Kasus Deepfake Fraud di Asia Pasifk Melonjak 1.550%, Pebisnis Indonesia Jadi Target

VIDA luncurkan VIDA Authentication Suite untuk mencegah account takeover. (Foto: istimewa/vida)

youngster.id - VIDA Fraud Intelligence Report 2025 mengungkapkan, kasus deepfake fraud di Asia Pasifk melonjak 1.550%. Bahkan 97% bisnis di Indonesia menjadi target social engineering. Sepanjang 2022–2024, kerugian sektor perbankan akibat penipuan digital mencapai lebih dari Rp2,5 triliun, sebagian besar karena lemahnya autentikasi konvensional seperti SMS OTP dan kata sandi.

Fakta menunjukkan bahwa sistem keamanan lama tak lagi memadai menghadapi ancaman berbasis kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI).

“Teknologi deepfake kini sudah mencapai titik di mana sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Karena itu, lembaga seperti VIDA sebagai Certifcate Authority (CA) memegang peran penting untuk menjaga integritas identitas digital dan memastikan data serta transaksi tidak bisa dipalsukan,” ucap Niki Luhur Founder & Group CEO VIDA dikutip Senin (10/11/2025).

Niki juga mengungkap fenomena baru yang kini marak di dunia siber, yaitu scan-as-a-service, jaringan penipu yang menyediakan akses ke jutaan akun digital. Baru-baru ini terungkap device farm di Latvia yang melayani 15 ribu pelaku fraud dan mengakses 48 juta rekening digital.

“Hal ini menunjukkan bahwa para penipu kini beroperasi layaknya perusahaan, lengkap dengan infrastruktur, data sharing, dan kolaborasi,” ujarnya.

Untuk menjawab tantangan itu, VIDA menghadirkan FaceToken dan PhoneToken, solusi autentikasi berbasis biometrik yang menggabungkan machine learning dan enkripsi tingkat tinggi.

Menurut Niki, teknologi ini memungkinkan verifkasi identitas tanpa kata sandi (passwordless) melalui deteksi wajah (liveness detection) dan perangkat pengguna terdaftar, sehingga transaksi digital berlangsung cepat, aman, dan tetap nyaman. Implementasinya di sektor keuangan terbukti menurunkan transaksi tidak sah hingga 90%.

VIDA juga mengembangkan AI-native security framework yang menggabungkan kemampuan computer vision, fraud detection engine, dan analisis perangkat untuk mendeteksi pola serangan yang kompleks seperti injection attack dan virtual camera spoofng.

“Kami tidak hanya menganalisis foto. Kami harus memahami bagaimana serangan terjadi dari perangkat, aplikasi, hingga jaringan. Karena di lapangan, penipuan sering kali menggunakan reverse engineering tools dan virtual camera injection untuk menipu sistem biometrik,” ungkapnya.

Dengan meningkatnya ancaman keamanan digital secara global, Niki menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat ketahanan digital nasional serta membangun ekosistem terintegrasi yang mampu menjaga keamanan informasi dari sumber yang tepercaya.

“Dari sisi industri juga harus berkolaborasi dengan skala yang sama kuatnya, antara perbankan, fntech, asosiasi, dan penyedia keamanan digital, untuk memperkuat ketahanan ekosistem digital nasional. Proses autentikasi seharusnya mudah, tapi sekuat enkripsi. Dengan FaceToken dan PhoneToken, kami ingin keamanan digital terasa mudah bagi pengguna, namun tetap tak bisa ditembus oleh penipu,” pungkas Niki.

 

 

STEVY WIDIA

Exit mobile version