youngster.id - Industri fesyen terus bergulir dengan cepat. Selain pergantian gaya, kuantitas produksi juga menjadi tuntutan. Namun belakangan ini kepedulian terhadap lingkungan telah mengubah pandangan banyak pelaku industri fesyen. Mereka menciptakan produk yang fashionable namun tetap peduli terhadap isu sosial dan lingkungan.
Pasalnya, kini banyak pecinta fesyen mulai beralih kepada produk ramah lingkungan, yaitu produk yang menggunakan bahan alami. Salah satunya adalah produk sepatu sneaker berlabel Pijakbumi dari di Bandung, yang dikembangkan Rowland Asfales sejak April 2016.
Pemuda yang akrab disapa Fales itu mengklaim bahwa sepatu yang dia produksi meminimalisir limbah, enegi dan emisi, yang berprinsip pada pola hidup sustainability. “Setiap sepatu kami 100% handmade, mengurangi pemakaian lem hingga 80%, ramah lingkungan, dan sepenuhnya memperdayakan tenaga pengrajin dan bahan baku Indonesia,” ungkapnya saat ditemui Youngsters.id beberapa waktu lalu di Jakarta.
Sepatu Pijakbumi berbahan vegetable tanned leather yang berasal dari material alam yakni tumbuh-tumbuhan. “Kami memilih material natural vegetable tanned leather karena bahan ini memiliki durabilitas tinggi, tingkat kelenturan sedang, resistensi terhadap noda yang cukup baik, dan karakteristik patina yang indah. Jadi inilah kualitas vegetable tanned leather yang ideal dan ramah lingkungan,” kata Fales lagi.
Selain itu metode dan proses pewarnaan kulit sepatu pun dilakukan dengan tangan (handmade) sepenuhnya tanpa menggunakan mesin. Meski demikian, produk Pijakbumi tetap terlihat mengikuti tren mode dengan dominan warna oxblood, atau nude.
“Jadi selain ramah lingkungan, produk ini desain tetap terlihat kontemporer, high fashion, cachy dan ada tetap trendy,” ujarnya.
Sejak meluncurkan produk Pijakbumi, Rowland telah berhasil mengaplikasikan kulit natural tersebut pada setiap produknya seperti boots, sneakers, hingga slip-on shoes.
“Hadirnya Pijakbumi adalah kami ingin menciptakan sebuah fashion line yang mendukung perkembangan produk-produk eco-friendly. Jadi dengan menggunakan bahan alami kami ingin merubah paradigma fesyen saat ini menjadi lebih ramah lingkungan,” tutur lelaki berperawakan putih itu lagi.
Dengan konsep natural itu, label fesyen Pijakbumi cepat meraih popularitas. Padahal pemasarannya baru melalui media sosial. Namun pembelinya tak hanya datang dari Indonesia, tetapi juga dari Asia hingga Eropa. “Pembeli pertama kami datang dari Jerman dan Spanyol, dan hal inilah yang menjadi semangat kami untuk menciptakan varian produk yang lebih matang,” klaim Fales bangga.
Slow Fashion
Sesungguhnya Fales memang sudah menekuni bisnis fesyen sepatu cukup lama. Namun waktu itu dia menjadi penjual sepatu fesyen produk lain.
“Sebelum serius dengan sepatu Pijakbumi kami juga sudah terjun dalam dunia sepatu lebih dari 5 tahun,” ungkap bungsu dari dua bersaudara itu. Ketertarikan pada slow fashion, yakni bisnis fesyen yang mengedepankan produk alami dan tidak diproduksi masal telah mengubah cara dia berbisnis.
Menurut pemuda kelahiran Banyuwangi, 18 Juli 1991 ini sepatu yang dia produksi menggunakan bahan vegetable tanned leather atau kulit yang melalui proses penyamakan dari material tumbuh-tumbuhan. Ini berbeda dengan produk sepatu lain yang 95% berbahan kulit yang disamak menggunakan bahan kimia.
“Dengan metode penyamakan yang seperti ini (kimia) akan menghasilkan limbah yang berbahaya dan mencemari lingkungan. Selain itu, hal ini juga akan berdampak buruk buat kesehatan para pengrajinnya. Oleh karena itulah, saya berinisiatif buat memproduksi produk yang berkualitas dan aman buat lingkungan,” ungkap Fales.
Fales mengaku merogoh kocek sebesar Rp 20 juta untuk memulai bisnis ini. “Semua itu hasil tabungan selama berbisnis sepatu yang sebelumnya,” ungkap anak bungsu dari dua bersaudara ini.
Mulai dari mencari bahan, hinggga proses pembuatan yang melibatkan sejumlah pengrajin sepatu di Bandung dilakukan Fales. Dia mengaku, awalnya tidak mudah mewujudkan keinginanya membuat produk sepatu berbahan alami. Butuh waktu beberapa bulan untuk bisa mendapatkan produk awal yang sesuai harapan. “Kami mencoba melalukan beberapa tahap. Mulai dari design dan prototyping berkali-kali, sehingga terciptalah model pertama dasar dari sepatu Pijakbumi ini,” ujar Fales.
Sepatu ini termasuk slow fashion. Pasalnya, untuk menyelesaikan sepasang sepatu butuh waktu 1 sampai 2 bulan. “Semua sepatu buatan kami tanpa menggunakan mesin listrik. Karena Pijakbumi merupakan sebuah anti-thesis dari produk yang diproduksi secara massal (mass-manufactured products). Makanya untuk sepasang sepatu selesai bisa memakan waktu lumayan lama, dan kami menginginkan hasil yang sempurna supaya sepatu yang kami desain ini tetap terlihat kontemporer, high cachy. Jadi fesyennya juga ngga ditinggalin,” tutur penggemar main game, menggambar dan nonton film ini.
Alumni ITB jurusan Seni Rupa ini mengaku, di awal dirinya kesulitan untuk memperkenalkan produk Pijakbumi ke masyarakat. Harga sepatu kulit buatannya memang sedikit di atas harga sepatu kulit lainnya.
“Hambatannya, karena orang Indonesia pada umumnya ingin mendapat barang dengan harga murah, tetapi tanpa mereka ketahui kalau produk tersebut akan memiliki dampak bagi lingkungan. Jadi di awal banyak masyarakat yang belum bisa menerima produk kami. Tapi setelah mereka tahu pesan yang kami sampaikan, akhirnya mereka bisa menerim,” tutur Fales.
Kolaborasi
Sebagai entrepreneur, Fales mengaku dirinya masih bergerak dalam lingkup kecil. Untuk pengembangan usaha, kini Fales bermitra dengan Sandy (CMO Pijakbumi) dan Syahrul (CTO Pijakbumi). Mereka memasarkan produk lewat jejaring media sosial. Sedang untuk karyawan mereka baru memperkerjakan tukang yang bekerja lepas.
“Makanya mulai dari packing, quesee, sampai quality control, CEO-nya harus turun tangan. Iya karena memang sumber daya manusia kami masih sangat terbatas,” ujar Fales sambil tertawa.
Meski demikian, perlahan tapi pasti, produk Pijakbumi ini mulai mendapat perhatian. Terutama dari pecinta fashion eco-friendly.
“Kalau omset perbulan lumayanlah, selama setahun berjalan dalam sebulan kami bisa mendapatkan omzet sebesar Rp 50 – 70 juta. Sedang untuk produksi dalam sebulan kami sekarang bisa mengahasilkan 100 sampai 150 pasang sepatu setiap bulannya,” ungkap alumnus Purwadhika ITpreneur itu dengan bangga.
Pencapain Fales lewat Pijakbumi cukup pesat. Selain sepatu, ia juga memproduksi apparel dan tas dari bahan kulit natural. Alhasil, meski label ini baru diperkenalkan hampir satu tahun, produk ini sudah mendapat tawaran sejumlah pihak untuk investasi. Bahkan, diklaim Fales, ia mendapat tawaran untuk membuka gerai di Dubai, Australia dan Eropa. “Semua masih dalam rencana, dan saya harap bisa benar-benar terwujud,” ujarnya.
Selain itu, Fales juga punya rencana untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam menciptakan produk yang ramah lingkungan. “Saya ingin dapat berkolaborasi dengan para seniman dalam mengembangkan sebuah pewarna alami yang terbuat dari jamur, substitusi kulit dari jamur, dan outsole dari tempe. Kalau riset ini berhasil, kami dapat menjadi brand pertama yang mengapilkasikan cara ini melalui bahan-bahan tersebut,” ucap Fales.
Semua ini membuat semangat Fales semakin besar untuk mengembangkan Pijakbumi. Apalagi lewat kompetisi The Big Start Indoensia 2016, Fales berhasil masuk di jaringan e-commerce seperti Blibli. Selain mendapatkan hadiah uang sebesar Rp 200 juta.
“Harapannya, dari produk yang kami ciptakan ini, ke depannya kami kepingin bisa go international. Bahwa ini masih ada karya anak bangsa yang diperhitungkan,” ujar Fales penuh harap.
========================================
Rowland Asfales
- Tempat Tanggal Lahir : Banyuwangi, 18 Juli 1991
- Jabatan : Founder & CEO Pijak Bumi
- Nama Perusahaan : CV Trihaka Fashion
- Brand : Pijakbumi
- Mulai Usaha : April 2016
- Modal Awal : sekitar Rp 20 Juta
- Omset : sekitar Rp 70 Juta/bulan
Prestasi :
- Juara III The Big Star Indonesia, Blibli.com 2017
- Brandambasador CIMB Niaga, 2012-2014
- Juara Student Entrepreneur, Jakarta 2013
- Winner at CSL Startup Collage by ABESA and Kairos Asean
==========================================
FAHRUL ANWAR
Editor : Stevy Widia