youngster.id - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengeluarkan aturan terkait penyedia layanan berbasis internet (over the top/OTT). Aturan ini untuk mengantisipasi diskriminasi kewajiban antara perusahaan internasional dan nasional penyedia layanan berbasis internet.
“UU ITE akan segera dikeluarkan. Yang jelas ini akan mendukung perlindungan data melalui ketersediaan DC/RC oleh penyelenggara sistem elektornik di wilayah Indonesia, ” jelas Dr. Danrivanto Budhijantp S.H. LL.M in IT Law – Staf Khusus Kemenkominfo diacara Sharing Vision Kamis (1/12/2016) di Hotel Atlet Century kawasan Senayan Jakarta.
Menurut dia, ini merupakan langkah pemerintah untuk membatasi gerak perusahaan OTT internasional yang selama ini telah meraup keuntungan. Tren pergeseran di segala lini industri mulai dari telekomunikasi, commerce, finance, transportasi, pendidikan menuju dunia yang lebih online dan cyber di Indonesia akan terus meningkat. Ditambah dengan pertumbuhan eCommerce yang masih double digit akan menjadi salah satu pemicu.
Dengan demikian, Tren online dan OTT membawa isu ketidakseimbangan terhadap bisnis yang telah dilakukan sebelumnya (konvensional), terutama dalam hal perijinan, pajak, maupun kepatuhan terhadap regulasi yang lainnya yang sudah ada. Namun tidak dapat dipungkiri keharusan industri terkait untuk proaktif mengantisipasi perubahan yang terjadi. Dibutuhkan antisipasi yang tepat, tidak terlambat serta sinergi dengan inovasi inovasi dari bisnis online dan OTT yang berkembang saat ini.
Bersinergi
Sementara itu menurut Dimitri Mahayana, Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision pertumbuhan industri telekomunikasi informatika (telematika) di Indonesia selama tahun 2016 banyak didorong oleh aplikasi over the top (OTT) yang menggenjot penggunaan internet dan paket data.
Dua kali survei bertemakan “Digital Lifestyle & eChannel” yang dilakukan pihaknya sepanjang tahun ini menemukan betapa lekatnya aplikasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Aplikasi populis semacam Gojek, Uber, media sosial, hingga pesan instan WhatsApp, telah mendorong segmen terbawah masyarakat terbiasa bahkan sudah tak terpisahkan dari penggunaan paket internet dan data.
“OTT pertumbuhannya dari tahun ke tahun bisa melejit padahal belum maksimal garap pasar. Apalagi seperti Google yang layanannya banyak dan dipakai orang. Jadi mereka masih terus tumbuh,” sambungnya.
Sharing Vision juga memberikan dua rekomendasi utama terkait kepentingan industri telematika nasional tahun depan. Pertama, operator seluler harus bersinergi dengan para OTT dengan dimediasi pemerintah lewat regulasi sehingga tercipta keseimbangan.
Salah satu caranya adalah membuat paket bundle data dengan harga tetap untuk akses OTT. Mekanisme ini sudah dilakukan beberapa operator, misalnya Indosat dengan Spotify serta XL dengan Yonder.
“Cara lainnya adalah operator menjual data ke pengiklan melalui OTT, dan OTT kemudian diwajibkan menumpang infrastruktur operator. Bentuk sinergi lainnya bisa dibahas asal ada dibangun komunikasi antara OTT, operator, dan pemerintah,” katanya.
Ruang komunikasi ini penting karena selama ini, regulasi pemerintah terhadap operator telekomunikasi sangat banyak. Mulai dari biaya lisensi, BHP telekomunikasi, BHP pita spektrum, PPN, PPh, USO, tarif interkoneksi, layanan pelanggan, dan banyak lagi.
Di sisi lain, kata Dimitri, pemain OTT tak diikat seketat hal tersebut. Mereka tak harus membayar lisensi, perizinan, tidak harus bayar pajak (bahkan banyak yang mangkir), termasuk tak memberi layanan optimal pelanggan, sehingga bea operasional lebih ringan.
Jika terus dibiarkan tanpa regulasi ketat dan tegas, maka boleh jadi OTT ke depan bisa membeli operator seluler. Sinyalamen kesana sudah ada seperti Google yang membeli sejumlah perusahaan perangkat keras hingga jaringan virtual. Dan ini berbahaya karena informasi nanti satu sumber.
Kedua, hapuskan wacana tidak ada kewajiban membangun data center. Beberapa waktu lalu, Menkominfo dan Dirjen Aptika Kominfo mewacanakan OTT tak perlu membangun data center sehingga ketimpangan makin besar.
“Justru di mata saya, data center menjadi salah satu komponen penting agar OTT tak bisa berkelit dari regulasi, terutama pajak seperti selama ini. Sebab, semua transaksi online otomatis terekam dan tak bisa disangkal mereka,” katanya.
Apalagi, regulasi terkait sejak lama sudah ada dan tak bisa diingkari. Sebagaimana sudah benar diatur dalam Pasal 17 Ayat 2 PP No 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE), “Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya.”
Untuk itulah, sambung Dimitri, perusahaan-perusahaan OTT dengan basis pengguna besar seperti Google, Facebook, dan WhatsApp, seharusnya menjadi layanan internet yang paling pertama diminta berkomitmen membangun data center.
“Peta arahnya harus jelas dilakukan pemerintah. Pada 2017 nanti, itu harus siapa yang dikejar lebih dulu untuk membangun bangun data center di Indonesia. Jangan terus ada kecemburuan sosial karena tidak baik buat iklim usaha,” pungkasnya.
FAHRUL ANWAR
Discussion about this post