youngster.id - Di tengah lanskap digital yang terus berkembang, dibutuhkan keamanan siber yang kokoh dan adaptif. Komitmen ini diwujudkan BCA melalui pendekatan komprehensif yang mencakup tiga aspek utama: people, process, and technology. Terlebih, BCA menangani hampir 100 juta transaksi per hari dari lebih dari 41 juta nasabah.
Senior Executive Vice President of Strategic Information Technology Group BCA David Formula mengatakan, bahwa tren kejahatan siber bertumbuh pesat seiring meningkatnya ketergantungan masyarakat terhadap konektivitas digital, terutama setelah pandemi.
David menguraikan empat jenis kejahatan siber yang saat ini mendominasi lanskap keamanan digital. Pertama, ransomware yang mengenkripsi data korban dan meminta tebusan agar data dapat diakses kembali. Kedua, serangan Distributed Denial of Service (DDoS) yang berupaya melumpuhkan sistem dengan membanjiri server dengan lalu lintas berlebih. Ketiga, social engineering, termasuk phishing, yang menargetkan nasabah dengan modus penipuan untuk mendapatkan informasi pribadi.
“Terakhir, malware yang disebarkan melalui tautan atau aplikasi tidak resmi dan dapat mengambil alih akun nasabah,” ungkap David.
Menjawab tantangan ini, BCA menerapkan strategi berbasis people, process, dan technology. Dari sisi people, BCA memiliki tim ahli yang dedicated melakukan pemantauan sistem selama 24/7 dan menganalisis pola serangan untuk mencegah serta merespons ancaman secara proaktif. Dari sisi process, BCA mengadopsi standar keamanan ketat yang mengacu pada regulasi nasional, standar internacional seperti ISO dan NIST, serta best practice dari berbagai negara. Sementara dari sisi technology, BCA mengimplementasikan sistem keamanan canggih, termasuk pemanfaatan kecerdasan buatan (AI).
BCA juga mengedepankan sikap kolaboratif, yakni berkontribusi dalam memperkuat ketahanan industri dengan berbagi data terkait pelanggaran keamanan terbaru kepada regulator, termasuk daftar IP berbahaya, guna memperingatkan bank lain terhadap potensi ancaman siber. Hal ini mencerminkan upaya kolektif yang harus dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh pihak demi memberantas serangan siber dan menciptakan ekosistem digital yang lebih aman.
Tak hanya itu, BCA juga meningkatkan alokasi anggaran Capital Expenditure (Capex) di bidang IT. Pertumbuhan belanja IT BCA sebesar 8% pada tahun 2025. Investasi ini ditujukan untuk mengembangkan infrastruktur teknologi mutakhir guna menghadirkan layanan perbankan yang semakin aman, andal, dan tepercaya bagi seluruh nasabah tercinta.
Di sisi lain, riset dari Oxford menunjukkan bahwa 88% insiden kebocoran data disebabkan oleh human error, termasuk social engineering.
Head of Contact Center & Digital Services BCA Adrianus Wagimin, yang bertanggung jawab menangani layanan customer service halo BCA, melihat keselarasan antara pola kejahatan social engineering yang terjadi dalam nasabah dengan tren ancaman. Menurutnya, BCA secara konsisten mengedepankan edukasi, inovasi, dan kolaborasi.
Menurut Adrianus, edukasi menjadi aspek krusial dalam mencegah penipuan digital. Nasabah diimbau untuk berhati-hati dalam bertransaksi dan tidak membagikan data pribadi, termasuk SMS OTP, kepada pihak mana pun. Dari segi inovasi, BCA menghadirkan berbagai fitur yang dirancang untuk mencegah modus penipuan, seperti QRIS Customer Presented Mode (CPM) di aplikasi BCA mobile dan myBCA yang membantu menghindari penipuan pembayaran QRIS palsu.
Terbaru, diawal tahun 2025 BCA dapat memperbarui aplikasi haloBCA secara mandiri melalui Apps Store atau Playstore (versi 2.4.1) yang memperkenalkan sejumlah fitur baru, di antaranya track status laporan (‘Status Laporan’), pengkinian data rekening dan data kartu kredit, hingga pengembangan layanan Halo BCA Chat.
“Kini nasabah dapat melakukan permintaan (request) dan pengaduan atas kendala yang dialami melalui Halo BCA Chat. Di samping itu, kami aktif berkolaborasi dengan berbagai unit kerja meluncurkan kampanye edukatif ‘Tolak Dengan Anggun’ dan ‘Don’t Know? Kasih No!’,” jelas Adrianus.
STEVY WIDI