youngster.id - Perubahan iklim telah mengubah tatanan ekonomi dan sosial dunia dengan cepat, tidak terkecuali di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Wilayah ini menghadapi berbagai tantangan di semua tingkat masyarakat, yang juga berdampak pada berbagai sektor, termasuk ketahanan pangan, pariwisata, dan bahkan kesehatan.
Sebuah studi yang baru-baru ini dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga menemukan bahwa dampak buruk perubahan iklim berpotensi menghilangkan nilai ekonomi komoditas beras dan kopi hingga lebih dari US$2,8 miliar dan US$262 juta per tahun pada produksi beras dan kopi antara tahun 2051-2080. Hal ini akan dirasakan secara langsung oleh para petani yang bekerja keras dan masyarakat yang bergantung pada komoditas ini.
Selain itu, Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang paling rentan terhadap krisis iklim di dunia, dan data menunjukkan masa depan yang ‘suram’. PDB di kawasan ini dapat berkurang hingga 11% pada akhir abad ini akibat dampak perubahan iklim terhadap sektor-sektor vital.
Bencana yang terkait iklim telah merusak jutaan infrastruktur, mengganggu pasokan energi, dan menghambat jalur transportasi. Pada tahun 2021 saja, bencana terkait cuaca telah menyebabkan kerugian di Asia sebesar US$35,6 miliar, yang berdampak pada hampir 50 juta orang. Sayangnya, daftar kerugian ini terus bertambah, dan dunia kehilangan US$17 triliun selagi kita menunggu.
Ini adalah kenyataan pahit yang sedang kita hadapi saat ini ketika suhu rata-rata global saat ini menjadi 1,2°C lebih hangat dibandingkan era pra-industri (1880-1900). Meskipun angkanya terlihat kecil, hal ini secara signifikan mempengaruhi ekosistem menjadi lebih buruk. Kenaikan satu derajat saja telah menyebabkan suhu musiman yang ekstrem, mencairnya salju dan es di laut, curah hujan yang tinggi, serta menyusutnya keanekaragaman hayati. Seperti yang disarankan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), membatasi pemanasan global hingga 1,5°C dari tingkat pra-industri sangat penting.
Untuk memitigasi risiko iklim, Asia Tenggara akan membutuhkan lebih dari US$1,5 triliun dalam bentuk investasi kumulatif pada tahun 2030 dibandingkan dengan hanya US$5,2 miliar dalam bentuk aliran pendanaan ‘hijau’ yang diamati pada tahun 2022. Sayangnya, pencairan dana untuk proyek ‘hijau’ telah menurun sebesar 7% sejak tahun 2021, namun kami berharap dapat melihat adanya peningkatan dalam bentuk komitmen investasi.
Peran penting modal ventura dalam mendorong investasi menuju solusi iklim
Sebagai modal ventura yang mempromosikan teknologi untuk solusi, kami melihat peluang di tengah tantangan. Sekarang, lebih dari sebelumnya, adalah saatnya untuk mengambil tindakan yang berani, penuh perhitungan, dan strategis. Investasi harus dilakukan pada teknologi yang tahan akan perubahan iklim (climate-resilient) dan berkelanjutan, terutama di sektor-sektor yang dapat memitigasi perubahan iklim. Hal ini dapat mencakup inovasi di bidang energi, pangan & pertanian, solusi alam, perkotaan & mobilitas, dan ekonomi sirkular.
Investor memiliki peran penting untuk mengkatalisasi dan memobilisasi investasi yang diperlukan untuk menjembatani kesenjangan pendanaan yang signifikan dalam transisi menuju nol karbon (net zero), sehingga mengambil peran penting untuk mendukung peningkatan dan adopsi inovasi dan solusi iklim di masa mendatang.
Selain itu, investor juga berperan penting dalam memandu pengukuran dampak iklim perusahaan investasi, dan memengaruhi perilaku untuk mengurangi bahaya dan berkontribusi positif terhadap lingkungan dan masyarakat.
Mengatasi perubahan iklim juga membutuhkan upaya bersama dari pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat yang sangat diharapkan untuk ikut terlibat.
Masyarakat juga memegang peran kunci untuk mendorong perubahan lingkungan melalui penggunaan produk dan layanan yang berkelanjutan. Dengan menggunakan alternatif ramah lingkungan, kita dapat secara kolektif berkontribusi pada planet yang lebih sehat dan masa depan yang lebih cerah untuk generasi mendatang. Mendorong adopsi opsi ramah lingkungan ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga mempromosikan cara hidup yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Bagi para pelaku bisnis dan inovator, menerapkan praktik-praktik dan mengembangkan produk serta layanan ramah lingkungan harus menjadi prioritas, terutama yang memiliki potensi tinggi untuk bersaing dengan penawaran produk dan layanan yang sudah ada. Bisnis dapat berkontribusi pada masa depan yang lebih hijau dengan tetap mempertahankan daya saing dan profitabilitas.
Dengan mempromosikan teknologi berkelanjutan, memandu pengukuran dampak iklim, dan mendorong praktik-praktik yang bertanggung jawab, kita dapat membuka jalan menuju masa depan yang lebih hijau. Mari kita memprioritaskan produk ramah lingkungan, mengembangkan solusi iklim yang kompetitif, dan melakukan investasi berkelanjutan bersama-sama.
AVINA SUGIARTO (Partner East Ventures), dan AGHNIA DIMA ROCHMAWATI (ESG Specialist East Ventures)