dan dengan kualitas yang lebih baik,” katanya.
Jurnal European Journal of Cancer, mencatat bahwa sekitar 10–25% kanker paru terjadi pada orang yang tidak pernah merokok secara global. Paparan polusi, termasuk polusi di tempat kerja (paparan zat karsinogen seperti radon dan asbestos), polusi udara, asap rokok pasif dan riwayat PPOK merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan kanker paru.
“Perluasan skrining dan deteksi dini sangat penting agar kasus kanker stadium lanjut dapat ditekan dan pasien mendapat pengobatan lebih cepat. Komunitas pasien seperti CISC juga harus diberi ruang lebih besar sebagai jembatan suara pasien dalam kebijakan kesehatan. Selain itu, dukungan masyarakat dalam menghapus stigma dan menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung akan sangat membantu penyintas kanker paru menjalani hidup lebih berkualitas,” ucap Rachmayunila.
STEVY WIDIA