youngster.id - Pandemi Covid-19 tidak saja berdampak pada bisnis dan kesehatan tetapi juga dunia kesenian. Survey dari Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI) mendapati ada tiga kelompok musisi yang muncul yaitu yang mapan, pas-pasan dan rentan.
FESMI melakukan suvey terhadap 1.400 responden di 22 provinsi di Indonesia. Terdiri dari 34,3% musisi adalah yang bekerja di hotel dan kafe, lalu pengiring musik profesional ada 12,9%, hingga pengajar sebanyak 10,8%. Sementara artis rekaman tercatat ada 7,1%dan digital content creator itu sebanyak 3%. Mereka berpenghasilan beragam mulai Rp 100 ribu – Rp 100 juta.
Ketua FESMI Candra Darusman mengatakan, dari rata-rata penghasilan musisi juga beragam. “Menyikapi pandemi ini, FESMI membagi musisi dalam 3 kelompok, yakni mapan, pas-pasan dan rentan yang tidak tahu mau ngapain,” kata Candra Darusman dalam Webinar Saatnya Bangkit Kembali, yang digelar Direktorat Perfilman Musik dan Media Baru (PMBB) Kemendikbud RI dan Komunitas Pewarta Hiburan Indonesia (Kophi).
Sejauh ini FESMI sudah menyalurkan Rp 600 juta ke para musisi, terutama kelompok rentan tadi dan pemberian bantuan ini masih berlanjut sampai sekarang.
Harry Koko Santoso, promotor musik ternama, menyatakan, saat ini ada banyak musisi yang bisa menggelar konser streaming di media sosial.Disisi lain, ia melihat tidak banyak musisi yang bisa melakukannya dengan menghadirkan nilai komersial.
“Ada beberapa grup musik yang melakukan konser live streaming selama pandemi. Ini bentuk kreatifitas yang harus didukung, tapi masih jauh dari harapan agar musisi kita dapat menghasilkan nilai komersial,” ungkap Harry Koko Santoso.
Seperti para pelaku dibidang musik, film juga merasakan dampak luar biasa akibat pandemi Covid-19 yang belum berakhir ini.
Sementar itu, Firman Bintang, Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), menyatakan, pagebluk Covid-19 tidak hanya membuat iklim dan ekosistem industri, teristimewa industri film Indonesia terpapar, tapi terkapar.
“Saat ini, ketika bioskop ditutup atas nama menegakkan protokol kesehatan, cobaan produser film, juga pemilik bioskop, semakin besar. Kita harus bergandengan bersama, dan saling membangkitkan, demi tetap bertahan di kondisi yang sangat tidak mudah ini,” ujarnya.
Menurut Firman Bintang, mata uang yang sebenarnya dalam industri ini adalah kreatifitas. Sedangkan jualannya, saat sekarang tidak melulu via bioskop. “Jualannya bisa lewat media baru lainnya,” kata Firman Bintang.
Media baru yang dimaksudkan Firman Bintang yang bisa menggantikan layar bioskop antara lain streaming hingga televisi langganan berbayar dan OTT (Over The Top). Atau media yang mengacu pada konten dalam bentuk audio, video, yang ditransmisikan via internet tanpa mengharuskan pengguna untuk berlangganan layanan TV kabel.
“Ada banyak cara untuk jualan. Yang paling utama, kreator film yang semakin meningkatkan kualitas kreatifitasnya agar karya semakin dapat bersaing di tengah pandemi, yang entah sampai kapan berakhir,” ucapnya.
Sementara itu Edi Irawan, Kepala Kelompok Kerja Apresiasi dan Literasi Musik Direktorat Perfilman Musik dan Media Baru Kemendikbud RI, menyatakan, ada Undang-undang No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan untuk memajukan kebudayaan, khususnya musik.
“Kami ingin menggerakkan ekosistem musik. Industri musik harus dimajukan meski direktoratnya masih sangat baru,” tandas Edi.
FAHRUL ANWAR
Discussion about this post