Project S TikTok, Perlu Dibuat Peraturan Untuk Social Commerce

Project S

Project S TikTok, Perlu Dibuat Peraturan Untuk Social Commerce (Foto: Ilustrasi)

youngster.id - Pertumbuhan pengguna platform video music dan jejaring sosial TikTok di Indonesia sangat pesat. Jumlah penggunanya di Indonesia dinobatkan sebagai yang terbesar di dunia.

Berdasarkan laporan firma riset Statista, jumlah pengguna TikTok di Indonesia telah menyentuh angka 113 juta per April 2023.

Besarnya jumlah pengguna ini membuat Indonesia menjadi pasar yang sangat menggiurkan. TikTok pun jeli menangkap potensi itu dengan memperkenalkan TikTok Shop, salah satu fitur yang saat ini banyak digunakan oleh pelaku UMKM di Indonesia untuk bisa memasarkan dan menjual produknya melalui video singkat.

Melalui fitur Tiktok Shop, platform ini menggabungkan e-commerce dan media sosial, di mana para penggunanya dapat saling berinteraksi dan bertransaksi di kanal yang sama.

Tak berhenti sampai di situ, Tiktok juga mulai membangun sebuah proyek untuk menyempurnakan alur bisnisnya. Jika sebelumnya sudah mampu membuat jalur distribusi dan pemasaran melalui aplikasinya, kini Tiktok tengah menyiapkan kemampuannya untuk memproduksi barang dagangannya sendiri.

Walaupun belum ada nama resmi dari TikTok untuk proyek barunya itu, namun Financial Times menyebutnya sebagai “Project S”.

Keberadaan TikTok Shop dan algoritmanya dicurigai membantu perusahaan untuk mengumpulkan infromasi tentang produk-produk yang laris manis di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di Tiongkok. Strategi ini disebut sebagai Project S.

Kecurigaan ini pertama kali mencuat di Inggris, di mana berdasarkan laporan dari Financial Times, pengguna TikTok di Inggris mulai melihat fitur belanja bernama Trendy Beat di dalam TikTok. Produk-produk yang dipajang di Trendy Beat TikTok dikirim langsung dari Tiongkok. Sedangkan penjualnya terdaftar di Singapura, namun tercatat dimiliki oleh ByteDance sebagai induk perusahaan dari TikTok. Sejatinya, fitur Trendy Beat yang ada di TikTok Inggris adalah TikTok Shop.

Jika Project S ini benar terjadi, TikTok Shop kemungkinan besar akan gencar mempromosikan produk yang mereka buat sendiri daripada produk yang dijual oleh pesaing. Tentunya, hal ini akan mengancam keberlangsungan pelaku UMKM di Indonesia, di mana produk lokal akan tergerus dengan banjirnya produk impor di pasaran. Atau, produk lokal Indonesia jadi tidak laku karena persaingan harga.

Project S TikTok sendiri merupakan salah satu jenis social commerce, di mana di Indonesia belum ada regulasi yang mengaturnya.

Social commerce adalah gabungan antara jejaring sosial dan e-commerce dengan iklan tertarget dan personal. Dalam praktik social commerce, media sosial memfasilitasi koneksi, dan konten online mendukung interaksi antara penjual dan pembeli.

Menyikapi fenomena tersebut, Peneliti Center of Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan, perlu ada kebijakan baru mengenai social commerce ini. Pasalnya, kebijakan yang ada saat ini, Permendag Nomor 50 Tahun 2020, hanya mengatur regulasi e-commere.

Padahal, saat ini social commerce, seperti TikTok Shop, Instagram Shop, atau Facebook Shop, sedang mengalami peningkatan yang pesat.

“Nah, kita memandang untuk saat ini bahwa perlu aturan kebijakan baru karena di Permendag Nomor 50 Tahun 2020 belum mengatur yang namanya social commerce,” ucap Huda, Senin (24/7/2023).

Menurut Huda, kebijakan baru mengenai social commerce ini perlu dibuat mengingat perkembangannya yang begitu pesat. Dibutuhkan peraturan yang sama dengan industri serupa, seperti e-commerce dan ritel offline, sehingga ketiga industri tersebut berada di level persaingan yang sama.

“Hal ini untuk menjaga level playing field yang sama antara social commerce dan e-commerce. Social commerce belum ada peraturannya sama sekali di Indonesia. Jadi, ini yang kita butuhkan, sehingga level playing field yang sama antara social commerce dan e-commerce itu terjaga,” tambahnya.

Menurut Huda, ada tiga hal yang harus ditekankan dalam revisi kebijakan tersebut. Pertama adalah penyempurnaan definisi Penyelenggaraan Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PPMSE).

Kedua, perlu ada peraturan terkait dengan Penyelenggaraan Sarana Perantara karena sering digunakan sebagai kedok social commerce untuk dalih bukan tempat jual-beli.

“Ketiga, peraturan mengenai barang impor, di mana harus ada deskripsi barang di setiap jendela barang,” tutup Huda.

Jadi, dalam menyikapi fenomena Project S dan social commerce secara keseluruhan, maka perlu adanya regulasi yang tegas dari pemerintah tentang pembatasan produk impor dan perlindungan industri dalam negeri.

Dengan regulasi yang diperbarui, revisi Permendag 50 akan mampu melindungi industri dalam negeri, e-commerce lokal, UMKM, dan konsumen yang nantinya akan ada aturan lebih detail mengenai pengaturan white labelling sehingga tidak merugikan UMKM di Indonesia.

Diharapkan bahwa revisi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia, dengan nilai yang diprediksi mencapai Rp5.400 triliun pada 2030. Industri dalam negeri dan UMKM harus bisa menikmati peluang tersebut. (*AMBS)

 

Exit mobile version