youngster.id - Sampah plastik bisa dibilang memiliki peran besar dalam isu pencemaran sungai di Indonesia. SIPSN KLHK tahun 2021 menyebutkan, total timbulan sampah plastik dalam negeri mencapai 11,5 juta ton per tahun atau sekitar 17% dari total produksi sampah nasional.
Sedangkan menurut data WEF-NPAP-SYSTEMIQ pada tahun 2022, sampah plastik fleksibel mendominasi tiga perempat atau 76% dari sampah plastik yang bocor ke lingkungan Indonesia.
Berdasarkan hasil risetnya, Waste4Change Insight menyebut ada 4 jenis plastik fleksibel, yaitu monolayer, gabungan multilayer plastik dan logam, multilayer plastik dan plastik, serta multilayer plastik dan kertas. Beberapa timbulan sampah plastik fleksibel yang saat ini sudah memiliki nilai di pasar daur ulang antara lain beberapa jenis monolayer tertentu seperti kantong plastik dan jenis multilayer plastik-plastik tertentu seperti kemasan refill minyak goreng.
“Dari hasil riset Waste4Change di 5 kotamadya DKI Jakarta, kami menemukan bahwa sebesar 87,52% atau 244,72 ton/hari timbulan sampah plastik fleksibel masih berakhir di TPA. Sisanya hanya 2,99% plastik fleksibel yang didaur ulang, 0,78% diproses di PLTSa, dan 8,72% tidak terkelola,” ungkap Anissa Ratna Putri, Consulting Manager Waste4Change, Selasa (19/7/2022).
Eka Hilda selaku Fungsional Pengendali Dampak Lingkungan Ahli Muda Direktorat Pengurangan Sampah KLHK RI menyebutkan bahwa salah satu tujuan diresmikannya Peraturan Menteri LHK P.75 tahun 2019 Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen adalah untuk mengendalikan timbulan sampah plastik fleksibel di Indonesia. Melalui peraturan ini, produsen diminta untuk melakukan pembatasan timbulan sampah, daur ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah.
Menurut Eka, Peraturan Menteri LHK P.75 tahun 2019 sudah selaras dengan UNEA Resolution: End Plastic Pollution dan circular economy. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terbukti merupakan mitra efektif dalam memantau penggunaan material plastik karena adanya kebutuhan untuk perizinan penggunaan kemasan.
“Harapannya dengan adanya peraturan ini (Permen LHK P.75/ 2019), produsen bisa menyampaikan detail dan sifat bahan kemasan serta Dokumen Perencanaan terkait upaya penarikan kembali dan pengumpulan sampah kemasan pasca pakainya. Sehingga bisa mendorong penanganan sampah kemasan secara lebih terarah,” jelas Eka.
Bukan hanya pemerintah, saat ini sudah terdapat beberapa inisiatif dari komunitas dan masyarakat yang bertujuan mencegah timbulan sampah plastik fleksibel. Contohnya startup Siklus Refill yang menawarkan layanan antar produk rumah tangga berbentuk curah langsung ke depan rumah konsumen demi mengurangi sampah kemasan. Siklus Refill sudah bekerja sama dengan beberapa produsen seperti Bimoli, Barco, Rinso, Soklin, Wipol, Sunlight, Rapika, dan Mama Lemon.
“Tantangannya adalah bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa ini adalah produk asli. Semakin banyak orang yang tahu, lebih baik penerimaannya. Sebenarnya demand-nya lumayan tinggi terutama dari segi varian. Tapi, realitanya tidak semua produsen ready dengan demand yang tinggi terhadap produksi bulk ini,” ujar Jessica Bella, Marketing & Business Development Siklus Refill.
Dari sektor industri daur ulang, Mohamad Luthfi selaku Operational Manager Re>Pal mengungkapkan bahwa saat ini Re>Pal sedang mengembangkan teknologi untuk mendaur ulang sampah plastik fleksibel menjadi plastic pallet. Dari yang sudah dicobakan, Re>Pal berhasil menggabungkan daur ulang sampah plastik fleksibel dengan plastik kresek dengan tingkat persentase plastik fleksibel mencapai 30-50%.
“Produk plastic pallet kami sudah dikirim ke Thailand dan Filipina, sedangkan di Indonesia juga sudah banyak perusahaan multinasional yang menggunakan produk Re>Pal seperti Unilever, Nestle, dan Indofood. Ini artinya memang sudah banyak produsen yang peduli dengan daur ulang produk mereka,” ungkap Mohamad Luthfi.
Terkait penanganan sampah plastik fleksibel, Waste4Change mengajukan beberapa solusi yang bisa diterapkan. Solusi pertama adalah mengurangi sebaran sampah plastik fleksibel melalui inovasi kemasan, baik berupa curah, kemasan yang mudah terurai di alam, maupun kemasan yang mudah didaur ulang. Solusi kedua adalah dengan melakukan riset dan menyediakan insentif untuk pengembangan teknologi daur ulang sampah plastik fleksibel untuk menangani sampah plastik fleksibel yang sudah ada. Solusi ketiga adalah dengan mengoptimalkan upaya pembuatan produk kerajinan dari sampah plastik fleksibel dengan pelatihan keterampilan dan pendampingan untuk membantu strategi pemasaran.
“Ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk menangani sampah plastik fleksibel, namun kerja sama multipihak juga ekosistem dan kebijakan yang mendukung menjadi hal penting untuk menyukseskan pengelolaan sampah yang baik. Kami berharap dengan adanya data riset Waste4Change ini, semua pihak bisa belajar dan bergerak demi mendukung berkurangnya timbulan sampah yang sulit didaur ulang,” tutup Anissa.
HENNI SOELAEMAN
Discussion about this post