youngster.id - Perdagangan elektronik (e-commerce) di Indonesia telah menembus US$ 5,6 miliar atau Rp 75 triliun dalam setahun terakhir. Semuanya itu berujung pada peningkatan produktivitas perekonomian secara signifikan.
Pertumbuhan itu membuat ekonomi digital diproyeksikan mampu memberikan nilai tambah sebesar US$ 150 miliar pada 2025, dengan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 10%.
Revolusi digital diyakini akan membawa Indonesia pada lintasan pertumbuhan ekonomi sekitar 7% per tahun. Hal itu dimungkinkan karena digitalisasi perekonomian mampu meningkatkan efisiensi di berbagai sektor ekonomi berkat keputusan bisnis dan target yang lebih akurat, serta mendorong terciptanya inovasi baru.
Hal itu disampaikan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo dalam seminar nasional big data dengan tema ”Globalisasi Digital: Optimalisasi Pemanfaatan Big Data untuk Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi” baru-baru ini di Jakarta.
Menurut dia, di Indonesia, perkembangan ekonomi digital ini didukung banyaknya pengguna internet. Pada 2016, jumlah pengguna internet yang berbelanja secara online di Tanah Air telah mencapai 24,74 juta orang. Selama setahun terakhir, para pengguna internet membelanjakan uang sekitar US$ 5,6 miliar (sekitar Rp 75 triliun) di berbagai e-commerce. Dengan kata lain, setiap pengguna e-commerce di Indonesia rata-rata membelanjakan Rp 3 juta per tahun.
“Saat ini, layanan digital telah memengaruhi cara kita membuat keputusan, berinteraksi dengan orang lain, dan sekaligus mendorong munculnya model-model bisnis baru yang jauh lebih efisien dan inovatif,” katanya.
Menurut Agus, pada 2013 saja, lanjut Agus, terdapat setidaknya 1,85 miliar pengguna aktif media sosial, yang terus meningkat menjadi 2,8 miliar pada 2016.
Agus menjelaskan aktivitas media sosial dan layanan digital yang makin meluas telah mendorong terciptanya data baru secara masif. Data yang berjumlah sangat besar, bervariasi, dan dihasilkan secara sangat cepat (real time) ini dikenal sebagai big data.
Selain e-commerce, lanjut Agus, revolusi digital di Indonesia telah menyentuh sektor keuangan. Hal ini antara lain terlihat dari jumlah fintech player di Indonesia yang dalam dua tahun terakhir (2015-2016) tumbuh pesat sebesar 78%.
Ia menjelaskan lebih lanjut, investasi TI di sektor-sektor utama pemberi kontribusi ke pertumbuhan ekonomi–seperti manufaktur dan pertambangan–juga relatif masih rendah. Sedangkan investasi yang sudah cukup tinggi tercatat di sektor tersier, seperti e-commerce dan fintech yang pada 2016 diperkirakan mencapai US$ 1,7 miliar.
“Apabila hambatan dalam pemanfaatan teknologi digital tersebut dapat diatasi, maka digitalisasi ekonomi bisa memberikan nilai tambah sebesar US$ 150 miliar terhadap PDB Indonesia pada 2025 (sekitar 10% terhadap PDB). Ini juga dibarengi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja, mencapai hampir 4 juta orang,” imbuhnya.
“Meski demikian, sayangnya, kita masih belum optimal memanfaatkan potensi besar Indonesia dalam era digital ini. Hal itu antara lain karena penetrasi internet di Indonesia tergolong masih cukup rendah, sekitar 51%,” tuturnya.
Penetrasi itu masih jauh di bawah negara-negara tetangga, seperti Malaysia (71%) dan Thailand (67%), bahkan di negara maju seperti Inggris dan Jepang sudah mencapai di atas 90%. Tingkat penetrasi internet ini adalah rasio antara jumlah pengguna internet dan jumlah penduduk.
Persoalan utama yang menyebabkan belum optimalnya pemanfaatan teknologi digital di Indonesia berasal dari kualitas layanan internet yang relatif masih tertinggal dibandingkan negara lain. Hambatan lain adalah pengeluaran investasi di bidang teknologi informasi (TI) yang juga relatif tertinggal dibanding negara lain.
STEVY WIDIA